Rabu, 02 April 2008

TERJEMAHANKU!


GAIRAH SANG BAHTERA

Nisha da Cunha

Alkisah tersebutlah sebuah desa bernama Baga yang terletak di tepi pesisir. Karena letaknya itulah, desa itu telah lama menjadi tempat hunian sekelompok lelaki pelaut. Kelompok pelaut itu merupakan pekerja keras yang selama bertahun-tahun lamanya mengerahkan segenap tenaga dan segala daya upaya demi kepentingan sekelompok lelaki lainnya yang berfungsi sebagai pemilik modal. Majikan mereka sangat menghargai kerja keras anak buahnya itu. Upah yang memuaskan pun tidak segan-segan mereka berikan. Dari jerih payahnya itulah, para pelaut itu dapat menabung modal untuk membangun sebuah bahtera. Tabungan uang itu mereka belikan bahan-bahan mentah, seperti berlembar-lembar papan dan kulit hewan. Bilah-bilah papan kayu dipotong, dipahat, dan dihaluskan dengan pola tertentu, sedangkan lembaran kulit hewan di potong dan dijahit untuk direkatkan pada badan bahtera itu. Tidak lama kemudian, perahu yang sudah jadi itu dicat dengan warna yang sangat indah.
Kelompok pelaut itu sangat mengagumi orang-orang suci dalam agama yang mereka anut dan berniat untuk mengabadikan salah seorang di antaranya sebagai nama batera itu, yaitu St. Antonio. Para pembuat bahtera itu sangat mencintai benda yang telah mereka ciptakan itu. Bahkan, cinta mereka itu sangat berlebihan seolah mereka menganggap bahwa perahu itu merupakan pasangan hidup mereka. Beruntung, cinta mereka tidak bertepuk sebelah tangan. St. Antonio mampu menanggapi cinta para pembuatnya. Demi cintanya ia mau melakukan apa saja untuk menyenangkan para pemujanya itu. Tanpa lelah, ia bersedia mengantar para pelaut itu ke ufuk barat yang bersemburat jingga. Tidak hanya itu, ia pun bersedia menjadi penyangga tubuh penumpangnya itu selama menunggu berubahnya nuansa jingga di kaki langit menjadi gelap, kelam, agak keunguan karena mulai terdesak hamparan selimut malam. St. Antonio dan para penghuninya seakan bertaut hati menikmati ayunan lembut ombak di tengah samudera. Ayunan yang kerapkali mampu membuat para penghuni bahtera itu terlena sepanjang malam.
Bagi keduanya, samudera terkadang dapat dinikmati sebagai kawan ... sekaligus sebagai lawan. Namun, meskipun demikian, mereka selalu menganggap bahwa laut itu sahabat terbaik mereka. Ungkapan persahabatan itu mereka lakukan dengan sentuhan tebaran jaring-jaring dan penantian hadirnya sosok ikan yang bersedia mampir ke dalam jaring itu sepanjang malam hingga fajar hadir di timur menyapa dunia. Jika fajar telah membelalakkan matanya di balik pegunungan, selimut malam pun perlahan segera menyibakkan dirinya menyisakan semburat kelabu di angkasa yang kian lama kian memudar seiring tumbuhnya semangat para pencari ikan menarik jaring ke atas bahtera. St. Antonio pun akan mendorong semangat para penghuninya dengan menjadi penopang yang terbaik agar tubuh para pelaut itu tidak terlempar ke laut. Jika jaring mereka sarat ikan, St. Antonio dan para penghunia akan bersorak gembira. Namun jika tidak, keduanya tidak pernah pupus menggantung asa pada hari esok dan samudera.
Usai melaksanakan tugas, hidung St. Antonio akan mendapatkan bantuan tarikan tangan beberapa lelaki di pesisir yang tidak turut melaut hingga ia dapat bertengger di atas hamparan bulir pasir putih. Setelah itu, St. Antonio dan para penghuninya dapat mengenyam masa rehat mereka. Itulah ritual kehidupan St. Antonio selama beberapa tahun lamanya. Benda itu menaruh rasa bangga yang sangat tinggi karena ia merasa sangat berguna. Selama ini ia pun tidak menemui kendala yang berarti, terkecuali bocor-bocor kecil di sela-sela tubuhnya yang dapat dengan mudah diobati dengan cairan aspal. Setelah itu, ia akan pulih kembali seperti sedia kala.
Namun, nasib memutar balik sang bahtera. Pada suatu malam St. Antonio terpaksa harus merambah area lain yang belum pernah didatanginya. Tempat yang biasa ia arungi sudah tiga malam lamanya tidak lagi mampu memberikan isi jaring sang pelaut. Ternyata tempat baru itu bukanlah sahabat baginya. Ketidaksukaan sang samudera terpancar dari kelamnya gumpalan awan di langit dan gelegar amukan ombak yang dahsyat laksana serpihan ledakan perak bintang-bintang di langit. Serangan dinding ombak besar tampak timbul-tenggelam hadir silih berganti berkali-kali menghantam tubuh St. Antonio dengan tanpa ampun. Mau tidak mau St. Antonio dan para penumpangnya terseret jauh dari tempat semula. Sebuah tiupan angin kencang mendorong bahtera laksana selembar bulu yang tidak berdaya ke atas sebuah batu karang. Upaya para pelaut itu untuk menghindari batu itu tidak membuahkan hasil dan kecelakaan pun tidak dapat terelakkan. St. Antonio menjerit kesakitan dengan kerasnya, lalu, ia mengalami kelelahan yang luar biasa. Luka menganga di tubuh St. Antonio tidak terlelakkan. Penghuni St. Antonio tidak berpangku tangan membiarkan hal itu. Bahu-membahu mereka berusaha menutupi luka itu dengan buntalan kapuk dan serpihan kayu agar St. Antonio dapat dibawa pulang. Dengan penuh perjuangan, St. Antonio pun kembali menyentuh pesisir. Ia tergolek lemas berikut penghuninya di atas kasur pasir putih. St. Antonio pun bermimpi dan berharap bahwa ia akan dapat melaut kembali saat fajar tiba.
Luka St. Antonio ternyata sulit untuk disembuhkan, bahkan, oleh beberapa pakar bahtera dari enam desa tetangga. Kini ia tidak ubahnya seorang pesakitan yang terkulai lemas di ruang gawat darurat melewati pergantian hari, siang dan malam, hingga akhirnya nyaris terkubur lapisan bulir-bulir pasir yang senantiasa terbawa angin setiap waktu. Ia tidak lagi dapat dilihat oleh para pelaut di tempat itu. Setelah itu, pesisir berubah menjadi area berhawa kematian yang senyap. Bangunan yang tampak di tempat itu hanyalah sebuah gedung biara bercat putih tempat para pendeta datang untuk memulai perpisahan mereka dengan dunia luar.
Nyanyian sendu datang dari arah bahtera yang kini dilanda derita dan sedih yang luar biasa. Ia tidak mampu lagi menjadi penakluk ombak samudera. Ia kini tidak berguna. Nyanyian itu terhenti pada suatu waktu ketika sekelompok manusia yang terdiri dari empat orang dewasa dan tiga anak-anak dari sebuah kota yang sangat jauh datang ke tempat itu, Baga. Setiap hari mereka menikmati hangatnya pasir dan sinar mentari di tempat itu. St. Antonio tanpa sengaja ditemukan oleh ketiga anak-anak itu. Ketika selimut pasir disibak, mereka menaruh rasa cinta padanya. Dijadikannya St. Antonio sebagai tempat bermain dan dihiasinya dengan bertumpuk-tumpuk bantal, wadah-wadah pasir, tikar, dan boneka beruang. Anak-anak itu betah berlama-lama bermain di tempat itu. Kehadiran mereka di tempat itu membuat St. Antonio kembali bergairah. Hanya saja, di balik kegembiraan itu St. Antonio menyadari bahwa hal itu tidak akan berlangsung lama. Anak-anak itu suatu saat akan pergi meninggalkannya dan membiarkannya kembali tenggelam dalam kesepian. Oleh karena itu, ia harus menaruh rasa gembirannya separuh hati kepada anak-anak itu.
Pada suatu hari salah seorang lelaki dewasa itu menenteng kamera mendatanginya. Lelaki itu berpikir bahwa St. Antonio yang tergolek lemas di atar pasir masih memiliki daya tarik sebagai objek film yang indah. Hmmm ... bahtera, jangkar, dayung, dan nama yang terpampang di tubuhnya...., boleh juga! Meskipun tampak lusuh dan sekarat, lelaki itu berpikir bahwa benda itu masih tampak indah. Benda itu akan dapat dihidupkan dalam sebuah film. Ya, St. Antonio akan hidup selamanya!
Sejak saat itu, setiap fajar menyingsing, lelaki itu datang menghampiri St. Antonio dan mengabadikannya ke dalam kamera. Rasa cinta mulai tumbuh di hati St. Antonio dan lelaki itu. Gairah pun muncul kembali. Ia merasa bahwa dirinya masih cantik dan jiwanya akan hidup kembali selamanya. Lelaki itu dengan cermat mengabadikan berbagai sisi tubuhnya, bagian koyak jaring lusuhnya, huruf demi huruf namanya, salah satu garuk jangkarnya yang sudah berkarat, dan serpihan-serpihan kulitnya. Lelaki itu semakin bersemangat untuk mengabadikan dirinya ketika didengarnya dari kejauhan alunan suara seruling yang saat itu dimainkan oleh seorang bocah lelaki. Lagu itu dianggapnya dapat memainkan sisi suka duka sang bahtera dengan cermat. Untuk menumbuhkan rasa simpatinya pada objeknya itu, lelaki itu berbaring di dalam tubuh sang bahtera. Ia ingin merasakan kasar-halusnya permukaan papan-papan kayu benda itu. Sebaliknya, St. Antonio turut merasakan hangat tubuh manusia yang berbaring di dalamnya. Ia mulai menyukainya.
Keduanya tampak berbicara satu sama lain dalam irama batin layaknya sepasang sejoli yang sedang memadu kasih. Keduanya telah bersepakat bahwa tidak ada kata kesepian di antara mereka. Kedua berbaring di bawah lindungan angkasa. Waktu pun berlalu. Tanpa terasa pembuatan film telah usai. Lelaki itu merasa sangat bahagia sekaligus sedih. Sebaliknya, St. Antonio merasa sedih sekaligus gembira. Meskipun usianya telah mencapai uzur, beruntung, ia pernah merasakan arti dicintai. Baginya, itu sudah cukup dan ia tidak merasakan kesepian lagi meskipun kembali teronggok di atas hampara bulir pasir putih pesisir Desa Baga. Ia akan terus mengenang kekasih barunya itu. Sementara itu, lelaki pendatang itu memutuskan untuk kembali ke kota yang letaknya sangat jauh dari desa itu seraya terus memikirkan kekasih barunya itu.

Diterjemahkan oleh Resti Nurfaidah dari cerita asli yang berjudul The Boat (Niha da Cunha) dalam kumpulan Modern Goan Short Stories .

1 komentar:

Tata Danamihardja mengatakan...

Wuihh..gak nyangka, terjemahannya asik neng.. Diksinya bagus. Coba sekali-sekali dikirim ke media. Atau udah? Sekedar masukan, kata 'itu' mungkin bisa disiasati dengan kata lain, atau dicoba dengan struktur kalimat lain sehingga 'itu' bisa dikurangi.. Anyway, two thumbs up!