Selasa, 08 April 2008

FATMAASRI (CERPEN)


FATMA ASRI


Resti N


“Kenalkan, Fatma! Fatma! Fatma! Fatma! …..”

Demikian suara perkenalan ceria seorang anak perempuan berkulit hitam manis, bermata sipit, dan rambut ikal mayang lewat sebahu yang dikuncir dua ala Ceu Minah (eh, siapa tuh?), dan berseragam merah-putih kepada kami yang sesama anak baru di sebuah sekolah menengah di Tanjung Kodok, Kabupaten Bandung. Tanjung Kodok? Ya, itulah sebutan populer setengah penghinaan dari anak-anak seangkatanku dan anak-anak lain yang baru dan sudah diterima di sekolah menengah pertama di Kota Bandung untuk sekolah almamater kami. Tanjung Kodok? Ya, karena sekolah kami letaknya sangat strategis, karena dikelilingi hamparan sawah luas membentang hingga tampak kaki gunung dan bukit nun jauh di sana. Jika pagi dan malam hari, sekolah kami memang diramaikan oleh festival dengkuran tokek dan kodok plus cicak! Namun, rupanya kodoklah yang dengkurannya lebih dikenal.

Saat itu sekolah kami memang tampak menjorok jauh dari jalan raya! Lokasi itu terkadang tergenang banjir yang cukup lumayan pada musim hujan dan tamparan terik matahari dan debu pada waktu kemarau! Tidak jarang kami melihat “tornado kecil” yang ekornya tepat menghujam hebat di atas permukaan sebuah kolam yang terseling di antara barisan petak-petak sawah. Tornado atau yang lebih dikenal dengan buntut hujan dengan lahap menyedot habis air kolam yang lumayan luas dan agak dalam itu berikut ikan-ikan yang ada di dalamnya. Kalau perutnya sudah kenyang, si buntut hujan itu akan memuntahkan isinya disembarang tempat dan membagi ikan-ikan gratisan tadi kepada penduduk di tempat itu! Keesokkan harinya akan tersiar kabar heboh dari orang-orang yang mendapat ikan ajaib dari langit!

Ahhh, bercerita tentang almamater sekolah menengah kami memang luar biasa menyenangkan. Kami semua selalu merindukannya. Terutama aku. Kenangan terindah adalah saat mengenyam pendidikan di tempat itu. Bahkan, saking terkenangnya, aku terkadang sulit menahan air mata haru. Ya, bercerita tentang almamater mungkin bagi orang lain juga merupakan kisah yang neverending! Apalagi jika kita mengingat-ingat tingkah laku teman-teman sebaya kita! Duuuhhh, kadang aku pun suka tertawa sendiri atau menangis sendiri! Sampai-sampai anakku bertanya, “Ihhh, Ibu kok suka tertawa sendiri?” Kadang-kadang aku hanya membalas dengan senyum saja karena aku tidak rela berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Kenangan almamater sekolah menengah hanya bisa menjadi milikku saja!

Mengingat tingkah polah teman, melayangkan ingatanku kepada salah seorang di antaranya yang memiliki sifat dan tingkah polah yang cukup unik! Ya, mengingat teman-teman seangkatan, bahkan, satu kelas, sosok yang satu ini selalu tampak menonjol bayangannya. Fatma Asri! Itulah nama temanku yang cukup istimewa itu! Kalimat perkenalan itu selalu terngiang di telingaku. Kalimat itu kami dengar pada hari pertama penataran P4 awal tahun ajaran baru di sekolah menengah dan sekolah lainnya. Hari pertama sekolah bagi kami semua, terkecuali bagi yang telah lama berteman, adalah hari penuh kekakuan dan hari meraba-raba. Pandangan mata kami akan saling bertabrakan satu dengan yang lain sambil menerka-nerka siapa yang akan menjadi teman, sahabat, atau musuh selama satu tahun pertama, dua tahun pertama, atau tiga tahun penuh! Yang tidak memainkan pandangannya hanya Fatma itulah! Sejak pertama kedatangannya di kelas satu i itulah, keunikannya senantiasa membahana di kelas kami. Ia tampak sudah lama mengenal seluk-beluk sekolah itu karena telah banyak mendengar cerita asam garam dari sederetan kakak-kakaknya yang juga silih berganti mengenyam pendidikan di tempat itu. Sejak kalimat perkenalannya itu, celotehannya nyaris tanpa henti. Tanpa ditanya, ia akan bercerita tentang segala hal, cerita sang kakak, prestasinya, kisah cinta dalam keluarga, de .. el … el. Ia tidak sungkan bergaul dengan sesama manusia bahkan dengan kodok dan tokek di tempat itu! Ha … ha … ha…! Bahkan, dengan cueknya ia memilih eskul pilihan elektro yang not bene isinya kaum Adam. Ia menjadi superstar di kelas eskul itu. Gelak tawa senantiasa meledak-ledak di tempat itu.

Fatma … kecerdasan otakmu memang nggak sempat mengungguli Evi …, tetapi celotehanmu itulah yang melebihi anak teladan itu. Ayah dan keluargamu yang aktivis salah satu organisasi Islam besar dan aktivis politik hingga membawa mereka ke tingkat atas selalu memperkaya isi ocehanmu. Namun, ada satu kelemahanmu, he … he …. Ocehanmu akan menjadi tersendat-sendat kalau kau berbicara di depan kelas, di depan umum. Well, tetapi aku tetap merasa bangga karena kelemahanmu itu tidak pernah menyurutkan aktivitasmu sehari-hari, seperti saat pelantikan organisasi PMR, OSIS, atau kegiatan akademis dan non-akademis lainnya.

Fatma … keceriaanmu tiada luntur meskipun engkau selalu menjadi bulan-bulanan anak lelaki di kelas kami yang notabene terkenal paling badung! Hukuman dari para guru yang terhormat kerapkali mendarat dalam kehidupan anak-anak di kelas kami. Namun, seringnya mendapat hukuman itu berbuah baik, mental kami menjadi setebal dinding tembok besar di Cina. He … he … he ….

Kesenangan, kesedihan, keceriaan, semua berlalu dengan lancar hingga kami tanpa terasa berada di penghujung masa pendidikan. Perpisahan di antara kami menorehkan luka kesedihan yang menghujam ke dalam ulu hati. Bersama segelintir teman lainnya, Fatma diterima di sebuah sekolah menengah atas di kawasan Buah-Batu yang juga sudah menjadi langganan kakak-kakaknya dulu. Kami mantan penghuni Tanjung Kodok masih kerapkali reunian. Banyak cerita baru yang kami dapat. Aktivitas Fatma pun semakin meningkat, baik dalam bidang akademis maupun nonakademis. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya kami sama-sama menjadi bagian dari harmoni Jatinangor.

Anehnya, kami menjadi jarang bertemu karena perbedaan kesibukkan jadwal kuliah kami. Sesekali kita masih reunian dengan segudang cerita yang baru. Menjelang masa-masa akhir kuliahku, tersiarlah kabar yang maha mengejutkan dan mengubah roda kehidupan dengan maha dahsyat! Fatma dikabarkan menikah cepat dan mendadak mendapat kecelakaan hebat pascapernikahannya itu! Kabar itu demikian santernya hingga merebak ke seisi kampus Jatinangor dan kawasan Cijawura yang jelas-jelas erat kaitan kekeluargaannya.

Santernya berita tersebut mengundang rasa penasaran dari pada pendengarnya, termasuk aku! Dari berita yang kudengar, ia menikah cepat bahkan dapat dikatakan menikah ala cow boy yang tidak melalui proses berbelit-belit layaknya dialami oleh pasangan pengantin lain. Ia menikahi pria sesama aktivis sekaligus putra mahkota salah satu pesantren besar di kawasan pantura. Tidak lama setelah menikah, ia bermaksud sowan kepada mertuanya … dan … terjadilah peristiwa yang mahadahsyat itu.

Kecelakaan itu telah memisahkan kedua lengannya dari tubuhnya. Fatmalah yang mendapatkan bagian terburuk dalam kecelakaan itu. Sementara itu, anggota keluarga yang lain hanya mendapat luka yang tidak seberapa. Bahkan, berdasarkan penuturan Fatma, barang-barang pecah belah dan hantaran lain untuk mertuanya kedapatan utuh!

Peristiwa kecelakaan yang dialami Fatma pun mengundang heboh di rumah sakit tempat ia menjalani perawatan. Ratusan pengunjung banyak yang mengalami histeris dan akhirnya pingsan setelah melihat kondisi Fatma. Siapa yang menduga jika pasien itu mampu menjadi srikandi di rumah sakit. Ya, Fatma tidak pernah mengalami down setelah kecelakaan itu, bahkan ketiak ia harus merelakan kedua tangannya untuk diamputasi. Keceriaan Fatma seperti masa sekolah dulu itulah yang membuat para pengunjung merasa aneh … histeris, lalu pingsan. Kedatangan para pengunjung yang pada umumnya siap menjadi penghibur sejati, justru berbalik 180 derajat. Kedatangan kita menjadi sasaran hiburan ocehan Fatma yang setiap saat lancar memaparkan kisah memilukan dengan gaya yang ceria. Kondisi itu pula yang sempat membuat suaminya merasa syok berat. Lama ia tidak sanggup menunggui istrinya yang baru berbelas-belas hari disuntingnya itu.

Pascaperistiwa itu mengubah kehidupan Fatma seutuhnya. Ia melepaskan kuliahnya dan memilih untuk tinggal bersama suaminya sambil mengurus pesantren. Beruntung ia selalu mendapat banyak bantuan dari keluarga dan para santri yang dengan tulus mau merawatnya sampai ia mampu mandiri. Kesabaran dan mental baja supertebal yang dimiliki Fatma mampu mengoptimalkan fungsi kedua kakinya. Kedua organ tubuhnya itulah yang kini menjadi tumpuan hidupnya. Dengan kedua kaki itulah ia dapat membuka dan menutup toples atau halaman Al-Quran. Aku merasa bangga denganmu, Fatma. Kecelakaan yang kau alami tidak pernah menyurutkan keinginanmu untuk menjadi seorang hafidzah. Bahkan, dengan bersemangat kau mengatakan kepadaku saat itu bahwa hafalanmu sudah berjalan 50% tidak lama setelah peristiwa drastis itu.

Fatma, keceriaanmu sepertinya sudah tertanam erat dalam jiwa ragamu. Ketebalan imanmu juga luar biasa. Ketika wanita lain, terutama yang mengalami hal yang sama sepertimu, sibuk dengan frustasi dan rasa was-was kehilangan suami, kau berbeda. Dengan ringan kau berkata bahwa kau menginginkan adanya bidadari yang mau dipersunting suamimu. Sikapmu pun berlaku ketika kau menyadari bahwa pada kenyataannya banyak kaum hawa yang ngebet banget untuk menjadi pendamping hidupmu. Bahkan, beberapa di antaranya rela menebalkan muka mendatangi dirimu walaupun akhirnya mundur teratur karena perlakuan baikmu kepada mereka. Kau selalu berharap saat menatap seorang santri cantik bahwa ia mau diperistri suaminya. Sayang semua keinginanmu itu terbentur penolakan suami, keluarga, dan para santri sendiri.

Peristiwa dahsyat yang menimpa Fatma menuai kontroversi di antara keluarga. Saat Fatma masih terkulai di rumah sakit, keluarga Fatma spontan meminta pihak suami dan keluarga pantura untuk menceraikan wanita malang itu. Mereka merasa khawatir dengan nasib Fatma dan ingin menghindarkannya dari peristiwa yang tidak diinginkan! Namun, pihak keluarga pantura menolak dengan tegas keinginan keluarga priangan itu. Mereka berjanji akan bertanggung jawab, terutama dalam menjaga keutuhan rumah tangga Fatma dan suaminya. Bahkan, mereka pun bersumpah bahwa jika pada suatu saat anak mereka kedapatan menikah lagi, tiada ampun mereka haramkan tanah dan pesantren tersebut baginya. Dengan kata lain, jika suami Fatma menikah lagi, ia tidak diperkenankan seutuhnya tinggal di pesantren itu dan memegang tampuk mahkota pesantren dari tangan kedua orang tuanya.

Aku, kami (para teman Fatma) masih sempat bertemu beberapa kali dengannya saat Fatma datang berkunjung ke Bandung. Namun, sudah beberapa tahun ini hal itu tidak terjadi lagi. Kabar yang kerapkali kudengar dari teman-temanku di Jakarta, Fatma lebih sering berkunjung ke Jakarta karena kedua orang tuanya sedang mengemban amanat rakyat di sana. Kebetulan kebanyakan anggota keluarganya pun tinggal di ibukota. Kabar terakhir pula kudengar suami Fatma sempat goyah pula. Ia dikabarkan menikahi perempuan lain dan terpaksa menjalani pengasingan di luar pesantren selama satu atau dua tahun. Ya, Fatma, suamimu hanyalah manusia biasa yang tiada pernah luput dari kesalahan. Pada suatu saat ia akan mengalami puncak kejenuhan akan janjinya kepadamu. Kabarnya pula dari perkawinannya itu akhirnya suamimu memperoleh keturunan, sesuatu yang tiada mungkin ia dapatkan darimu (terkecuali jika Allah menghendaki!)! Kabarnya pula, perkawinan itu tidak langgeng dan perceraian mengembalikan suamimu ke dalam pelukan. Kabarnya pula, anak dari perkawinan itu kini menjadi asuhanmu! Subhanallaah!

Peristiwa itu mengingatkanku akan kata-katamu! Fatma, kau dengan ringan dan ikhlas mengatakan kepadaku bahwa kau rela menerima segala akibat buntut peristiwa itu. Kehilangan kedua lenganmu menghilangkan sebagian keseimbangan organ reproduksimu. Ketabahanmu semakin mencuat ketika kau mengatakan bahwa kecil kemungkinan kau bisa membuahkan keturunan. Otot-otot rahimmu kehilangan penguat dan penyeimbangnya. Ternyata, informasi medis itu terbukti. Kau pernah mengandung, tetapi dengan segala konsekuensi segala kelemahan. Kau harus berbaring secara total di atas ranjang. Allah Mahapenguji hambanya. Dia mengenal betul kapasitas keimanan umatnya. Janin itu tidak sanggup bertahan di rahimmu. Ia menyadari bahwa ia enggan menjadi beban sang ibu. Sorot mata kesedihan tidak mampu berkelit di balik ketabahanmu yang luar biasa itu, Fatma. Lancarnya kau bertutur seakan sanggup membunuh duka lara mahadahsyat dalam kalbumu.

Fatma, sepertinya para wanita lain yang kebanyakan narsis dan egois harus bercermin dan belajar banyak darimu. Sepak terjangmu melawan duka lara dan cobaan yang bak serangan hujan mortir sunggup luar biasa. Kau layak diangkat sebagai pahlawan dan ikon atas ketabahan dan keikhlasanmu. Aku yakin Kartini pun akan mengacungkan jempol dan pujian setinggi langit kepadamu. Fatma semoga engkau berbahagia di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberkahimu dengan tiada terputus. Amin!

Bandung, dini hari, 9 April 2008

Rabu, 02 April 2008

TERJEMAHANKU!


GAIRAH SANG BAHTERA

Nisha da Cunha

Alkisah tersebutlah sebuah desa bernama Baga yang terletak di tepi pesisir. Karena letaknya itulah, desa itu telah lama menjadi tempat hunian sekelompok lelaki pelaut. Kelompok pelaut itu merupakan pekerja keras yang selama bertahun-tahun lamanya mengerahkan segenap tenaga dan segala daya upaya demi kepentingan sekelompok lelaki lainnya yang berfungsi sebagai pemilik modal. Majikan mereka sangat menghargai kerja keras anak buahnya itu. Upah yang memuaskan pun tidak segan-segan mereka berikan. Dari jerih payahnya itulah, para pelaut itu dapat menabung modal untuk membangun sebuah bahtera. Tabungan uang itu mereka belikan bahan-bahan mentah, seperti berlembar-lembar papan dan kulit hewan. Bilah-bilah papan kayu dipotong, dipahat, dan dihaluskan dengan pola tertentu, sedangkan lembaran kulit hewan di potong dan dijahit untuk direkatkan pada badan bahtera itu. Tidak lama kemudian, perahu yang sudah jadi itu dicat dengan warna yang sangat indah.
Kelompok pelaut itu sangat mengagumi orang-orang suci dalam agama yang mereka anut dan berniat untuk mengabadikan salah seorang di antaranya sebagai nama batera itu, yaitu St. Antonio. Para pembuat bahtera itu sangat mencintai benda yang telah mereka ciptakan itu. Bahkan, cinta mereka itu sangat berlebihan seolah mereka menganggap bahwa perahu itu merupakan pasangan hidup mereka. Beruntung, cinta mereka tidak bertepuk sebelah tangan. St. Antonio mampu menanggapi cinta para pembuatnya. Demi cintanya ia mau melakukan apa saja untuk menyenangkan para pemujanya itu. Tanpa lelah, ia bersedia mengantar para pelaut itu ke ufuk barat yang bersemburat jingga. Tidak hanya itu, ia pun bersedia menjadi penyangga tubuh penumpangnya itu selama menunggu berubahnya nuansa jingga di kaki langit menjadi gelap, kelam, agak keunguan karena mulai terdesak hamparan selimut malam. St. Antonio dan para penghuninya seakan bertaut hati menikmati ayunan lembut ombak di tengah samudera. Ayunan yang kerapkali mampu membuat para penghuni bahtera itu terlena sepanjang malam.
Bagi keduanya, samudera terkadang dapat dinikmati sebagai kawan ... sekaligus sebagai lawan. Namun, meskipun demikian, mereka selalu menganggap bahwa laut itu sahabat terbaik mereka. Ungkapan persahabatan itu mereka lakukan dengan sentuhan tebaran jaring-jaring dan penantian hadirnya sosok ikan yang bersedia mampir ke dalam jaring itu sepanjang malam hingga fajar hadir di timur menyapa dunia. Jika fajar telah membelalakkan matanya di balik pegunungan, selimut malam pun perlahan segera menyibakkan dirinya menyisakan semburat kelabu di angkasa yang kian lama kian memudar seiring tumbuhnya semangat para pencari ikan menarik jaring ke atas bahtera. St. Antonio pun akan mendorong semangat para penghuninya dengan menjadi penopang yang terbaik agar tubuh para pelaut itu tidak terlempar ke laut. Jika jaring mereka sarat ikan, St. Antonio dan para penghunia akan bersorak gembira. Namun jika tidak, keduanya tidak pernah pupus menggantung asa pada hari esok dan samudera.
Usai melaksanakan tugas, hidung St. Antonio akan mendapatkan bantuan tarikan tangan beberapa lelaki di pesisir yang tidak turut melaut hingga ia dapat bertengger di atas hamparan bulir pasir putih. Setelah itu, St. Antonio dan para penghuninya dapat mengenyam masa rehat mereka. Itulah ritual kehidupan St. Antonio selama beberapa tahun lamanya. Benda itu menaruh rasa bangga yang sangat tinggi karena ia merasa sangat berguna. Selama ini ia pun tidak menemui kendala yang berarti, terkecuali bocor-bocor kecil di sela-sela tubuhnya yang dapat dengan mudah diobati dengan cairan aspal. Setelah itu, ia akan pulih kembali seperti sedia kala.
Namun, nasib memutar balik sang bahtera. Pada suatu malam St. Antonio terpaksa harus merambah area lain yang belum pernah didatanginya. Tempat yang biasa ia arungi sudah tiga malam lamanya tidak lagi mampu memberikan isi jaring sang pelaut. Ternyata tempat baru itu bukanlah sahabat baginya. Ketidaksukaan sang samudera terpancar dari kelamnya gumpalan awan di langit dan gelegar amukan ombak yang dahsyat laksana serpihan ledakan perak bintang-bintang di langit. Serangan dinding ombak besar tampak timbul-tenggelam hadir silih berganti berkali-kali menghantam tubuh St. Antonio dengan tanpa ampun. Mau tidak mau St. Antonio dan para penumpangnya terseret jauh dari tempat semula. Sebuah tiupan angin kencang mendorong bahtera laksana selembar bulu yang tidak berdaya ke atas sebuah batu karang. Upaya para pelaut itu untuk menghindari batu itu tidak membuahkan hasil dan kecelakaan pun tidak dapat terelakkan. St. Antonio menjerit kesakitan dengan kerasnya, lalu, ia mengalami kelelahan yang luar biasa. Luka menganga di tubuh St. Antonio tidak terlelakkan. Penghuni St. Antonio tidak berpangku tangan membiarkan hal itu. Bahu-membahu mereka berusaha menutupi luka itu dengan buntalan kapuk dan serpihan kayu agar St. Antonio dapat dibawa pulang. Dengan penuh perjuangan, St. Antonio pun kembali menyentuh pesisir. Ia tergolek lemas berikut penghuninya di atas kasur pasir putih. St. Antonio pun bermimpi dan berharap bahwa ia akan dapat melaut kembali saat fajar tiba.
Luka St. Antonio ternyata sulit untuk disembuhkan, bahkan, oleh beberapa pakar bahtera dari enam desa tetangga. Kini ia tidak ubahnya seorang pesakitan yang terkulai lemas di ruang gawat darurat melewati pergantian hari, siang dan malam, hingga akhirnya nyaris terkubur lapisan bulir-bulir pasir yang senantiasa terbawa angin setiap waktu. Ia tidak lagi dapat dilihat oleh para pelaut di tempat itu. Setelah itu, pesisir berubah menjadi area berhawa kematian yang senyap. Bangunan yang tampak di tempat itu hanyalah sebuah gedung biara bercat putih tempat para pendeta datang untuk memulai perpisahan mereka dengan dunia luar.
Nyanyian sendu datang dari arah bahtera yang kini dilanda derita dan sedih yang luar biasa. Ia tidak mampu lagi menjadi penakluk ombak samudera. Ia kini tidak berguna. Nyanyian itu terhenti pada suatu waktu ketika sekelompok manusia yang terdiri dari empat orang dewasa dan tiga anak-anak dari sebuah kota yang sangat jauh datang ke tempat itu, Baga. Setiap hari mereka menikmati hangatnya pasir dan sinar mentari di tempat itu. St. Antonio tanpa sengaja ditemukan oleh ketiga anak-anak itu. Ketika selimut pasir disibak, mereka menaruh rasa cinta padanya. Dijadikannya St. Antonio sebagai tempat bermain dan dihiasinya dengan bertumpuk-tumpuk bantal, wadah-wadah pasir, tikar, dan boneka beruang. Anak-anak itu betah berlama-lama bermain di tempat itu. Kehadiran mereka di tempat itu membuat St. Antonio kembali bergairah. Hanya saja, di balik kegembiraan itu St. Antonio menyadari bahwa hal itu tidak akan berlangsung lama. Anak-anak itu suatu saat akan pergi meninggalkannya dan membiarkannya kembali tenggelam dalam kesepian. Oleh karena itu, ia harus menaruh rasa gembirannya separuh hati kepada anak-anak itu.
Pada suatu hari salah seorang lelaki dewasa itu menenteng kamera mendatanginya. Lelaki itu berpikir bahwa St. Antonio yang tergolek lemas di atar pasir masih memiliki daya tarik sebagai objek film yang indah. Hmmm ... bahtera, jangkar, dayung, dan nama yang terpampang di tubuhnya...., boleh juga! Meskipun tampak lusuh dan sekarat, lelaki itu berpikir bahwa benda itu masih tampak indah. Benda itu akan dapat dihidupkan dalam sebuah film. Ya, St. Antonio akan hidup selamanya!
Sejak saat itu, setiap fajar menyingsing, lelaki itu datang menghampiri St. Antonio dan mengabadikannya ke dalam kamera. Rasa cinta mulai tumbuh di hati St. Antonio dan lelaki itu. Gairah pun muncul kembali. Ia merasa bahwa dirinya masih cantik dan jiwanya akan hidup kembali selamanya. Lelaki itu dengan cermat mengabadikan berbagai sisi tubuhnya, bagian koyak jaring lusuhnya, huruf demi huruf namanya, salah satu garuk jangkarnya yang sudah berkarat, dan serpihan-serpihan kulitnya. Lelaki itu semakin bersemangat untuk mengabadikan dirinya ketika didengarnya dari kejauhan alunan suara seruling yang saat itu dimainkan oleh seorang bocah lelaki. Lagu itu dianggapnya dapat memainkan sisi suka duka sang bahtera dengan cermat. Untuk menumbuhkan rasa simpatinya pada objeknya itu, lelaki itu berbaring di dalam tubuh sang bahtera. Ia ingin merasakan kasar-halusnya permukaan papan-papan kayu benda itu. Sebaliknya, St. Antonio turut merasakan hangat tubuh manusia yang berbaring di dalamnya. Ia mulai menyukainya.
Keduanya tampak berbicara satu sama lain dalam irama batin layaknya sepasang sejoli yang sedang memadu kasih. Keduanya telah bersepakat bahwa tidak ada kata kesepian di antara mereka. Kedua berbaring di bawah lindungan angkasa. Waktu pun berlalu. Tanpa terasa pembuatan film telah usai. Lelaki itu merasa sangat bahagia sekaligus sedih. Sebaliknya, St. Antonio merasa sedih sekaligus gembira. Meskipun usianya telah mencapai uzur, beruntung, ia pernah merasakan arti dicintai. Baginya, itu sudah cukup dan ia tidak merasakan kesepian lagi meskipun kembali teronggok di atas hampara bulir pasir putih pesisir Desa Baga. Ia akan terus mengenang kekasih barunya itu. Sementara itu, lelaki pendatang itu memutuskan untuk kembali ke kota yang letaknya sangat jauh dari desa itu seraya terus memikirkan kekasih barunya itu.

Diterjemahkan oleh Resti Nurfaidah dari cerita asli yang berjudul The Boat (Niha da Cunha) dalam kumpulan Modern Goan Short Stories .