Kamis, 04 September 2008

SENANDUNG ADINDA



SENANDUNG ADINDA:

ELEGI DUKA LARA SANG DARA


Resti Nurfaidah

Menyaksikan monolog “Senandung Adinda” yang menjadi bagian kemeriahan dalam Festival Sunan Ambu III/2008 seakan menyaksikan potret kehidupan seorang wanita yang “tidak beruntung” baik dalam menjalani kehidupan pribadinya maupun. “Senandung Adinda” menyajikan senandung elegi yang sangat dalam atas lika-liku derita seorang dara, dara yang terjerembab ke dalam kesepian dan kesempitan.

Nuansa kesepian sangat terasa selama dalam pementasan monolog tersebut, terlebih dengan penggunaan ornamen dan kostum yang serbagelap. Monolog tersebut dibuka dengan senandung pendek monoton yang terlontar beberapa kali dari mulut sang aktris, Patricia Sabattani. Setelah itu dimulailah perjalanan hidupnya dalam labirin derita.

Perjalanan hidup sang dara merupakan cerminan perjalanan hidup perempuan-perempuan Indonesia malang yang kerap berakhir di dunia kelam. Monolog ini cenderung mengingatkan penulis pada peristiwa trafficking atau nasib TKW terlantar yang semula dijanjikan dengan impian yang setinggi langit tetapi berakhir dalam genggaman sang penguasa “dunia malam”. Demikian pula halnya, dalam monolog tersebut sang dara tergiur untuk mewujudkan impiannya berkiprah di kawasan urban, diungkapkan dengan tayangan latar multimedia refleksi wajah perkotaan pada malam hari.

Namun, rupanya impian indah yang telah melekat di benak sang dara terpaksa harus disingkirkan jauh-jauh. Impian indah itu berubah menjadi sosok mahkluk menakutkan yang telah menjerumuskan dirinya ke dalam labirin derita urban.


Sang dara mengalami pelecehan seksual hebat, didukung latar animasi yang mengungkapkan semiotika peristiwa perkosaan dan gerakan radikal sang aktris. Sisi kelam dunia urban tersebut telah menyebabkan sang dara mengalami depresi akut. Hal itu ia ungkapkan dengan beberapa gerakan radikal berikut, seperti mengacak-acak lingkaran taburan bunga (yang menggambarkan simbol indah dan harumnya angan-angan dan impian sang dara), isak tangis dramatis dan menyayat hati, serta menghancurkan bantal.


Derita sang dara rupanya tidak berakhir pada peristiwa perkosaan itu. Ia tidak dapat melarikan diri dari akibat peristiwa buruk yang ia alami itu. Sang dara akhirnya melarikan diri pada jalan keluar yang ‘gelap’, menjadi seorang pekerja seksual komersial (PSK), latar pada layar menunjukkan situasi di sebuah lokalisasi. Kehidupan sebagai seorang wanita penghibur tidak dapat mengobati luka-luka duka yang terlanjur terkoyak di dalam sukmanya, sebaliknya hal itu semakin membuatnya menderita. Sang dara, entah karena penyakit atau penderitaan batin, hanya mampu bertahan dalam waktu singkat. Kematian pun menjadi obat mujarab atas sederetan luka-luka duka yang terlanjur menggores pada dirinya.


Monolog “Senandung Adinda” merupakan buah karya Rachman Sabur yang sekaligus bertindak sebagai sutradara pementasan ini. Dalam pertunjukkan tersebut, Rahman Sabur dibantu oleh Patricia Sabattani (pemain), Deden Bulqini (penata artistik), Lili Wiyana (penata musik), Eri Kribow (multimedia), Didit Radite (penata cahaya), dan Ade II Syaraifudin (stage manager).


Selasa, 08 April 2008

FATMAASRI (CERPEN)


FATMA ASRI


Resti N


“Kenalkan, Fatma! Fatma! Fatma! Fatma! …..”

Demikian suara perkenalan ceria seorang anak perempuan berkulit hitam manis, bermata sipit, dan rambut ikal mayang lewat sebahu yang dikuncir dua ala Ceu Minah (eh, siapa tuh?), dan berseragam merah-putih kepada kami yang sesama anak baru di sebuah sekolah menengah di Tanjung Kodok, Kabupaten Bandung. Tanjung Kodok? Ya, itulah sebutan populer setengah penghinaan dari anak-anak seangkatanku dan anak-anak lain yang baru dan sudah diterima di sekolah menengah pertama di Kota Bandung untuk sekolah almamater kami. Tanjung Kodok? Ya, karena sekolah kami letaknya sangat strategis, karena dikelilingi hamparan sawah luas membentang hingga tampak kaki gunung dan bukit nun jauh di sana. Jika pagi dan malam hari, sekolah kami memang diramaikan oleh festival dengkuran tokek dan kodok plus cicak! Namun, rupanya kodoklah yang dengkurannya lebih dikenal.

Saat itu sekolah kami memang tampak menjorok jauh dari jalan raya! Lokasi itu terkadang tergenang banjir yang cukup lumayan pada musim hujan dan tamparan terik matahari dan debu pada waktu kemarau! Tidak jarang kami melihat “tornado kecil” yang ekornya tepat menghujam hebat di atas permukaan sebuah kolam yang terseling di antara barisan petak-petak sawah. Tornado atau yang lebih dikenal dengan buntut hujan dengan lahap menyedot habis air kolam yang lumayan luas dan agak dalam itu berikut ikan-ikan yang ada di dalamnya. Kalau perutnya sudah kenyang, si buntut hujan itu akan memuntahkan isinya disembarang tempat dan membagi ikan-ikan gratisan tadi kepada penduduk di tempat itu! Keesokkan harinya akan tersiar kabar heboh dari orang-orang yang mendapat ikan ajaib dari langit!

Ahhh, bercerita tentang almamater sekolah menengah kami memang luar biasa menyenangkan. Kami semua selalu merindukannya. Terutama aku. Kenangan terindah adalah saat mengenyam pendidikan di tempat itu. Bahkan, saking terkenangnya, aku terkadang sulit menahan air mata haru. Ya, bercerita tentang almamater mungkin bagi orang lain juga merupakan kisah yang neverending! Apalagi jika kita mengingat-ingat tingkah laku teman-teman sebaya kita! Duuuhhh, kadang aku pun suka tertawa sendiri atau menangis sendiri! Sampai-sampai anakku bertanya, “Ihhh, Ibu kok suka tertawa sendiri?” Kadang-kadang aku hanya membalas dengan senyum saja karena aku tidak rela berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Kenangan almamater sekolah menengah hanya bisa menjadi milikku saja!

Mengingat tingkah polah teman, melayangkan ingatanku kepada salah seorang di antaranya yang memiliki sifat dan tingkah polah yang cukup unik! Ya, mengingat teman-teman seangkatan, bahkan, satu kelas, sosok yang satu ini selalu tampak menonjol bayangannya. Fatma Asri! Itulah nama temanku yang cukup istimewa itu! Kalimat perkenalan itu selalu terngiang di telingaku. Kalimat itu kami dengar pada hari pertama penataran P4 awal tahun ajaran baru di sekolah menengah dan sekolah lainnya. Hari pertama sekolah bagi kami semua, terkecuali bagi yang telah lama berteman, adalah hari penuh kekakuan dan hari meraba-raba. Pandangan mata kami akan saling bertabrakan satu dengan yang lain sambil menerka-nerka siapa yang akan menjadi teman, sahabat, atau musuh selama satu tahun pertama, dua tahun pertama, atau tiga tahun penuh! Yang tidak memainkan pandangannya hanya Fatma itulah! Sejak pertama kedatangannya di kelas satu i itulah, keunikannya senantiasa membahana di kelas kami. Ia tampak sudah lama mengenal seluk-beluk sekolah itu karena telah banyak mendengar cerita asam garam dari sederetan kakak-kakaknya yang juga silih berganti mengenyam pendidikan di tempat itu. Sejak kalimat perkenalannya itu, celotehannya nyaris tanpa henti. Tanpa ditanya, ia akan bercerita tentang segala hal, cerita sang kakak, prestasinya, kisah cinta dalam keluarga, de .. el … el. Ia tidak sungkan bergaul dengan sesama manusia bahkan dengan kodok dan tokek di tempat itu! Ha … ha … ha…! Bahkan, dengan cueknya ia memilih eskul pilihan elektro yang not bene isinya kaum Adam. Ia menjadi superstar di kelas eskul itu. Gelak tawa senantiasa meledak-ledak di tempat itu.

Fatma … kecerdasan otakmu memang nggak sempat mengungguli Evi …, tetapi celotehanmu itulah yang melebihi anak teladan itu. Ayah dan keluargamu yang aktivis salah satu organisasi Islam besar dan aktivis politik hingga membawa mereka ke tingkat atas selalu memperkaya isi ocehanmu. Namun, ada satu kelemahanmu, he … he …. Ocehanmu akan menjadi tersendat-sendat kalau kau berbicara di depan kelas, di depan umum. Well, tetapi aku tetap merasa bangga karena kelemahanmu itu tidak pernah menyurutkan aktivitasmu sehari-hari, seperti saat pelantikan organisasi PMR, OSIS, atau kegiatan akademis dan non-akademis lainnya.

Fatma … keceriaanmu tiada luntur meskipun engkau selalu menjadi bulan-bulanan anak lelaki di kelas kami yang notabene terkenal paling badung! Hukuman dari para guru yang terhormat kerapkali mendarat dalam kehidupan anak-anak di kelas kami. Namun, seringnya mendapat hukuman itu berbuah baik, mental kami menjadi setebal dinding tembok besar di Cina. He … he … he ….

Kesenangan, kesedihan, keceriaan, semua berlalu dengan lancar hingga kami tanpa terasa berada di penghujung masa pendidikan. Perpisahan di antara kami menorehkan luka kesedihan yang menghujam ke dalam ulu hati. Bersama segelintir teman lainnya, Fatma diterima di sebuah sekolah menengah atas di kawasan Buah-Batu yang juga sudah menjadi langganan kakak-kakaknya dulu. Kami mantan penghuni Tanjung Kodok masih kerapkali reunian. Banyak cerita baru yang kami dapat. Aktivitas Fatma pun semakin meningkat, baik dalam bidang akademis maupun nonakademis. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya kami sama-sama menjadi bagian dari harmoni Jatinangor.

Anehnya, kami menjadi jarang bertemu karena perbedaan kesibukkan jadwal kuliah kami. Sesekali kita masih reunian dengan segudang cerita yang baru. Menjelang masa-masa akhir kuliahku, tersiarlah kabar yang maha mengejutkan dan mengubah roda kehidupan dengan maha dahsyat! Fatma dikabarkan menikah cepat dan mendadak mendapat kecelakaan hebat pascapernikahannya itu! Kabar itu demikian santernya hingga merebak ke seisi kampus Jatinangor dan kawasan Cijawura yang jelas-jelas erat kaitan kekeluargaannya.

Santernya berita tersebut mengundang rasa penasaran dari pada pendengarnya, termasuk aku! Dari berita yang kudengar, ia menikah cepat bahkan dapat dikatakan menikah ala cow boy yang tidak melalui proses berbelit-belit layaknya dialami oleh pasangan pengantin lain. Ia menikahi pria sesama aktivis sekaligus putra mahkota salah satu pesantren besar di kawasan pantura. Tidak lama setelah menikah, ia bermaksud sowan kepada mertuanya … dan … terjadilah peristiwa yang mahadahsyat itu.

Kecelakaan itu telah memisahkan kedua lengannya dari tubuhnya. Fatmalah yang mendapatkan bagian terburuk dalam kecelakaan itu. Sementara itu, anggota keluarga yang lain hanya mendapat luka yang tidak seberapa. Bahkan, berdasarkan penuturan Fatma, barang-barang pecah belah dan hantaran lain untuk mertuanya kedapatan utuh!

Peristiwa kecelakaan yang dialami Fatma pun mengundang heboh di rumah sakit tempat ia menjalani perawatan. Ratusan pengunjung banyak yang mengalami histeris dan akhirnya pingsan setelah melihat kondisi Fatma. Siapa yang menduga jika pasien itu mampu menjadi srikandi di rumah sakit. Ya, Fatma tidak pernah mengalami down setelah kecelakaan itu, bahkan ketiak ia harus merelakan kedua tangannya untuk diamputasi. Keceriaan Fatma seperti masa sekolah dulu itulah yang membuat para pengunjung merasa aneh … histeris, lalu pingsan. Kedatangan para pengunjung yang pada umumnya siap menjadi penghibur sejati, justru berbalik 180 derajat. Kedatangan kita menjadi sasaran hiburan ocehan Fatma yang setiap saat lancar memaparkan kisah memilukan dengan gaya yang ceria. Kondisi itu pula yang sempat membuat suaminya merasa syok berat. Lama ia tidak sanggup menunggui istrinya yang baru berbelas-belas hari disuntingnya itu.

Pascaperistiwa itu mengubah kehidupan Fatma seutuhnya. Ia melepaskan kuliahnya dan memilih untuk tinggal bersama suaminya sambil mengurus pesantren. Beruntung ia selalu mendapat banyak bantuan dari keluarga dan para santri yang dengan tulus mau merawatnya sampai ia mampu mandiri. Kesabaran dan mental baja supertebal yang dimiliki Fatma mampu mengoptimalkan fungsi kedua kakinya. Kedua organ tubuhnya itulah yang kini menjadi tumpuan hidupnya. Dengan kedua kaki itulah ia dapat membuka dan menutup toples atau halaman Al-Quran. Aku merasa bangga denganmu, Fatma. Kecelakaan yang kau alami tidak pernah menyurutkan keinginanmu untuk menjadi seorang hafidzah. Bahkan, dengan bersemangat kau mengatakan kepadaku saat itu bahwa hafalanmu sudah berjalan 50% tidak lama setelah peristiwa drastis itu.

Fatma, keceriaanmu sepertinya sudah tertanam erat dalam jiwa ragamu. Ketebalan imanmu juga luar biasa. Ketika wanita lain, terutama yang mengalami hal yang sama sepertimu, sibuk dengan frustasi dan rasa was-was kehilangan suami, kau berbeda. Dengan ringan kau berkata bahwa kau menginginkan adanya bidadari yang mau dipersunting suamimu. Sikapmu pun berlaku ketika kau menyadari bahwa pada kenyataannya banyak kaum hawa yang ngebet banget untuk menjadi pendamping hidupmu. Bahkan, beberapa di antaranya rela menebalkan muka mendatangi dirimu walaupun akhirnya mundur teratur karena perlakuan baikmu kepada mereka. Kau selalu berharap saat menatap seorang santri cantik bahwa ia mau diperistri suaminya. Sayang semua keinginanmu itu terbentur penolakan suami, keluarga, dan para santri sendiri.

Peristiwa dahsyat yang menimpa Fatma menuai kontroversi di antara keluarga. Saat Fatma masih terkulai di rumah sakit, keluarga Fatma spontan meminta pihak suami dan keluarga pantura untuk menceraikan wanita malang itu. Mereka merasa khawatir dengan nasib Fatma dan ingin menghindarkannya dari peristiwa yang tidak diinginkan! Namun, pihak keluarga pantura menolak dengan tegas keinginan keluarga priangan itu. Mereka berjanji akan bertanggung jawab, terutama dalam menjaga keutuhan rumah tangga Fatma dan suaminya. Bahkan, mereka pun bersumpah bahwa jika pada suatu saat anak mereka kedapatan menikah lagi, tiada ampun mereka haramkan tanah dan pesantren tersebut baginya. Dengan kata lain, jika suami Fatma menikah lagi, ia tidak diperkenankan seutuhnya tinggal di pesantren itu dan memegang tampuk mahkota pesantren dari tangan kedua orang tuanya.

Aku, kami (para teman Fatma) masih sempat bertemu beberapa kali dengannya saat Fatma datang berkunjung ke Bandung. Namun, sudah beberapa tahun ini hal itu tidak terjadi lagi. Kabar yang kerapkali kudengar dari teman-temanku di Jakarta, Fatma lebih sering berkunjung ke Jakarta karena kedua orang tuanya sedang mengemban amanat rakyat di sana. Kebetulan kebanyakan anggota keluarganya pun tinggal di ibukota. Kabar terakhir pula kudengar suami Fatma sempat goyah pula. Ia dikabarkan menikahi perempuan lain dan terpaksa menjalani pengasingan di luar pesantren selama satu atau dua tahun. Ya, Fatma, suamimu hanyalah manusia biasa yang tiada pernah luput dari kesalahan. Pada suatu saat ia akan mengalami puncak kejenuhan akan janjinya kepadamu. Kabarnya pula dari perkawinannya itu akhirnya suamimu memperoleh keturunan, sesuatu yang tiada mungkin ia dapatkan darimu (terkecuali jika Allah menghendaki!)! Kabarnya pula, perkawinan itu tidak langgeng dan perceraian mengembalikan suamimu ke dalam pelukan. Kabarnya pula, anak dari perkawinan itu kini menjadi asuhanmu! Subhanallaah!

Peristiwa itu mengingatkanku akan kata-katamu! Fatma, kau dengan ringan dan ikhlas mengatakan kepadaku bahwa kau rela menerima segala akibat buntut peristiwa itu. Kehilangan kedua lenganmu menghilangkan sebagian keseimbangan organ reproduksimu. Ketabahanmu semakin mencuat ketika kau mengatakan bahwa kecil kemungkinan kau bisa membuahkan keturunan. Otot-otot rahimmu kehilangan penguat dan penyeimbangnya. Ternyata, informasi medis itu terbukti. Kau pernah mengandung, tetapi dengan segala konsekuensi segala kelemahan. Kau harus berbaring secara total di atas ranjang. Allah Mahapenguji hambanya. Dia mengenal betul kapasitas keimanan umatnya. Janin itu tidak sanggup bertahan di rahimmu. Ia menyadari bahwa ia enggan menjadi beban sang ibu. Sorot mata kesedihan tidak mampu berkelit di balik ketabahanmu yang luar biasa itu, Fatma. Lancarnya kau bertutur seakan sanggup membunuh duka lara mahadahsyat dalam kalbumu.

Fatma, sepertinya para wanita lain yang kebanyakan narsis dan egois harus bercermin dan belajar banyak darimu. Sepak terjangmu melawan duka lara dan cobaan yang bak serangan hujan mortir sunggup luar biasa. Kau layak diangkat sebagai pahlawan dan ikon atas ketabahan dan keikhlasanmu. Aku yakin Kartini pun akan mengacungkan jempol dan pujian setinggi langit kepadamu. Fatma semoga engkau berbahagia di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberkahimu dengan tiada terputus. Amin!

Bandung, dini hari, 9 April 2008

Rabu, 02 April 2008

TERJEMAHANKU!


GAIRAH SANG BAHTERA

Nisha da Cunha

Alkisah tersebutlah sebuah desa bernama Baga yang terletak di tepi pesisir. Karena letaknya itulah, desa itu telah lama menjadi tempat hunian sekelompok lelaki pelaut. Kelompok pelaut itu merupakan pekerja keras yang selama bertahun-tahun lamanya mengerahkan segenap tenaga dan segala daya upaya demi kepentingan sekelompok lelaki lainnya yang berfungsi sebagai pemilik modal. Majikan mereka sangat menghargai kerja keras anak buahnya itu. Upah yang memuaskan pun tidak segan-segan mereka berikan. Dari jerih payahnya itulah, para pelaut itu dapat menabung modal untuk membangun sebuah bahtera. Tabungan uang itu mereka belikan bahan-bahan mentah, seperti berlembar-lembar papan dan kulit hewan. Bilah-bilah papan kayu dipotong, dipahat, dan dihaluskan dengan pola tertentu, sedangkan lembaran kulit hewan di potong dan dijahit untuk direkatkan pada badan bahtera itu. Tidak lama kemudian, perahu yang sudah jadi itu dicat dengan warna yang sangat indah.
Kelompok pelaut itu sangat mengagumi orang-orang suci dalam agama yang mereka anut dan berniat untuk mengabadikan salah seorang di antaranya sebagai nama batera itu, yaitu St. Antonio. Para pembuat bahtera itu sangat mencintai benda yang telah mereka ciptakan itu. Bahkan, cinta mereka itu sangat berlebihan seolah mereka menganggap bahwa perahu itu merupakan pasangan hidup mereka. Beruntung, cinta mereka tidak bertepuk sebelah tangan. St. Antonio mampu menanggapi cinta para pembuatnya. Demi cintanya ia mau melakukan apa saja untuk menyenangkan para pemujanya itu. Tanpa lelah, ia bersedia mengantar para pelaut itu ke ufuk barat yang bersemburat jingga. Tidak hanya itu, ia pun bersedia menjadi penyangga tubuh penumpangnya itu selama menunggu berubahnya nuansa jingga di kaki langit menjadi gelap, kelam, agak keunguan karena mulai terdesak hamparan selimut malam. St. Antonio dan para penghuninya seakan bertaut hati menikmati ayunan lembut ombak di tengah samudera. Ayunan yang kerapkali mampu membuat para penghuni bahtera itu terlena sepanjang malam.
Bagi keduanya, samudera terkadang dapat dinikmati sebagai kawan ... sekaligus sebagai lawan. Namun, meskipun demikian, mereka selalu menganggap bahwa laut itu sahabat terbaik mereka. Ungkapan persahabatan itu mereka lakukan dengan sentuhan tebaran jaring-jaring dan penantian hadirnya sosok ikan yang bersedia mampir ke dalam jaring itu sepanjang malam hingga fajar hadir di timur menyapa dunia. Jika fajar telah membelalakkan matanya di balik pegunungan, selimut malam pun perlahan segera menyibakkan dirinya menyisakan semburat kelabu di angkasa yang kian lama kian memudar seiring tumbuhnya semangat para pencari ikan menarik jaring ke atas bahtera. St. Antonio pun akan mendorong semangat para penghuninya dengan menjadi penopang yang terbaik agar tubuh para pelaut itu tidak terlempar ke laut. Jika jaring mereka sarat ikan, St. Antonio dan para penghunia akan bersorak gembira. Namun jika tidak, keduanya tidak pernah pupus menggantung asa pada hari esok dan samudera.
Usai melaksanakan tugas, hidung St. Antonio akan mendapatkan bantuan tarikan tangan beberapa lelaki di pesisir yang tidak turut melaut hingga ia dapat bertengger di atas hamparan bulir pasir putih. Setelah itu, St. Antonio dan para penghuninya dapat mengenyam masa rehat mereka. Itulah ritual kehidupan St. Antonio selama beberapa tahun lamanya. Benda itu menaruh rasa bangga yang sangat tinggi karena ia merasa sangat berguna. Selama ini ia pun tidak menemui kendala yang berarti, terkecuali bocor-bocor kecil di sela-sela tubuhnya yang dapat dengan mudah diobati dengan cairan aspal. Setelah itu, ia akan pulih kembali seperti sedia kala.
Namun, nasib memutar balik sang bahtera. Pada suatu malam St. Antonio terpaksa harus merambah area lain yang belum pernah didatanginya. Tempat yang biasa ia arungi sudah tiga malam lamanya tidak lagi mampu memberikan isi jaring sang pelaut. Ternyata tempat baru itu bukanlah sahabat baginya. Ketidaksukaan sang samudera terpancar dari kelamnya gumpalan awan di langit dan gelegar amukan ombak yang dahsyat laksana serpihan ledakan perak bintang-bintang di langit. Serangan dinding ombak besar tampak timbul-tenggelam hadir silih berganti berkali-kali menghantam tubuh St. Antonio dengan tanpa ampun. Mau tidak mau St. Antonio dan para penumpangnya terseret jauh dari tempat semula. Sebuah tiupan angin kencang mendorong bahtera laksana selembar bulu yang tidak berdaya ke atas sebuah batu karang. Upaya para pelaut itu untuk menghindari batu itu tidak membuahkan hasil dan kecelakaan pun tidak dapat terelakkan. St. Antonio menjerit kesakitan dengan kerasnya, lalu, ia mengalami kelelahan yang luar biasa. Luka menganga di tubuh St. Antonio tidak terlelakkan. Penghuni St. Antonio tidak berpangku tangan membiarkan hal itu. Bahu-membahu mereka berusaha menutupi luka itu dengan buntalan kapuk dan serpihan kayu agar St. Antonio dapat dibawa pulang. Dengan penuh perjuangan, St. Antonio pun kembali menyentuh pesisir. Ia tergolek lemas berikut penghuninya di atas kasur pasir putih. St. Antonio pun bermimpi dan berharap bahwa ia akan dapat melaut kembali saat fajar tiba.
Luka St. Antonio ternyata sulit untuk disembuhkan, bahkan, oleh beberapa pakar bahtera dari enam desa tetangga. Kini ia tidak ubahnya seorang pesakitan yang terkulai lemas di ruang gawat darurat melewati pergantian hari, siang dan malam, hingga akhirnya nyaris terkubur lapisan bulir-bulir pasir yang senantiasa terbawa angin setiap waktu. Ia tidak lagi dapat dilihat oleh para pelaut di tempat itu. Setelah itu, pesisir berubah menjadi area berhawa kematian yang senyap. Bangunan yang tampak di tempat itu hanyalah sebuah gedung biara bercat putih tempat para pendeta datang untuk memulai perpisahan mereka dengan dunia luar.
Nyanyian sendu datang dari arah bahtera yang kini dilanda derita dan sedih yang luar biasa. Ia tidak mampu lagi menjadi penakluk ombak samudera. Ia kini tidak berguna. Nyanyian itu terhenti pada suatu waktu ketika sekelompok manusia yang terdiri dari empat orang dewasa dan tiga anak-anak dari sebuah kota yang sangat jauh datang ke tempat itu, Baga. Setiap hari mereka menikmati hangatnya pasir dan sinar mentari di tempat itu. St. Antonio tanpa sengaja ditemukan oleh ketiga anak-anak itu. Ketika selimut pasir disibak, mereka menaruh rasa cinta padanya. Dijadikannya St. Antonio sebagai tempat bermain dan dihiasinya dengan bertumpuk-tumpuk bantal, wadah-wadah pasir, tikar, dan boneka beruang. Anak-anak itu betah berlama-lama bermain di tempat itu. Kehadiran mereka di tempat itu membuat St. Antonio kembali bergairah. Hanya saja, di balik kegembiraan itu St. Antonio menyadari bahwa hal itu tidak akan berlangsung lama. Anak-anak itu suatu saat akan pergi meninggalkannya dan membiarkannya kembali tenggelam dalam kesepian. Oleh karena itu, ia harus menaruh rasa gembirannya separuh hati kepada anak-anak itu.
Pada suatu hari salah seorang lelaki dewasa itu menenteng kamera mendatanginya. Lelaki itu berpikir bahwa St. Antonio yang tergolek lemas di atar pasir masih memiliki daya tarik sebagai objek film yang indah. Hmmm ... bahtera, jangkar, dayung, dan nama yang terpampang di tubuhnya...., boleh juga! Meskipun tampak lusuh dan sekarat, lelaki itu berpikir bahwa benda itu masih tampak indah. Benda itu akan dapat dihidupkan dalam sebuah film. Ya, St. Antonio akan hidup selamanya!
Sejak saat itu, setiap fajar menyingsing, lelaki itu datang menghampiri St. Antonio dan mengabadikannya ke dalam kamera. Rasa cinta mulai tumbuh di hati St. Antonio dan lelaki itu. Gairah pun muncul kembali. Ia merasa bahwa dirinya masih cantik dan jiwanya akan hidup kembali selamanya. Lelaki itu dengan cermat mengabadikan berbagai sisi tubuhnya, bagian koyak jaring lusuhnya, huruf demi huruf namanya, salah satu garuk jangkarnya yang sudah berkarat, dan serpihan-serpihan kulitnya. Lelaki itu semakin bersemangat untuk mengabadikan dirinya ketika didengarnya dari kejauhan alunan suara seruling yang saat itu dimainkan oleh seorang bocah lelaki. Lagu itu dianggapnya dapat memainkan sisi suka duka sang bahtera dengan cermat. Untuk menumbuhkan rasa simpatinya pada objeknya itu, lelaki itu berbaring di dalam tubuh sang bahtera. Ia ingin merasakan kasar-halusnya permukaan papan-papan kayu benda itu. Sebaliknya, St. Antonio turut merasakan hangat tubuh manusia yang berbaring di dalamnya. Ia mulai menyukainya.
Keduanya tampak berbicara satu sama lain dalam irama batin layaknya sepasang sejoli yang sedang memadu kasih. Keduanya telah bersepakat bahwa tidak ada kata kesepian di antara mereka. Kedua berbaring di bawah lindungan angkasa. Waktu pun berlalu. Tanpa terasa pembuatan film telah usai. Lelaki itu merasa sangat bahagia sekaligus sedih. Sebaliknya, St. Antonio merasa sedih sekaligus gembira. Meskipun usianya telah mencapai uzur, beruntung, ia pernah merasakan arti dicintai. Baginya, itu sudah cukup dan ia tidak merasakan kesepian lagi meskipun kembali teronggok di atas hampara bulir pasir putih pesisir Desa Baga. Ia akan terus mengenang kekasih barunya itu. Sementara itu, lelaki pendatang itu memutuskan untuk kembali ke kota yang letaknya sangat jauh dari desa itu seraya terus memikirkan kekasih barunya itu.

Diterjemahkan oleh Resti Nurfaidah dari cerita asli yang berjudul The Boat (Niha da Cunha) dalam kumpulan Modern Goan Short Stories .

Senin, 31 Maret 2008

KEPADA BAYANG-BAYANG

kepada bayang-bayang
kepada bayang-bayang,

aku ingin mengucapkan salam perkenalan

kepadamu tepat saat aku pertama meregang

derai tangisku kepada Tuhanku

sebagai hormatku kepada-Nya

untuk pengukuhanku kepada sang pencipta

bahwa aku telah menjadi penghuni baru di

dunia bayang-bayang


ya, kepada bayang-bayang

aku mengucapkan terima kasih yang se-

banyak-banyaknya atas tetesan

air susu bayang-bayang yang mengucur deras

dari puting bayangan ibu bayanganku

ke dalam mulut bayanganku

mengendap dalam tubuh bayanganku

mengental menggumpal menjadi lemak

darah daging tulang bayangan

menegakkan tubuhku

dari ketakseimbangan bayangan


ah, bayang-bayang

kuterimakasihkan kepadamu

atas segala bentuk penjagaan

pendidikan dan penanaman moral bayangan

ke dalam sukma raga bayanganku

hingga aku dapat meneropong

lalu lintas dunia bayangan

tempatku berpijak

hingga aku menemukan bunga dan duri

bayangan di sekelilingku


ah, bayang-bayang

tak terputus rasa terima kasihku

kepadamu atas cungkup mahligai

yang kauberikan kepadaku

tatkala aku mendapati sosok bayangan

yang tak lagi menghitam melegam

sosok bayangan yang dapat memelukku sesama

bayangan

mencurahkan bulir-bulir penyejuk bayangan

ke dalam sela-sela tubuh bayanganku

menghadirkan sisi-sisi kehidupan bayangan

baru dari tubuhku


bayang-bayang aku kini tak sendiri lagi

bayangan bayangan baru hadir di sisiku

silih berganti

mengumbar tawa tangis amarah bahagia

di duniaku hadir tiada henti hingga akhirnya

bayang-bayang itu pergi ... pergi menjauh

mengarungi lautan bayangan sendiri

yang tiada pernah bersua


bayang-bayang kini aku benar

benar menjadi bayang-bayang

yang asing di duniaku sendiri

yang tak lagi terkenal dikenal di duniaku sendiri

dunia bayang-bayang

sebagai bayang-bayang yang pernah melayang

di tengah samuderanya

di tengah cakrawalanya

di antara lapisan kerak buminya

di antara lapisan awannya

di antara lapisan pendaran cahaya mentarinya

di antara lapisan pendaran cahaya bintangnya

di antara sela-sela tiupan anginnya

di antara sela-sela deru ombaknya

di antara sela-sela serbuk debunya

aku hanyalah bayang-bayang
Bandung, 1 April 2008


Kamis, 13 Maret 2008

Rabu, 05 Maret 2008

Layang-Layang!

Aku ingin seperti layang-layang! benda yang bisa terbang menjentik awan, menggaruk langit dengan gemulai, menatap bumi dengan angkuhnya. Hmmm .... aku hanya bisa menjejak bumi ... menginjak bulir tanah berdebu .... mencium bau serpihan tanah abadi .... menyesak dalam rongga terkurung iga ... tanpa sempat menjaring bintang... dan ... duduk di atas singgasana rembulan ....
Aku ingin seperti layang-layang yang berkibar melambaikan sayap .... mengibas ekor ... memainkan irama syahdu terbalut lirih sayup suara sang pengendara angin. Ahhh .... layang-layang ... tapi .... tidak seperti aku ... yang bisa berkibar di awal malam .... di tengah malam ... dan di akhir malam .... hingga tirai malam menumpahkan kekesalannya saat menungguiku ... dan berlalu ke titik ufuk memanggil sang fajar untuk datang memebelalakkan matanya ... agar aku takut dan mengatupkan kelopak mataku dalam sekejap.
Ahh .... layang-layang, kau hanya bisa meringkuk di tepi tubuh sang kardus ... sepanjang malam ... karena kau sadar .... sang ratu malam tak pernah sudi menonton tarianmu.... tidak seperti raja siang ... yang selalu bergairah menanti liuk lekuk tubuhmu .... menghisap desah nafas asmaramu .... sepanjang malam itu kau hanya tergolek tak berdaya .... laksana sesosok tubuh pesakitan yang tak kuasa menantang ajal.


Bandung, 4 Maret 2008

Rabu, 20 Februari 2008


KONSEP KEMATIAN DAN KEHIDUPAN PASCAKEMATIAN
DALAM LIRIK LAGU RELIGIUS



Resti Nurfaidah



ABSTRACT: Mostly death is considered as the last phase of the cyclus of the human’s and other creatures’ life. Whereas, firstly on the Islamic religion, the death is considered as the first phase of the other ones, called the life after the death. Some people forget that the endable life in the world is likely a facility to catch or save preparations of the life after the death itself.
Exploring this topic, the writer had taken three objects.
The object of the riset is the three religious lyrics below,Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick), Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Chrisye),and Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo). Those that were written bythe Koranic or the words of the Prophet’s based telling us about the death itself and the life afterwards. What should be doneby the human beings, especially for the Moslems, before and after the coming of the death?


1. Pendahuluan
Dunia laksana sebuah sarana hiburan fantasi. Dunia laksana sebuah megastore perhiasan. Manusia adalah pengunjung setianya. Keindahan dan kebahagiaan yang disajikan dalam tempat hiburan dan megastore itu begitu melekat dalam ingatan manusia. Akibatnya, manusia menjadi senang dan berlama-lama untuk tinggal di kedua tempat itu. Ia tidak berniat untuk hengkang dan meninggalkan tempat itu. Manusia demikian asyik dengan kehidupannya, sehingga ia lupa bahwa ada sesuatu yang senantiasa mengintai dirinya setiap saat setiap waktu. Gazalba (1984:11) mengatakan bahwa ada hal yang tidak dapat ditolak oleh manusia, yaitu sirnanya periode kehidupan dan kedatangan sakratul maut. Kepastian datangnya maut merupakan hal yang nyata, tetapi manusia cenderung lalai untuk mempersiapkan dan menghadapinya. Kenapa manusia melupakan saat-saat akan kematiannya, sehingga ia tidak sempat mempersiapkan dirinya? Saat-saat kematian datang menjemput manusia dan apa yang akan dialami oleh manusia pascakematian, akan penulis bahas pada poin selanjutnya. Tepatnya, pada tiga objek penelitian berikut, yang berupa tiga lirik religius, yaitu Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick), Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Chrisye), dan Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo). Ketiga lirik tersebut menyinggung soal kematian dan hal-hal yang akan dialami setelah itu. Pembahasan akan penulis lakukan disertai dengan sejumlah refernsi buku keagamaan yang relevan.

2. Konsep Kematian dan Kehidupan Pascakematian dalam Lirik Lagu Religius
Pembahasan tentang konsep kematian dan kehidupan pascakematian dalam lirik lagu religius ini akan terbagi dua. Pertama, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa dan peringatan tentang kematian, sedangkan yang kedua, mengenai hal-hal yang terjadi setelah kematian—terutama ketika manusia sedang berhadapan dengan pengadilan Allah swt untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya.

2.1 Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick) dan Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo)
Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick) merupakan lirik yang berkisah tentang hal-hal yang membuat manusia terlena dengan segala keindahan kehidupan duniawi dan melalaikan kehidupan akhirat. Penyesalan manusia mendorong dirinya untuk memohon kepada Ilahi untuk dikembalikan ke dunia, tetapi Allah tidak mengizinkannya. Ia terperosok dalam kesedihan dan kesepian di alam kubur. Lirik lagu Bila Waktu Tlah Memanggil tersebut selengkapnya sebagai berikut.

Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick)

Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi
Meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu untuk kembali
Mengulang ke masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yang ada akan
Kembali pada-Nya

Bila waktu tlah memanggil
teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
teman sejati tinggallah sepi

Lirik lagu tadi terdiri atas empat bait. Setiap bait terdiri atas empat larik. Pada bait pertama, larik pertama yang berbunyi / Bagaimana kau merasa bangga / merupakan sebuah pertanyaan satir atau sindiran terhadap salah satu sifat manusia yang cenderung membanggakan apa yang dimilikinya. Jika manusia telah menggenggam sesuatu hal ia akan cenderung mempertahankannya, membanggakannya, dan menunjukkannya kepada orang lain. Kata bangga dalam larik tersebut menunjukkan eufemismus terhadap sikap angkuh, sombong, dan tamak dalam diri manusia. Hal itu tercermin dalam petikan ayat berikut.
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang yang musyrik. Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS, 2:96)

Apa yang dibanggakan oleh manusia, tercermin pada larik kedua yang berbunyi / Akan dunia yang sementara /. Ternyata apa yang menjadi kebanggaan manusia adalah dunia yang telah memberinya kenikmatan hidup. Jerat keindahan dunia telah membuat manusia terlena dan melupakan adanya kehidupan lainnya yang lebih utama, yaitu kehidupan di alam barzah dan alam akhirat. Padahal, dunia ini hanyalah tempat persinggahan manusia sebelum menuju kehidupan yang sesungguhnya. Adanya kehidupan setelah kematian tersebut terdapat dalam petikan ayat berikut.
“Dan kehidupan dunia ini tidak lain dari senda gurau dan permainan saja dan bahwa negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (QS, 29:64)

“[…] Kehidupan dunia ini hanya kesenangan sementara dan kahirat itulah negeri yang kekal.” (QS, 40:39)

Dari ayat tadi, dapat kita pahami bahwa umur dunia ini sangat pendek bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat kelak. Kealpaan manusia terhadap kehidupan paskakematian diperingatkan dalam larik ketiga dan keempat bait pertama yang berbunyi / Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi/ Meninggalkan dirimu /. Bunyi larik tersebut berupa pertanyaan yang tajam kepada kita tentang apa yang akan kita lakukan jika pada suatu saat kita ditinggalkan kebanggaan kita? Ingatkah kita siapa yang mengambil hal-hal yang menjadi kebanggaan kita? Manusia kerapkali melupakan semua yang kita banggakan akan kembali kepada Penciptanya.
Isi bait pertama menyambung pada bait ketiga. Larik pertama yang berbunyi / Dunia dipenuhi dengan hiasan / menyiratkan gambaran tentang hal-hal yang selalu dibanggakan dalam kehidupan manusia itu. Kata hiasan merupakan part pro toto terhadap apa saja yang selalu membuat manusia terlena dalam kehidupan duniawi, yaitu wanita, anak-anak, dan harta. Hal itu telah ditetapkan Allah swt dalam petikan ayat berikut.
“Manusia itu diberi perasaan berhasrat atau bernafsu, misalnya kepada perempuan, anak-anak, kekayaan yang melimpah-limpah, dari mas dan perak, kuda yang bagus, binatang ternak dan sawah lading; itulah kesenangan hidup di dunia. […]” (QS, 40:39)

Manusia telah dibekali kesenangan terhadap keindahan, terutama kepada perempuan, anak-anak, serta harta benda. Namun, semua itu tiada yang abadi. Gazalba (1984:195) mengatakan bahwa istri yang cantik pada suatu saat akan kehilangan kecantikannya. Anak-anak yang dibanggakan akan pergi meninggalkan kita atau, sebaliknya, kita yang meninggalkan mereka. Harta benda akan habis entah dibelanjakan atau diwariskan kepada orang lain. Saat kita mati benda-benda yang kita banggakan hanya akan menjadi saksi bisu di tempat kita bukan di dalam kubur kita. Semuanya akan habis dan kembali kepada Sang Pencipta, yaitu Allah swt. Hal itu tercermin dalam larik kedua dan ketiga pada bait ketiga yang berbunyi / Semua dan segala yang ada akan / Kembali pada-Nya /. Larik tersebut merupakan isi dari petikan ayat berikut ini.
“Kepada Allahlah kembalimu, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS, 11:4)

Istri yang cantik atau suami yang gagah lama kelamaan akan layu dan mati, harta akan habis dengan jalan apa pun, atau anak-anak yang kita banggakan akan pergi dari pelukan kita atau kita tinggalkan. Semua merupakan kehendak Illahi. Hanya Dia yang Mahapenentu.
Bait ketiga tersebut lebih tepat bila disambungkan dengan bait kedua. Setelah terlena dengan keindahan dunia, manusia dihadapkan dengan segala kejutan ketika saat ajal menjemput. Larik pertama dan kedua yang berbunyi / Bagaimanakah bila saatnya / Waktu terhenti tak kau sadari / merupakan pertanyaan yang kerapkali diabaikan oleh manusia. Dalam keterkejutan ketika bersua dengan sang pemutus kenikmatan dunia, manusia hanya dapat bersikap diam terpaku karena mereka merasa tidak siap untuk “berangkat” ke tujuan akhir itu. Keasyikan hidup di dunia membuatnya lupa akan momen transisi menuju tempat sebaik-baiknya tempat. Larik ketiga dan keempat pada bait yang sama berbunyi / Masihkah ada jalan bagimu untuk kembali / Mengulang ke masa lalu / merupakan pertanyaan satir terhadap manusia yang mati dalam keadaan merugi dan tanpa persiapan. Kaum yang demikian merasa sangat menyesal dan memohon untuk dikembalikan ke dalam kehidupan dunia untuk memperbaiki amal perbuatannya. Namun, pintu untuk kembali tidak pernah terbuka dan terkunci untuk selamanya.
Penyesalan manusia yang merugi itu digambarkan pada bait keempat berikut.
Bila waktu tlah memanggil
teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
teman sejati tinggallah sepi
Apa yang dibanggakan semasa hidup di dunia sama sekali tidak berarti dalam kehidupan di alam kubur. Manusia hanya berteman dengan amalannya dan kesepian yang tiada terhingga di alam barzah. Ajal digambarkan secara pleonasme atau berlebihan dengan frasa berikut, yaitu / Bila waktu tlah memanggil / dan / Bila waktu telah terhenti /.
Isi yang hampir sama juga terdapat dalam lirik Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo). Lirik tersebut berbunyi sebagai berikut.



Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo)
Lirik: Miftah Faridl

I
II
Hidup bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke masa yang lalu
Hidup bukan bulatan bola yang
Tiada ujung dan tiada pangkal

Tiga rahasia Illahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran,
kedua pernikahan, ketiga kematian


Hidup ini melangkah terus
Semakin mendekat ke titik terakhir
Setiap langkah hilangkan jatah
Menikmati hidup nikmati dunia

Reff:
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat
Menyebabkan mati

penuhi hidup dengan cinta
ingatkan diri saat untuk berpisah
tegakkan shalat 5 waktu
dan ingatkan diri saat dishalatkan

Reff:
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi jangan takut mati
Meski kau sembunyi dia menghampiri
Takutlah pada kehidupan setelah kematian
Renungkanlah itu

Kehidupan manusia bukan merupakan suatu siklus, terutama dalam pandangan agama Islam. Jika digambarkan, kehidupan manusia itu laksana sebuah garis lurus yang ditarik pada titik awal maupun titik akhir. Kehidupan manusia sejak di alam ruh, dilahirkan dan kembali ke hadirat Ilahi bukan merupakan gambaran sebuah siklus. Yang berawal dari tempat yang sama dan berakhir di tempat yang sama. Larik pertama yang berbunyi / Hidup bagaikan garis lurus / merupakan simile dan larik ketiga / Hidup bukan bulatan bola yang / merupakan metafora terhadap bentuk perjalanan kehidupan manusia itu.
Penjelasan tentang hal tadi terdapat dalam bait kedua. Larik pertama dan kedua yang berbunyi / Hidup ini melangkah terus / Semakin mendekat ke titik terakhir / menyiratkan bahwa semakin lama langkah manusia senantiasa menuju pada ajalnya. Yang membedakan adalah cepat-lambat atau panjang-pendeknya jarak dari titik awal kehidupan ke titik akhir. Semua terserah kepada kehendak Illahi. Jika selama ini tradisi perayaan ulang tahun dikenal istilah “panjang umur”, sudah seharusnya istilah itu diganti dengan “berkah umurnya” (Hidayat, 2005:4). Akan lebih baik lagi jika perayaan ulang tahun itu dijadikan sebagai momen untuk merenungkan perjalanan hidup dan penentuan untuk menetapkan langkah di masa depan. Hidayat dalam sumber yang sama mengatakan bahwa makna panjang umur pada manusia berusia 60-an dirasakan kurang pas. Pada fase tersebut, manusia senantiasa merasakan bahwa ia telah mendekati akhir hidupnya, seperti yang tergambar pada larik ketiga / Setiap langkah hilangkan jatah / dan / Menikmati hidup nikmati dunia /.
Hidayat (2005:118) mengatakan bahwa kematian kerapkali mengundang rasa takut pada diri manusia dan juga makhluk lainnya. Terutama pada manusia, rasa takut itu muncul karena ia enggan meninggalkan segala “perhiasan” dan keindahan dunia. Ia tidak siap menghadapi dan menjalani kehidupan baru yang serbamisterius itu. Namun, rasa takut itu harus dikubur jauh-jauh sementara kematian harus kita persiapkan sejak dini. Peringatan tentang datangnya kematian tersebut tercantum dalam bait ketiga berikut.
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu
Nabi Muhammad saw menegaskan kepada kaumnya agar tidak bersifat fobia terhadap kematian. Kematian mutlak adanya hanya soal kedatangannya saja yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Setiap makhluk hidup pasti akan merasakan kematian. Hal itu tercermin dalam petikan ayat berikut.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS, 21:35)

Meskipun menakutkan, kematian pun kerap dianggap sebagai “hoping land” atau tanah harapan sebagai ujung dari suatu permasalahan. Hal itu tercermin dalam larik pertama dan kedua bait keempat berikut.
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu

Bukan tidak mungkin manusia melakukan hal yang diluar akal untuk menuntaskan masalah yang dihadapinya, misalnya karena putus cinta, putus asa, dan lain-lain. Allah sangat melaknat perbuatan manusia yang menyebabkan mati, seperti membunuh atau bunuh diri. Eufemesmus pada larik ketiga dan keempat berikut ditujukan untuk aktivitas membunuh dan bunuh diri.
Dan janganlah kau berbuat
Menyebabkan mati
Selain kematian, manusia dihadapkan dengan dua hal lain yang senantiasa menjadi misteri dalam kehidupannya, yaitu perjodohan atau pernikahan dan kelahiran, seperti yang tercantum dalam bait kelima berikut.
Tiga rahasia Illahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran,
kedua pernikahan, ketiga kematian

Manusia tidak pernah mengetahui kapan ia akan dilahirkan dan siapa yang akan ia lahirkan. Manusia tidak akan mengenali jodohnya. Seringkali terjadi, pasangan yang telah melakukan approaching selama bertahun-tahun ternyata pada akhirnya bubar dan masing-masing menemukan jodohnya dalam tempo yang sangat cepat.
Bait keenam merupakan “usulan” atau advise kepada umat manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.
penuhi hidup dengan cinta
ingatkan diri saat untuk berpisah
tegakkan shalat 5 waktu
dan ingatkan diri saat dishalatkan

Bekal yang dapat ditabung oleh manusia adalah memenuhi hidup dengan “penuh cinta”. Istilah tadi meruapakan part pro toto terhadap cinta Illahi, cinta kepada sesama manusia, dan cinta kepada makhluk lainnya. Cinta yang terbaik adalah cinta karena Allah swt, yaitu cinta yang senantiasa didasari nilai-nilai ibadah. Ibadah yang utama bagi kaum Muslim adalah solat lima waktu. Jika ibadah itu tidak sempurna, rusaklah seluruh amalannya. Ibadah solat bukan hanya harus dilaksanakan melainkan “ditegakkan”, yaitu dengan menerapkan nilai-nilai solat ke dalam kehidupan sehari-hari. Lakukan ibadah solat dengan sungguh-sungguh seraya mengingat bahwa pada suatu saat solat kita akan terhenti, tepatnya saat ajal menjemput. Tibalah saat bagi kita untuk disalatkan orang lain.
Bait keenam merupakan repetisi utuh bait ketiga. Repetisi tersebut merupakan wujud stressing terhadap kepastian datangnya kematian dan misteri kedatangannya. Bait ketujuh menyiratkan bahwa kematian itu mutlak. Jika tiba waktunya, ia tidak akan pergi. Kemana pun kita berusaha bersembunyi, kematian pasti akan mendapatinya, seperti yang tercermin pada larik pertama dan kedua yang berbunyi / Pesan Nabi jangan takut mati / Meski kau sembunyi dia menghampiri /. Hal itu tercermin pula dalam petikan ketiga ayat berikut.
“[…] Kematian yang dari padanya kamu melarikan diri sesungguhnya akan menemui kamu, kemudian itu kamu dibawa kembali kepada Tuhan yang tahu hal yang gaib dan yang nyata.” (QS, 62:8)
“Kami telah menentukan kematian kepada kamu dan Kami tidak dapat dikalahkan.” (QS, 56:60)
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kukuh, […].” (QS, 21:35)

Pascakematian, manusia tidak akan habis masanya begitu saja. Namun, ia akan melalui kehidupan yang lain, yaitu di alam barzah dan alam akhirat, seperti yang diungkapkan dua larik terakhir yang berbunyi / Takutlah pada kehidupan setelah kematian / Renungkanlah itu /. Kata renungkanlah itu menyiratkan agar umat Islam tidak lagi berleha-leha dan terlena di dunia serta mulai bersiaga menabung amalan sebagai teman dan sahabat pascakehidupan di dunia.

2.2 Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Chrisye)
Lirik yang berjudul Ketika Tangan dan Kaki Bicara merupakan buah karya Taufik Ismail yang dinyanyikan oleh alm. Chrisye. Lirik ini ditulis berdasarkan isi ayat suci Al-Quran, yaitu QS Yaasiin ayat 65 berikut.
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS, 36:65)

Lirik ini menggambarkan kondisi manusia pada kehidupan pascakematian, terutama ketika mereka menghadapi hisab di pengadilan yang mahaadil itu. Pada saat itu, lidah dan mulut seolah terkunci rapat dan tidak mampu mengelak menangkis kesaksian anggota tubuh lain, tangan dan kaki, atas perbuatan selama di dunia. Hal itu terungkap di dalam kutipan berikut.
Akan datang hari Mulut dikunci Kata tak ada lgi Akan tiba masa Tak ada suara Dari mulut kita Berkata tangan kita Tentang apa yang dilakukannya Berkata kaki kita Kemana saja dia melangkahnya Tidak tahu kita Bila harinya Tanggung jawab, tiba...
Bait keempat merupakan petikan doa agar terhindar dari hal-hal yang dapat menjerumuskan kita pada akhirat nanti.
Rabbana Tangan kami Kaki kami Mulut kami Mata hati kami Luruskanlah Kukuhkanlah Di jalan cahaya Sempurna Mohon karunia Kepada kami HambaMu Yang hina

Hidayat (2005:161—162) mengatakan bahwa hidup di dunia ibarat rekreasi dan shopping. Dalam perjalanan kita dianjurkan untuk membeli barang-barang yang berguna, bukan sembarang barang yang hanya akan mempersulit jalan pulang kita. Hidup juga ibarat sebuah lemari pakaian yang kita isi dengan pakaian dan perhiasan yang indah dan layak pakai. Sementara itu, pakaian yang sudah usang dan tak layak pakai kita buang saja. Dengan demikian lemari kita akan selalu terlihat rapih dan bersih. Bahkan, Rasulullah pernah bersabda bahwa kehidupan ini ibarat masa tanam yang hasil panennya baru akan kita nikmati kelak pada kehidupan pascakematian.
Segala aktivitas kita akan terekam kuat di dalam sebuah disket berupa ruh. Rekaman data itulah yang kelak akan diolah di pengadilan akhirat nanti. Disket itu pula yang akan menjadi sahabat atau, sebaliknya, menjadi bumerang bagi pemiliknya. Semua bergantung pada amal perbuatan pemiliknya selama hidup di dunia.
Wahai kematian, selamat datang! Selamat menjemput kami dan kami akan menerima kedatanganmu dengan lapang dada. Jangan butakan mata dan hati kami terhadap kilaunya perhiasan dunia dan melupakan pembelian perhiasan akhirat. Wanita cantik, lelaki gagah, anak-anak yang lucu, dan harta yang melimpah bukan merupakan malaikat pelindung bagi pemiliknya di akhirat. Sahabat dan pelindung manusia di alam akhirat hanyalah amal perbuatannya.

3. Simpulan
Dunia dan kehidupan di dalamnya laksana kilauan perhiasan yang mampu menjerat manusia untuk merebutnya. Dunia dan perhiasannya itu laksana semilir harumnya hidangan kelas atas yang mendorong manusia untuk selalu lapar lahir dan batin untuk mencicipinya. Kehidupan di dunia tidak ubahnya seperi rekreasi ke tempat wisata. Kita selalu terdorong untuk memborong oleh-oleh yang ada di tempat itu. Kehidupan itu laksana sebuah almari yang penuh dengan jejalan pakaian dan aksesoris.
Namun, tempat rekreasi itu bukanlah tempat tinggal yang abadi. Tempat itu hanyalah persinggahan untuk melepas lelah. Lemari bukan tempat baju dan aksesori yang permanent. Baju dan perhiasan yang sudah tidak layak pakai tentu harus dikeluarkan dari tempat itu. Kehidupan di dunia bukanlah surga abadi, tetapi ada yang kehidupan lain yang lebih abadi, yaitu kehidupan pascakematian.
Kehidupan pascakematian memerlukan bekal yang sangat banyak dan akurat agar kita tidak tersesat di sana. Sedini mungkin kita harus bersosialisasi dengan sahabat yang akan mengangkat kita ke tempat yang mulia, yaitu amal perbuatan.
Sebagai sarana dakwah yang santun dan tidak menggurui, lagu religius dapat dijadikan sebagai acuan untuk bertakwa. Tiga lagu berikut berisi ajakan untuk merenungkan apa yang akan kita persiapkan dan kita perbuat dalam menyambut datangnya kematian (Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick) dan Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo)) dan kehidupan pascakematian (Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Chrisye)). Lirik tersebut biasanya ditulis berdasarkan petikan ayat suci atau sabda Nabi Muhammad saw yang relevan.

4. Daftar Pustaka
Baiquni, N.A. 1996. Indeks Al-Qur’an: Cara Mencari Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Arkola.
Depag RI. 2000. Al-‘Aliyy: Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Gazalba, Sidi. 1984. Maut Batas Kebudayaan dan Agama. Jakarta: PT Tintamas Indonesia.
Hidayat, Komaruddin. 2005. Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Bandung: Penerbit Hikmah.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


5. Pustaka Sumber
Bimbo. “Hidup dan Pesan Nabi” dalam album Shalawat. Jakarta: PT. Musica Studio.
Chrisye. “Ketika Tangan dan Kaki Bicara” dalam album Kala Cinta Menggoda. Jakarta: PT. Musica Studio.
Opick. “Bila Waktu Tlah Memanggil” dalam album Opick Istighfar. Jakarta: PT. Musica Studio.

6. Lampiran
Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick)

Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi
Meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu untuk kembali
Mengulang ke masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yang ada akan
Kembali pada-Nya

Bila waktu tlah memanggil
teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
teman sejati tinggallah sepi

Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo)
Lirik: Miftah Faridl

Hidup bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke masa yang lalu
Hidup bukan bulatan bola yang
Tiada ujung dan tiada pangkal

Hidup ini melangkah terus
Semakin mendekat ke titik terakhir
Setiap langkah hilangkan jatah
Menikmati hidup nikmati dunia

Reff:
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat
Menyebabkan mati

Tiga rahasia Illahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran,
kedua pernikahan, ketiga kematian

Penuhi hidup dengan cinta
ingatkan diri saat untuk berpisah
tegakkan shalat 5 waktu
dan ingatkan diri saat dishalatkan

Reff:
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi jangan takut mati
Meski kau sembunyi dia menghampiri
Takutlah pada kehidupan setelah kematian
Renungkanlah itu

Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Bimbo)
Lirik: Taufik Ismail


Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab, tiba...
Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya
Sempurna
Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu Yang hina

PEMERKOSAAN DALAM KARYA SASTRA INDONESIA


Resti Nurfaidah

1. Pendahuluan
Pemerkosaan merupakan salah satu bagian dari beberapa tindakan perilaku penyimpangan psikoseksual. Hal itu semakin sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Terlebih, aneka tayangan di televisi maupun berita di beberapa media cetak pun seolah “menggembar-gemborkan” peristiwa tersebut. Pemerkosaan seolah menjadi hal yang lumrah dan/atau mulai sudah diterima sebagai habitual action dalam kehidupan sehari-hari. Semakin longgarnya pengawasan sosial dalam masyarakat kita seolah-olah turut “mengundang” kehadiran pemerkosaan itu setiap saat. Lingkungan sosial seolah-olah menelan mentah-mentah hal itu. Padahal, akibat dari peristiwa itu dapat merugikan lingkungan tersebut karena salah satu anggota habitat sosial itu (perempuan) akan dirugikan dan tersudut.
Kasus pemerkosaan banyak terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang dijadikan sebagai “legenda”, seperti kasus “Sum Kuning” dan “Karmila”. Kedua legenda tersebut kemudian diangkat ke layar lebar. Bahkan, “Karmila” diputar berulang-ulang dan pernah dibuat dalam versi drama serial di televisi.
Peristiwa pemerkosaan tersebut, selain hadir di dalam tayangan dan berita dalam media massa, juga hadir di dalam sejumlah karya sastra, terutama karya sastra Indonesia. Melalui karyanya, para pengarang ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa peristiwa pemerkosaan dapat menimpa siapa saja, kapan saja, dan dalam kondisi sosial apa saja. Selain itu, mereka juga ingin memberikan gambaran tentang sebab dan akibat yang berkaitan dengan peristiwa yang mengerikan bagi seorang perempuan itu.
2. Pemerkosaan dan Tinjauan Aspek Psikologis tentang Pemerkosaan
Sadarjoen (2005:14) mengemukakan bahwa pemerkosaan pada dasarnya merupakan perilaku seksual yang memiliki objek seksual yang normal (laki-laki dan perempuan). Namun, relasi seksual yang terjalin dalam pemerkosaan berada dalam kondisi antisosial karena terjadi atas dasar paksaan yang mengandung unsur agresivitas dari orang yang memiliki kepribadian yang diliputi dengan kebencian. Penyebab terjadinya kasus pemerkosaan, menurut pendapat Sadarjoen, adalah kegagalan dalam perkembangan nilai-nilai moral yang kokoh dan rendahnya control dalam dorongan seksual dan dorongan kebencian.
Kasus pemerkosaan sangat berbeda dengan kasus penyimpangan psikoseksual lainnya, seperti homoseksual, transeksual, dan inses yang memiliki ciri khas masing-masing. Kasus homoseksual dan transeksual cenderung melibatkan orang-orang di luar ikatan keluarga. Kasus inses yang hanya melibatkan orang-orang yang berada di dalam ruang lingkup kekeluargaan. Sementara itu, kasus pemerkosaan memiliki ciri yang unik karena dapat terjadi baik antarindividu yang berasal dari satu ikatan keluarga maupun antarindividu maupun dari luar ikatan keluarga. Dengan kata lain, pemerkosaan dapat terjadi pada siapa saja.
Pencetus kasus tersebut sangat variatif, antara lain, karena ambisi tertentu, pengaruh alkohol atau narkoba. Selain itu, pemerkosaan juga sangat beragam. Davison (2001:398) mengemukakan beberapa jenis kasus pemerkosaan, antara lain (1) pemerkosaan terencana (seperti kasus yang menimpa Sukreni), (2) pemerkosaan yang terjadi di bawah pengaruh racun tertentu (alkohol atau narkoba)—seperti yang dialami oleh Karmila, dan (3) pemerkosaan yang terjadi karena keinginan tertentu (misalnya, ingin menguasai atau menindas korban, seperti yang menimpa Made Jepun).
Para pelaku pemerkosaan sebagian besar selalu memiliki elemen yang tidak terduga dan senjata yang mereka gunakan untuk mengintimidasi dan memaksa (Davison, 2001:399). Sementara itu, korban pemerkosaan selalu berdalih bahwa dirinya dipaksa dan diancam oleh si pelaku. Pascapemerkosaan itu mereka akan dihantui oleh beberapa hal, di antaranya (1) perasaan menyesal karena tidak mampu berupaya keras menghindar dari si pelaku, (2) menaruh rasa dendam, (3) tanpa disadari mengembangkan sikap negatif terhadap seks, (4) mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan suami atau kekasihnya, dan (5) mengalami gangguan jiwa (Davison, 2001:399).
Korban pemerkosaan biasanya mengalami kesulitan dalam menuntaskan penyelesaian kasus yang menimpanya karena berbagai hal, di antaranya, (1) sikap masyarakat yang individualis, (2) jalur birokrasi yang rumit, dan (3) ketidaktahuan. Hingga saat ini bukan tidak mungkin banyak kasus pemerkosaan yang terputus di tengah jalan karena hal-hal tersebut.

3. Pemerkosaan dalam Karya Sastra Dunia
Kasus pemerkosaan telah lama diangkat sebagai tema dalam sebuah karya sastra, di antaranya, dalam (1) Mitologi Yunani (perilaku Mahadewa Zeus terhadap beberapa wanita), (2) Mahabarata (beberapa peristiwa perkosaan terhadap wanita-wanita dalam karya tersebut), (3) Sukreni Gadis Bali (Sukreni), dan (4) Karmila (dr. Karmila) hingga Adam dan Hawa (Maia).
Dalam Puspasari Mitologi Yunani dikisahkan bahwa mahadewa Zeus sering digambarkan selain sebagai dewa yang mahaagung juga sebagai dewa asmara yang selalu berupaya untuk mengingkari istrinya, Hera. Ia berselingkuh dengan segenap wanita jelita di permukaan bumi. Ia selalu merasa puas dengan apa yang ia lakukan, baik terhadap istrinya maupun “korban-korbannya” itu. Padahal, Hera tidak segan-segan berbuat kejam terhadap korban nafsu sang suami. Sementara itu, tidak sedikit wanita yang “dimangsa” oleh Zeus mengalami penderitaan yang berkepanjangan.
Dalam Wechsler (1976: 24—25) perilaku gila seks Zeus terhadap Callisto terungkap dalam kutipan berikut.
Diciumnya bidadari itu, namun tidaklah dengan cara yang santun. Berahinya bangkit dan gadis pemburu yang malang itu membela diri dengan sekuat tenaga. […] Setelah melampiaskan maksudnya, Zeus kembali lagi ke tempat kediamannya di Olympus, sedangkan Callisto dalam keadaan risau dan cemas mengembara di hutan belantara seraya memendam rasa malu.

Akibat perbuatan suaminya itu, Hera menaruh dendam kepada Callisto. Ketika wanita malang itu telah melahirkan seorang anak lelaki yang bernama Arces, Hera mengubah wanita tersebut menjadi seekor beruang. Selain Callisto masih ada wanita lain yang mengalami nasib serupa, di antaranya, Io, putri Inachus si dewa sungai, dan Danae, putri Raja Argos, Acrisius. Sementara itu, salah seorang wanita yang “agak beruntung” adalah Europa, putri Raja Sidon yang dinikahi Zeus di Pulau Kreta.
Dalam kisah Mahabarata terdapat adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh Abyasa terhadap dua kakak beradik Ambika dan Ambalika. Semula Ambika dan Ambalika dinikahkan pada adik tiri Abyasa, Wicitrawirya (putra Satyawati dan Santanu, Raja Hastinapura). Namun, Wicitrawirya harus menemui ajalnya tujuh tahun kemudian tanpa meninggalkan seorang pewaris tahta kepada kedua istrinya itu. Sang ibu, Satyawati, merasa khawatir terhadap kelangsungan kerajaan Hastinapura. Ia lalu mengharapkan kehadiran anak sulungnya, Abyasa, untuk mendatanginya. Dalam sekejap Abyasa pun muncul di hadapan sang ibu. Wanita itu meminta Abyasa untuk menyetubuhi kedua bersaudara itu agar dapat menjaga kelangsungan kerajaan Hastinapura. Abyasa pun mematuhi kehendak sang ibu. Namun, ia mengajukan syarat bahwa akan muncul di hadapan kedua wanita itu dalam keadaan yang sangat buruk. Ia menjelma menjadi seorang pertapa kudisan. Abyasa mendatangi Ambika. Wanita itu terkejut dan merasakan ketakutan yang luar biasa melihat penampilan lelaki yang sangat buruk dan menjijikkan itu. Matanya dipejamkan selama berdampingan dengan lelaki itu. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.
Abyasa masuk tatkala lampu sedang menyala terang. Terkejut oleh wajahnya yang menyeramkan, rambutnya yang seperti tembaga kusam, matanya yang berwarna kebiru-biruan dan jenggotnya yang hitam, ia memejamkan matanya. Meskipun Abyasa berbaring di sampingnya dan bersanggama dengan Ambika, ia tak pernah membukakan matanya barang sekali. (Lal, P., 1992:27)

Akibat perilaku Ambika tersebut, Abyasa mengatakan bahwa anak yang akan dilahirkan wanita itu tidak dapat melihat seumur hidupnya. Satyawati tentu merasa sangat kecewa dengan kenyataan yang akan ia hadapi itu. Ia menginginkan calon pewaris kerajaan yang fisiknya sempurna. Abyasa pun mengabulkan keinginan sang ibu untuk mendatangi Ambalika. Ambalika juga mengalami hal yang sama ketika harus mendampingi lelaki yang menjijikkan itu. Karena didera rasa takut yang tiada terhingga, kulit Ambalika pun memucat. Akibatnya, anak yang akan dilahirkan wanita itu kelak akan dikenal dengan nama Pandu atau si Pucat. Satyawati kembali menelan rasa kecewa. Ia meminta Abyasa untuk kembali mendatangi Ambika. Lelaki itu menurut. Namun, Ambika tidak mau mengulangi peristiwa mengerikan itu untuk yang kedua kalinya. Ia mendandani salah seorang pelayannya dengan pakaian dan perhiasan mewah miliknya. Ternyata, pelayan itu sangat menaruh hormat kepada Abyasa yang menjelma seperti seorang gembel. Ia melayani Abyasa dengan sepenuh hati. Abyasa pun menyampaikan penipuan yang dilakukan Ambika sekaligus kabar gembira bahwa anak yang dilahirkan itu kelak akan menjadi manusia yang baik budi dan arif bijaksana yang bernama Widura. Sementara itu, pelayan itu dibebaskan.

3. Pemerkosaan dalam Karya Sastra Indonesia
Seperti penulis ungkapkan sebelumnya bahwa pemerkosaan telah lama diangkat sebagai bahan inspirasi para pengarang ke dalam karya sastranya, termasuk karya sastra dunia (Mitologi Yunani atau Mahabarata). Selain di dalam karya sastra dunia, tema serupa juga banyak diangkat ke dalam karya sastra Indonesia, di antaranya, novel Karmila (Marga T.), Sukreni Gadis Bali (A.A. Panji Tisna), Adam dan Hawa (Muchidin M. Dahlan), dan cerpen Made Jepun (Putu Oka Sukanta).
Karmila bercerita tentang malapetaka yang menimpa seorang mahasiswi kedokteran yang terbilang “polos” dalam sebuah pesta “gila”. Ia dinodai oleh seorang lelaki pemabuk produk broken home yang bernama Faisal Gurong. Peristiwa pemerkosaan tersebut tidak diceritakan secara gamblang oleh si pengarang, tetapi siksaan pascapulihnya kesadaran tokoh Karmila yang diungkapkan secara terperinci. Kondisi Karmila yang mengalami kepanikan luar biasa ketika mendapati seseorang yang tidak dikenalnya berbaring bersamanya di sebuah kamar yang gelap gulita. Selain itu, gadis itu juga menerima perlakuan keji yang bertubi-tubi yang diterimanya dari lelaki yang pada saat itu sedang dikuasai pengaruh minuman keras dan obat terlarang itu terungkap dalam kutipan berikut.

Ada orang di kamarnya. Karmila berdiri kaku di samping tempat tidur.
Ada orang. Ada suara napas orang yang menderu-deru seperti habis berlari. Ditahannya napasnya. Didengarnya dengan berdebar-debar. Betul. Rasanya suara itu amat dekat dengan dia. Tiba-tiba Karmila menjadi takut dan menjerit. Sebuah tangan yang besar, melayang turun dan menutup mulutnya. Karmila menendang dan mencubit dan menampar. Tapi orang itu dengan mudah berhasil pula mengikat kedua belah tangannya. (Marga T., 1990:22)

Peristiwa tersebut telah menghancurkan angan-angan Karmila untuk dapat melanjutkan impiannya menjadi seorang dokter dan seorang istri ideal bagi kekasihnya, Edo, yang sedang menempuh studi di Australia. Karmila terpaksa mengubur keinginannya untuk menikah dengan lelaki idamannya. Ia bersanding dengan lelaki bejat yang telah menodainya, Faisal. Benih yang ditanamkan oleh lelaki bejat itu membuahkan janin di dalam rahimnya. Rasa benci dan cinta berkecamuk di dalam diri Karmila. Ia sangat membenci lelaki itu dan janin yang ada di dalam kandungannya. Namun, ia tidak kuasa mengenyahkan bakal anaknya itu.
Dengan tertatih-tatih Karmila berusaha bangkit dari keterpurukan itu. Namun, ia tidak mampu mengusir rasa benci kepada lelaki itu dan melampiaskan hal itu kepada anaknya. Padahal, Faisal telah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami dan ayah yang baik bagi keluarganya. Ia menyadari bahwa Edo masih setia menantinya di Benua Kangguru itu. Ia bertekad untuk melanjutkan studinya di benua itu dan meninggalkan masa kelamnya, termasuk keluarganya. Namun, Karmila tetap seorang ibu yang sarat nurani keibuannya. Menjelang keberangkatannya, kondisi sang anak anfal hingga memaksa Karmila bernazar untuk mengurungkan niatnya itu demi kesembuhan sang anak. Setelah itu, Karmila berupaya untuk menerima kehadiran Faisal dan Fani, anaknya, dalam kehidupannya. Beban di dalam rumah tangga Karmila dan Faisal seakan terangkat ketika menerima sepucuk undangan dari Edo yang menikah dengan seorang gadis asal Benua Kangguru.
Selain dalam Karmila, tema serupa juga diangkat dalam Sukreni Gadis Bali karya A.A. Panji Tisna. Peristiwa tersebut menimpa seorang gadis lugu yang bernama Ni Luh Sukreni yang terperangkap ke dalam jebakan Men Negara, seorang wanita pemilik kedai yang ambisius. Wanita jahat itu telah disuap oleh salah seorang pejabat kepolisian yang bernama I Gusti Made Tusan. Lelaki itu sangat tergila-gila kepada Sukreni hingga melakukan segala cara untuk mendapatkan bidadari yang sangat lugu itu. Seperti dalam Karmila, peristiwa pemerkosaan tersebut tidak diungkapkan secara gamblang, tetapi tergambar dalam kata-kata polisi bejat itu pada kutipan berikut.

“Aku hendak masuk ke tempat tidur Ni Luh Sukreni malam ini. Tak tahan aku melihat mukanya yang cantik itu. Suruh tinggalkan dia tidur seorang saja kepada Ni Negari. Besok jika selamat, aku beri engkau hadiah.” (Tisna, 1990:60)

I Gusti Made Tusan sebenarnya telah berniat memperistri anak Men Negara yang lain, yaitu Ni Negari. Namun, demi mendapatkan suapan harta yang banyak, Men Negara yang sejak awal bukan merupakan ibu dan istri yang baik rela menyerahkan anaknya yang lain, Ni Luh Sukreni, kepada pejabat polisi yang bejat itu. Sebenarnya, Ni Luh Sukreni merupakan nama lain Ni Widi, anak pertama Men Negara dari suami pertama. Sejak dini Men Negara telah mengenal betul sifat-sifat buruk I Gusti Made Tusan itu. Oleh karena itu, ia pun mengatur strategi untuk memeras gaji pejabat polisi itu dengan mengorbankan Ni Negari. Men Negara bukan wanita bodoh, melainkan wanita cerdas dan ambisius. Meskipun merelakan Ni Negari, ia berhasil mengulur-ulur waktu pernikahan pejabat polisi yang sudah beranak pinak itu dengan putrinya.
Ni Luh Sukreni harus menanggung beban mental yang sangat berat setelah mengalami peristiwa yang paling mengerikan dalam hidupnya. Sama halnya dengan Karmila, Sukreni juga sebenarnya telah memiliki seorang kekasih, yaitu I Gede Suamba. Semula ia akan dipersunting oleh kekasihnya itu setelah upacara pengabenan kakeknya di Karangasem. Namun, peristiwa itu telah meluluhlantakkan impian kedua sejoli tersebut. Sementara itu, untuk menutupi aib Sukreni terpaksa mengganti namanya menjadi Ni Made Sari. Ia bekerja di luar kampungnya agar tidak terlihat, baik oleh ayahnya maupun teman-temannya. Ia bekerja di rumah seorang kepala sekolah sebagai pembantu rumah tangga. Namun, di tempat itu nasib Sukreni tidak juga membaik.
Peristiwa pemerkosaan itu semakin berbuntut panjang ketika Sukreni terpaksa mengandung janin di dalam rahimnya. Ia melahirkan anak hasil pemerkosaan itu di rumah salah seorang teman ayahnya yang bernama Pan Gumirang.
Kehadiran anak tersebut, I Gustam, di dalam kehidupan Sukreni bukan sebagai pelipur lara atas rentetan panjang duka sang ibunda, melainkan sebagai penambah derita dirinya. I Gustam mewaris sifat buruk ayahnya. Perilakunya sangat brutal. Ia tidak segan-segan melakukan tindak kejahatan, baik kepada orang lain maupun kepada ibunya sendiri. Penjara menjadi tempat yang akrab dalam sejarah kehidupannya.
Sukreni Gadis Bali berakhir pada kematian Sukreni dalam kehampaan yang panjang serta ayah dan anak dalam sebuah pertikaian. Kematian Sukreni yang malang itu terungkap dalam kutipan berikut.
Sementara I Gustam dalam penjara itu Ni Luh Sukeni pulang ke Manggis. Beberapa lamanya ia tinggal dengan bapaknya, ia pun meninggalkan dunia yang fana ini karena penyakit, disebabkan makan hati berulam jantung dengan tiada berkeputusan. (Tisna, 1990:87)

Sementara itu, kematian tragis antara ayah (I Gusti Made Tusan) dan anak (I Gustam) terjadi dalam sebuah peristiwa perampokan oleh sekomplotan kawanan perampok ternama yang dipimpin oleh I Gustam terhadap Men Negara. Pada saat yang sama I Gusti Made Tusan dan anak buahnya sedang meronda di daerah itu. Pejabat kepolisian beserta anak buahnya turun tangan mengamankan warung Men Negara dari aksi perampokan. Pertempuran sengit antara dua kubu pun tidak dapat terelakan lagi. Dua orang pimpinan, I Gusti Made Tusan dan I Gustam, pun akhirnya saling membunuh. Kematian tragis ayah dan anak itu terungkap dalam kutipan berikut.
I Gusti Made Tusan tercengang, lalu menunduk memandangi anaknya yang terbaring di bawah kakinya.
Ketika itu baru terasa olehnya, bahwa ia pun luka parah…
Rupanya kepalanya kena diparang I Gustam sebelum lehernya putus. Pemandangan I Gusti Made Tusan kabur, dialiri oleh darah, dan hatinya pun terharu mendengar seru I Made Aseman itu. Ayahnya, --ia pun berusaha jua hendak mendekati muka anak itu tetapi ia telah pening, terhuyung-huyung, lalu rebah di sisi mayat I Gustam. Komandan tentara datang ke dekatnya, lalu diangkatnya kedua mayat itu ke pinggir jalan. (Tisna, 1990:87)

Selain di dalam Karmila dan Sukreni Gadis Bali, kasus perkosaan juga terungkap dalam salah satu cerpen karya Sukanta dalam kumpulan cerpen Rindu Terluka. Cerpen yang berjudul Made Jepun tersebut berkisah tentang peristiwa pemerkosaan yang menimpa seorang gadis muda, penari Bali, yang dituduh sebagai antek Gerwani. Gadis itu berupaya menolak keras tuduhan yang dilontarkan oleh salah seorang pegawai sipil Polri yang bernama I Blanar. Ia bersikeras bahwa menari dalam suatu acara tertentu karena diundang oleh penyelenggara, bukan sebagai pendukung organisasi terlarang itu. I Blanar pun bersikeras dengan tuduhannya dan memaksa gadis itu untuk bersumpah di hadapan Jero Gede (pemimpin keagamaan di Bali atau di salah satu tempat sembahyang di pekarangan rumah). Ketika gadis itu sedang bersimpuh di tempat itu, I Blanar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melakukan perbuatan biadab itu kepada Made Jepun, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.

Made Jepun keluar diiringi oleh lelaki itu, menuju Jero Gede di pekarangan belakang rumahnya, di dekat pohon mangga. Ketika Made Jepun sedang bersimpuh di hadapan Jero Gede mengucapkan sumpahnya, tiba-tiba lelaki itu merangkul dari belakang dan menelentangkannya. Ronta dan tangis menambah kobaran birahi lelaki itu. “Akan kuselamatkan kamu asal ….” Ucapannya terputus disambung desah nafas tak teratur. Made Jepun tetap meronta sampai akhirnya tidak berdaya. Dan kemudian Made Jepun terkoyak, darah mengalir dari lubang sucinya. Dengan sisa tenaga, ia lari ke kamarnya, setelah lelaki itu menghilang. (Sukanta, 2004:18)

Peristiwa tragis itu telah menghancurkan masa depan Made Jepun serta menggoncangkan kejiwaannya hingga akhir hayatnya. Nasib pelaku tindak kriminal tersebut, I Blanar, juga tidak kalah miris. Ia menderita gangguan jiwa dan dirawat di rumah sakit jiwa di Kabupaten Bangli. Bertepatan dengan hari penguburan jenazah Made Jepun, I Blanar melarikan diri dari rumah sakit. Namun, nyawanya terampas sebuah truk sampah di sebuah tikungan.
Kasus perkosaan dalam novel Adam dan Hawa karya Muhidin M. Dahlan menimpa tokoh Maia yang merupakan wanita pertama sebelum terciptanya Hawa, pasangan Adam di Surga. Novel yang mengambil latar masa penciptaan Adam di surga itu mengisahkan penderitaan seorang Maia, wanita yang cantik dan penuh gelora, yang merasa telah dilecehkan oleh “suaminya”, Adam. Ia dipaksa tinggal di dalam sebuah rumah milik Adam dan menjadi pemuas nafsu lelaki perdana itu. Maia merasa tersiksa karena tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang dari lelaki yang senantiasa menggunakan tubuhnya hampir tiada henti itu. Ia tidak pernah merasakan udara kebebasan. Laksana korban sebuah aksi penculikan, Maia disekap dan tidak pernah diperkenalkan dengan lingkungan sekitar. Maia merasa dirinya hanya diperlakukan sebagai budak seks lelaki “pejantan tangguh” itu. Hal itu terungkap dalam kutipan kata-kata Maia berikut.
“Kau tahu Adam, siang malam tak berjumlah, aku tiada lain tak pernah merasa mendapatkan cinta. Aku jadi sandera yang tak boleh melihat dan disentuh oleh matahari. Bukankah itu kehidupan yang terkutuk?
“Aku tak mengerti, Maia. Apa yang kau maksud dengan tak dapat cinta?”
“Kau memang tak akan pernah mengerti. Oh, ternyata di siang malam tak berbilang itu aku telah diperkosa lelaki bodoh.” (Dahlan, 2005:48)

Tekanan batin yang menderanya itu menimbulkan dendam di dalam kalbu sang bidadari. Dendam itu lama kelamaan semakin tertancap kuat di dalam jiwanya. Batin Maia bergejolak. Ia memberontak kepada Adam. Adam murka luar biasa. Maia yang sudah tidak tahan akhirnya melarikan diri. Pelariannya berakhir di rumah “adik iparnya” Idris. Idris tidak lain adalah adik Adam sendiri. Bersama Idris Maia seakan sedang menjadi ratu di istana batu. Idris senantiasa memenuhi setiap “keinginan” Maia.
Hubungan mereka membuahkan seorang anak perempuan yang bernama Marfu’ah. Sejak kecil Maia mendidik anaknya untuk menjadi pembalas dendamnya. Untuk itu, ia tidak segan-segan menyingkirkan Idris dari rumah itu. Setelah itu, status Idris tidak ubahnya seperti upik abu demi memenuhi kebutuhan sang majikan. Bahkan, Idris harus rela kehilangan kejantanannya ketika dikebiri oleh Maia.
Perjuangan Maia pun berhasil. Marfu’ah tumbuh menjadi bidadari jelita yang siap menghunuskan pisau tajam di balik keindahannya itu. Namun, kekejamannya itu hanya berlaku untuk seorang lelaki bernama Adam. Sebelum hari eksekusi sang Adam, Marfu’ah sempat dinikahkan dengan Khabil, putra Adam dan Hawa yang sempat berhubungan intim dengan Maia. Marfu’ah dilarang berhubungan badan dengan suaminya selama 15 hari pertama perkawinannya. Tepat pada hari ke-15, Marfu’ah melaksanakan hari eksekusi bagi sang Adam. Dirayunya sang Adam yang tidak mengenali keponakannya sendiri. Adam pun terhanyut dan tergoda oleh bidadari muda itu. Di tengah percintaan mereka, tanpa diketahui sang Adam, Marfu’ah menghunuskan sebilah batu tajam ke dada sang pejantan hingga isi tubuhnya terburai melalui sebuah luka yang menganga berlumur darah. Adam mati di tangan keponakannya sendiri.

4. Tinjauan Psikologis Korban Pemerkosaan dalam Karya Sastra

Seperti yang telah penulis uraikan dalam butir 3, pemerkosaan menimpa pada beberapa tokoh wanita dalam novel dan cerpen. Berdasarkan paparan teori psikologi pada butir 2, kasus pemerkosaan yang menimpa tokoh wanita dalam sumber data tersebut terjadi dengan beragam. Dalam Karmila pemerkosaan terjadi di bawah pengaruh alkohol, dalam Adam dan Hawa, Made Jepun, serta Sukreni Gadis Bali pemerkosaan terjadi secara terencana demi satu tujuan tertentu.
Faisal Gurong, sang pelaku, merupakan putra seorang saudagar kaya yang luput dari pengawasan kedua orang tuanya. Ia melampiaskan kekecewaannya itu pada hal yang buruk, di antaranya, pesta-pesta dan mabuk-mabukkan. Di bawah pengaruh minuman keras dalam sebuah pesta “gila” Faisal menodai Karmila, kandidat dokter. Selain dinodai, Karmila juga menerima siksaan fisik dari Faisal secara bertubi-tubi. Peristiwa tersebut menorehkan trauma dalam diri Karmila. Bahkan, peristiwa itu membuahkan janin dalam tubuhnya. Sebagai seorang korban pemerkosaan, ia sangat membenci lelaki yang telah menghancurkan hidupnya dan janin yang ada di dalam perutnya. Namun, sebagai seorang calon ibu, ia tidak terhanyut godaan untuk menyingkirkan bayi yang ada di dalam rahimnya. Berkali-kali ia menolak Faisal yang terpaksa menjadi pendamping hidupnya dan penghapus impiannya untuk menikah dengan pria idamannya, Edo. Berkali-kali pula ia menolak Fany, anaknya, karena anak itu dianggapnya sebagai penghalang dalam meraih impiannya untuk menjadi seorang dokter dan untuk melanjutkan pendidikan di Australia. Namun, naluri kewanitaan dan keibuan jualah yang berhasil mengikat kedua kaki dan hati Karmila untuk kembali pada keluarganya.
Dalam Sukreni Gadis Bali pemerkosaan tersebut merupakan buah konspirasi antara Men Negara yang ambisius dan mata duitan dengan I Gusti Made Tusan yang mata keranjang. Polisi bejat itu memutuskan untuk menunda pernikahannya dengan Ni Negari, anak Men Negara, karena telah kepincut dengan kecantikan Ni Luh Sukreni.
Seperti yang dialami oleh Karmila, Sukreni juga harus menanggung malu dan trauma pascapemerkosaan. Ia juga terpaksa menerima kehadiran janin hasil pemerkosaan dalam perutnya. Derita pascapemerkosaan itu berbuntut panjang ketika Sukreni yang lemah harus menerima kenyataan bahwa ia tidak mampu membesarkan buah hatinya yang buruk perangainya itu. Bahkan, sang anak diangkat sebagai pimpinan komplotan perampok paling disegani di Buleleng. Sukreni mati dalam kehampaan.
Dalam Adam dan Hawa pemerkosaan yang dilakukan Adam pada Maia membuahkan perubahan perilaku Maia. Ia berubah menjadi wanita pendendam yang senantiasa menanti saat yang tepat untuk memuaskan dendamnya. Meskipun pada awalnya merasa kecewa, Maia tidak membiarkan anaknya tumbuh tanpa tujuan. Ia jadikan sang anak untuk menjadi senjata pembalas dendamnya pada Adam.
Made Jepun harus mengalami guncangan jiwa yang dahsyat pascapemerkosaan. Ia dituding sebagai salah satu pendukung partai terlarang di negeri ini karena tampil sebagai dalam acara yang didukung partai tersebut. Padahal, Made Jepun sama sekali tidak mengetahui hal itu. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai penari dalam sebuah acara tersebut. Ketika diinterogasi oleh si pelaku, ia tetap menolak. Tiba-tiba si pelaku menodai gadis lugu itu dengan tujuan untuk melemahkannya. Pelaku pemerkosaan tidak lain adalah orang yang telah akrab dengan keluarganya, mantri polisi yang bernama I Blanar.
Gangguan kejiwaan yang menimpa Made Jepun tidak dapat dipulihkan. Selain itu, pemerkosaan itu telah membuatnya menderita penyakit kelamin yang sangat parah sehingga harus mendapatkan terapi yang berkepanjangan. Sementara itu, I Blanar lama kelamaan juga didera gangguan jiwa berkepanjangan, seperti Made Jepun.
Dari ulasan tersebut, penulis dapat menggambarkan bahwa peristiwa pemerkosaan itu akan menorehkan luka dan trauma yang tidak ringan di dalam kehidupan seorang wanita. Peristiwa itu merupakan pengubur sadis impian sang bidadari untuk bersanding dengan pangeran idamannya. Peristiwa itu juga dapat memicu seorang wanita yang semula lembut hati dan penuh cinta berbalik menjadi penjahat elit berotak cerdas, seperti Maia. Penyekapan dan pemerkosaan yang sekian lama dialaminya telah mengubah pandangannya terhadap kaum lelaki dan seks. Ia memandang lelaki sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang egois dan pengumbar nafsu syahwat murahan belaka. Ia tidak ingin mengagungkan kaum Adam itu. Maia hanya ingin menguasai mereka. Ia berhasil menguasai Idris yang telah bersedia memberinya jalan untuk membalaskan dendamnya kepada sang Adam. Ia juga berhasil menguasai Khabil, menantunya, untuk tetap tinggal bersamanya ketika hari eksekusi bagi Adam tiba. Ia juga berhasil menguasai Marfu’ah sebagai gadis jelita yang sangat patuh kepada ibunya.
Maia dan Karmila memiliki kesamaan sebagai sesama korban pemerkosaan. Keduanya merupakan wanita tegar yang bersiteguh untuk cepat bangkit dari kehancuran. Meskipun berbeda jalan yang ditempuh, Maia dan Karmila dapat membuktikan bahwa kehancuran merupakan titik awal dari keberhasilan yang sempat tertunda.
Lain halnya dengan Sukreni dan Made Jepun yang hidupnya terus terpuruk pascapemerkosaan itu. Sukreni, meskipun tidak terkena gangguan jiwa, terpuruk dalam penderitaan yang berkepanjangan terlebih melihat perilaku sang anak, I Gustam, yang sangat buruk dan brutal. Ketidakmampuan dalam mendidik sang anak itulah yang membuat jiwa Sukreni semakin rapuh hingga ajal menjemputnya.
Made Jepun merupakan korban perkosaan yang paling parah. Ia mengalami gangguan jiwa yang sangat hebat. Hal itu menyebabkan ia selalu merasa takut jika akan pergi keluar rumah, bahkan, untuk keluar dari kamarnya sendiri. Ia lebih suka tinggal di kolong tempat tidurnya hingga ibu atau adiknya kerap kali harus menarik kedua kakinya keluar. Ia juga selalu menanti kedatangan kekasihnya, I Pasek, yang telah menghilang selama lima tahun. Keluarganya tidak pernah memberitahukan kepadanya bahwa sebenarnya sang kekasih telah mati di bunuh di suatu desa entah oleh siapa. Ia selalu berkutat di dalam bayangan ketakutannya sendiri hingga akhirnya maut menjemputnya di bawah kolong kasurnya itu.

5. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa pemerkosaan merupakan peristiwa paling mengerikan dalam hidup seorang wanita. Peristiwa itu dapat mengubah persepsi seorang wanita terhadap kaum lelaki dan seks. Pada umumnya wanita korban perkosaan menganggap bahwa kaum lelaki sama saja dengan lelaki yang pernah menodainya, buruk, brutal, dan sadis. Sementara itu, pandangan mereka terhadap seks pun mengalami pergeseran. Seks bukan merupakan sesuatu yang indah, melainkan merupakan sesuatu yang mengerikan. Hanya segelintir wanita yang sanggup bangkit dari keterpurukan pascapemerkosaan tersebut. Hal itu tercermin dalam diri tokoh Karmila dan Maia. Kebanyakan korban perkosaan tenggelam dalam traumanya dan hidup dalam kehampaan, seperti yang tergambarkan pada Sukreni dan Made Jepun.
Pemerkosaan banyak diangkat menjadi tema dalam beberapa karya sastra. Dengan demikian, pengarang dapat memberikan gambaran lengkap tentang peristiwa itu sendiri dan tentang kehidupan para korban, baik sebelum maupun setelah terjadinya peristiwa itu.
Pemerkosaan dapat menimpa siapa saja dan kapan saja, bak sepasang mata sang intelijen, ia mengintai kaum wanita setiap saat. Untuk terhindar dari peristiwa mengerikan itu, diperlukan adanya control, baik dari diri sendiri maupun lingkungan sosial, yang ketat.



6. Daftar Pustaka

Dahlan, Muhidin M. 2005. Adam dan Hawa. Yogyakarta: ScriPtaManent.
Davison, Gerald C., et al. 2001. Abnormal Psychology. Eight edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Lal, P. 1992. Mahabarata. Edisi terjemahan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Marga T. 1990. Karmila. Jakarta: PT Gramedia
Sadarjoen, S.S. 2005. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual. Bandung: PT Refika Aditama.
Sukanta, Putu Oka. 2004. Rindu Terluka. Jakarta: PT Metafor Intermedia Indonesia.
Tisna, A.A. Pandji. 1990. Sukreni Gadis Bali. Jakarta: Balai Pustaka.
Wechsler, H.J. 1976. Puspasari Mitologi Yunani. Edisi terjemahan. Bandung: Penerbit Ganesha Bandung.