Resti Nurfaidah
1. Pendahuluan
Pemerkosaan merupakan salah satu bagian dari beberapa tindakan perilaku penyimpangan psikoseksual. Hal itu semakin sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Terlebih, aneka tayangan di televisi maupun berita di beberapa media cetak pun seolah “menggembar-gemborkan” peristiwa tersebut. Pemerkosaan seolah menjadi hal yang lumrah dan/atau mulai sudah diterima sebagai habitual action dalam kehidupan sehari-hari. Semakin longgarnya pengawasan sosial dalam masyarakat kita seolah-olah turut “mengundang” kehadiran pemerkosaan itu setiap saat. Lingkungan sosial seolah-olah menelan mentah-mentah hal itu. Padahal, akibat dari peristiwa itu dapat merugikan lingkungan tersebut karena salah satu anggota habitat sosial itu (perempuan) akan dirugikan dan tersudut.
Kasus pemerkosaan banyak terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang dijadikan sebagai “legenda”, seperti kasus “Sum Kuning” dan “Karmila”. Kedua legenda tersebut kemudian diangkat ke layar lebar. Bahkan, “Karmila” diputar berulang-ulang dan pernah dibuat dalam versi drama serial di televisi.
Peristiwa pemerkosaan tersebut, selain hadir di dalam tayangan dan berita dalam media massa, juga hadir di dalam sejumlah karya sastra, terutama karya sastra Indonesia. Melalui karyanya, para pengarang ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa peristiwa pemerkosaan dapat menimpa siapa saja, kapan saja, dan dalam kondisi sosial apa saja. Selain itu, mereka juga ingin memberikan gambaran tentang sebab dan akibat yang berkaitan dengan peristiwa yang mengerikan bagi seorang perempuan itu.
2. Pemerkosaan dan Tinjauan Aspek Psikologis tentang Pemerkosaan
Sadarjoen (2005:14) mengemukakan bahwa pemerkosaan pada dasarnya merupakan perilaku seksual yang memiliki objek seksual yang normal (laki-laki dan perempuan). Namun, relasi seksual yang terjalin dalam pemerkosaan berada dalam kondisi antisosial karena terjadi atas dasar paksaan yang mengandung unsur agresivitas dari orang yang memiliki kepribadian yang diliputi dengan kebencian. Penyebab terjadinya kasus pemerkosaan, menurut pendapat Sadarjoen, adalah kegagalan dalam perkembangan nilai-nilai moral yang kokoh dan rendahnya control dalam dorongan seksual dan dorongan kebencian.
Kasus pemerkosaan sangat berbeda dengan kasus penyimpangan psikoseksual lainnya, seperti homoseksual, transeksual, dan inses yang memiliki ciri khas masing-masing. Kasus homoseksual dan transeksual cenderung melibatkan orang-orang di luar ikatan keluarga. Kasus inses yang hanya melibatkan orang-orang yang berada di dalam ruang lingkup kekeluargaan. Sementara itu, kasus pemerkosaan memiliki ciri yang unik karena dapat terjadi baik antarindividu yang berasal dari satu ikatan keluarga maupun antarindividu maupun dari luar ikatan keluarga. Dengan kata lain, pemerkosaan dapat terjadi pada siapa saja.
Pencetus kasus tersebut sangat variatif, antara lain, karena ambisi tertentu, pengaruh alkohol atau narkoba. Selain itu, pemerkosaan juga sangat beragam. Davison (2001:398) mengemukakan beberapa jenis kasus pemerkosaan, antara lain (1) pemerkosaan terencana (seperti kasus yang menimpa Sukreni), (2) pemerkosaan yang terjadi di bawah pengaruh racun tertentu (alkohol atau narkoba)—seperti yang dialami oleh Karmila, dan (3) pemerkosaan yang terjadi karena keinginan tertentu (misalnya, ingin menguasai atau menindas korban, seperti yang menimpa Made Jepun).
Para pelaku pemerkosaan sebagian besar selalu memiliki elemen yang tidak terduga dan senjata yang mereka gunakan untuk mengintimidasi dan memaksa (Davison, 2001:399). Sementara itu, korban pemerkosaan selalu berdalih bahwa dirinya dipaksa dan diancam oleh si pelaku. Pascapemerkosaan itu mereka akan dihantui oleh beberapa hal, di antaranya (1) perasaan menyesal karena tidak mampu berupaya keras menghindar dari si pelaku, (2) menaruh rasa dendam, (3) tanpa disadari mengembangkan sikap negatif terhadap seks, (4) mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan suami atau kekasihnya, dan (5) mengalami gangguan jiwa (Davison, 2001:399).
Korban pemerkosaan biasanya mengalami kesulitan dalam menuntaskan penyelesaian kasus yang menimpanya karena berbagai hal, di antaranya, (1) sikap masyarakat yang individualis, (2) jalur birokrasi yang rumit, dan (3) ketidaktahuan. Hingga saat ini bukan tidak mungkin banyak kasus pemerkosaan yang terputus di tengah jalan karena hal-hal tersebut.
3. Pemerkosaan dalam Karya Sastra Dunia
Kasus pemerkosaan telah lama diangkat sebagai tema dalam sebuah karya sastra, di antaranya, dalam (1) Mitologi Yunani (perilaku Mahadewa Zeus terhadap beberapa wanita), (2) Mahabarata (beberapa peristiwa perkosaan terhadap wanita-wanita dalam karya tersebut), (3) Sukreni Gadis Bali (Sukreni), dan (4) Karmila (dr. Karmila) hingga Adam dan Hawa (Maia).
Dalam Puspasari Mitologi Yunani dikisahkan bahwa mahadewa Zeus sering digambarkan selain sebagai dewa yang mahaagung juga sebagai dewa asmara yang selalu berupaya untuk mengingkari istrinya, Hera. Ia berselingkuh dengan segenap wanita jelita di permukaan bumi. Ia selalu merasa puas dengan apa yang ia lakukan, baik terhadap istrinya maupun “korban-korbannya” itu. Padahal, Hera tidak segan-segan berbuat kejam terhadap korban nafsu sang suami. Sementara itu, tidak sedikit wanita yang “dimangsa” oleh Zeus mengalami penderitaan yang berkepanjangan.
Dalam Wechsler (1976: 24—25) perilaku gila seks Zeus terhadap Callisto terungkap dalam kutipan berikut.
Diciumnya bidadari itu, namun tidaklah dengan cara yang santun. Berahinya bangkit dan gadis pemburu yang malang itu membela diri dengan sekuat tenaga. […] Setelah melampiaskan maksudnya, Zeus kembali lagi ke tempat kediamannya di Olympus, sedangkan Callisto dalam keadaan risau dan cemas mengembara di hutan belantara seraya memendam rasa malu.
Akibat perbuatan suaminya itu, Hera menaruh dendam kepada Callisto. Ketika wanita malang itu telah melahirkan seorang anak lelaki yang bernama Arces, Hera mengubah wanita tersebut menjadi seekor beruang. Selain Callisto masih ada wanita lain yang mengalami nasib serupa, di antaranya, Io, putri Inachus si dewa sungai, dan Danae, putri Raja Argos, Acrisius. Sementara itu, salah seorang wanita yang “agak beruntung” adalah Europa, putri Raja Sidon yang dinikahi Zeus di Pulau Kreta.
Dalam kisah Mahabarata terdapat adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh Abyasa terhadap dua kakak beradik Ambika dan Ambalika. Semula Ambika dan Ambalika dinikahkan pada adik tiri Abyasa, Wicitrawirya (putra Satyawati dan Santanu, Raja Hastinapura). Namun, Wicitrawirya harus menemui ajalnya tujuh tahun kemudian tanpa meninggalkan seorang pewaris tahta kepada kedua istrinya itu. Sang ibu, Satyawati, merasa khawatir terhadap kelangsungan kerajaan Hastinapura. Ia lalu mengharapkan kehadiran anak sulungnya, Abyasa, untuk mendatanginya. Dalam sekejap Abyasa pun muncul di hadapan sang ibu. Wanita itu meminta Abyasa untuk menyetubuhi kedua bersaudara itu agar dapat menjaga kelangsungan kerajaan Hastinapura. Abyasa pun mematuhi kehendak sang ibu. Namun, ia mengajukan syarat bahwa akan muncul di hadapan kedua wanita itu dalam keadaan yang sangat buruk. Ia menjelma menjadi seorang pertapa kudisan. Abyasa mendatangi Ambika. Wanita itu terkejut dan merasakan ketakutan yang luar biasa melihat penampilan lelaki yang sangat buruk dan menjijikkan itu. Matanya dipejamkan selama berdampingan dengan lelaki itu. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.
Abyasa masuk tatkala lampu sedang menyala terang. Terkejut oleh wajahnya yang menyeramkan, rambutnya yang seperti tembaga kusam, matanya yang berwarna kebiru-biruan dan jenggotnya yang hitam, ia memejamkan matanya. Meskipun Abyasa berbaring di sampingnya dan bersanggama dengan Ambika, ia tak pernah membukakan matanya barang sekali. (Lal, P., 1992:27)
Akibat perilaku Ambika tersebut, Abyasa mengatakan bahwa anak yang akan dilahirkan wanita itu tidak dapat melihat seumur hidupnya. Satyawati tentu merasa sangat kecewa dengan kenyataan yang akan ia hadapi itu. Ia menginginkan calon pewaris kerajaan yang fisiknya sempurna. Abyasa pun mengabulkan keinginan sang ibu untuk mendatangi Ambalika. Ambalika juga mengalami hal yang sama ketika harus mendampingi lelaki yang menjijikkan itu. Karena didera rasa takut yang tiada terhingga, kulit Ambalika pun memucat. Akibatnya, anak yang akan dilahirkan wanita itu kelak akan dikenal dengan nama Pandu atau si Pucat. Satyawati kembali menelan rasa kecewa. Ia meminta Abyasa untuk kembali mendatangi Ambika. Lelaki itu menurut. Namun, Ambika tidak mau mengulangi peristiwa mengerikan itu untuk yang kedua kalinya. Ia mendandani salah seorang pelayannya dengan pakaian dan perhiasan mewah miliknya. Ternyata, pelayan itu sangat menaruh hormat kepada Abyasa yang menjelma seperti seorang gembel. Ia melayani Abyasa dengan sepenuh hati. Abyasa pun menyampaikan penipuan yang dilakukan Ambika sekaligus kabar gembira bahwa anak yang dilahirkan itu kelak akan menjadi manusia yang baik budi dan arif bijaksana yang bernama Widura. Sementara itu, pelayan itu dibebaskan.
3. Pemerkosaan dalam Karya Sastra Indonesia
Seperti penulis ungkapkan sebelumnya bahwa pemerkosaan telah lama diangkat sebagai bahan inspirasi para pengarang ke dalam karya sastranya, termasuk karya sastra dunia (Mitologi Yunani atau Mahabarata). Selain di dalam karya sastra dunia, tema serupa juga banyak diangkat ke dalam karya sastra Indonesia, di antaranya, novel Karmila (Marga T.), Sukreni Gadis Bali (A.A. Panji Tisna), Adam dan Hawa (Muchidin M. Dahlan), dan cerpen Made Jepun (Putu Oka Sukanta).
Karmila bercerita tentang malapetaka yang menimpa seorang mahasiswi kedokteran yang terbilang “polos” dalam sebuah pesta “gila”. Ia dinodai oleh seorang lelaki pemabuk produk broken home yang bernama Faisal Gurong. Peristiwa pemerkosaan tersebut tidak diceritakan secara gamblang oleh si pengarang, tetapi siksaan pascapulihnya kesadaran tokoh Karmila yang diungkapkan secara terperinci. Kondisi Karmila yang mengalami kepanikan luar biasa ketika mendapati seseorang yang tidak dikenalnya berbaring bersamanya di sebuah kamar yang gelap gulita. Selain itu, gadis itu juga menerima perlakuan keji yang bertubi-tubi yang diterimanya dari lelaki yang pada saat itu sedang dikuasai pengaruh minuman keras dan obat terlarang itu terungkap dalam kutipan berikut.
Ada orang di kamarnya. Karmila berdiri kaku di samping tempat tidur.
Ada orang. Ada suara napas orang yang menderu-deru seperti habis berlari. Ditahannya napasnya. Didengarnya dengan berdebar-debar. Betul. Rasanya suara itu amat dekat dengan dia. Tiba-tiba Karmila menjadi takut dan menjerit. Sebuah tangan yang besar, melayang turun dan menutup mulutnya. Karmila menendang dan mencubit dan menampar. Tapi orang itu dengan mudah berhasil pula mengikat kedua belah tangannya. (Marga T., 1990:22)
Peristiwa tersebut telah menghancurkan angan-angan Karmila untuk dapat melanjutkan impiannya menjadi seorang dokter dan seorang istri ideal bagi kekasihnya, Edo, yang sedang menempuh studi di Australia. Karmila terpaksa mengubur keinginannya untuk menikah dengan lelaki idamannya. Ia bersanding dengan lelaki bejat yang telah menodainya, Faisal. Benih yang ditanamkan oleh lelaki bejat itu membuahkan janin di dalam rahimnya. Rasa benci dan cinta berkecamuk di dalam diri Karmila. Ia sangat membenci lelaki itu dan janin yang ada di dalam kandungannya. Namun, ia tidak kuasa mengenyahkan bakal anaknya itu.
Dengan tertatih-tatih Karmila berusaha bangkit dari keterpurukan itu. Namun, ia tidak mampu mengusir rasa benci kepada lelaki itu dan melampiaskan hal itu kepada anaknya. Padahal, Faisal telah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami dan ayah yang baik bagi keluarganya. Ia menyadari bahwa Edo masih setia menantinya di Benua Kangguru itu. Ia bertekad untuk melanjutkan studinya di benua itu dan meninggalkan masa kelamnya, termasuk keluarganya. Namun, Karmila tetap seorang ibu yang sarat nurani keibuannya. Menjelang keberangkatannya, kondisi sang anak anfal hingga memaksa Karmila bernazar untuk mengurungkan niatnya itu demi kesembuhan sang anak. Setelah itu, Karmila berupaya untuk menerima kehadiran Faisal dan Fani, anaknya, dalam kehidupannya. Beban di dalam rumah tangga Karmila dan Faisal seakan terangkat ketika menerima sepucuk undangan dari Edo yang menikah dengan seorang gadis asal Benua Kangguru.
Selain dalam Karmila, tema serupa juga diangkat dalam Sukreni Gadis Bali karya A.A. Panji Tisna. Peristiwa tersebut menimpa seorang gadis lugu yang bernama Ni Luh Sukreni yang terperangkap ke dalam jebakan Men Negara, seorang wanita pemilik kedai yang ambisius. Wanita jahat itu telah disuap oleh salah seorang pejabat kepolisian yang bernama I Gusti Made Tusan. Lelaki itu sangat tergila-gila kepada Sukreni hingga melakukan segala cara untuk mendapatkan bidadari yang sangat lugu itu. Seperti dalam Karmila, peristiwa pemerkosaan tersebut tidak diungkapkan secara gamblang, tetapi tergambar dalam kata-kata polisi bejat itu pada kutipan berikut.
“Aku hendak masuk ke tempat tidur Ni Luh Sukreni malam ini. Tak tahan aku melihat mukanya yang cantik itu. Suruh tinggalkan dia tidur seorang saja kepada Ni Negari. Besok jika selamat, aku beri engkau hadiah.” (Tisna, 1990:60)
I Gusti Made Tusan sebenarnya telah berniat memperistri anak Men Negara yang lain, yaitu Ni Negari. Namun, demi mendapatkan suapan harta yang banyak, Men Negara yang sejak awal bukan merupakan ibu dan istri yang baik rela menyerahkan anaknya yang lain, Ni Luh Sukreni, kepada pejabat polisi yang bejat itu. Sebenarnya, Ni Luh Sukreni merupakan nama lain Ni Widi, anak pertama Men Negara dari suami pertama. Sejak dini Men Negara telah mengenal betul sifat-sifat buruk I Gusti Made Tusan itu. Oleh karena itu, ia pun mengatur strategi untuk memeras gaji pejabat polisi itu dengan mengorbankan Ni Negari. Men Negara bukan wanita bodoh, melainkan wanita cerdas dan ambisius. Meskipun merelakan Ni Negari, ia berhasil mengulur-ulur waktu pernikahan pejabat polisi yang sudah beranak pinak itu dengan putrinya.
Ni Luh Sukreni harus menanggung beban mental yang sangat berat setelah mengalami peristiwa yang paling mengerikan dalam hidupnya. Sama halnya dengan Karmila, Sukreni juga sebenarnya telah memiliki seorang kekasih, yaitu I Gede Suamba. Semula ia akan dipersunting oleh kekasihnya itu setelah upacara pengabenan kakeknya di Karangasem. Namun, peristiwa itu telah meluluhlantakkan impian kedua sejoli tersebut. Sementara itu, untuk menutupi aib Sukreni terpaksa mengganti namanya menjadi Ni Made Sari. Ia bekerja di luar kampungnya agar tidak terlihat, baik oleh ayahnya maupun teman-temannya. Ia bekerja di rumah seorang kepala sekolah sebagai pembantu rumah tangga. Namun, di tempat itu nasib Sukreni tidak juga membaik.
Peristiwa pemerkosaan itu semakin berbuntut panjang ketika Sukreni terpaksa mengandung janin di dalam rahimnya. Ia melahirkan anak hasil pemerkosaan itu di rumah salah seorang teman ayahnya yang bernama Pan Gumirang.
Kehadiran anak tersebut, I Gustam, di dalam kehidupan Sukreni bukan sebagai pelipur lara atas rentetan panjang duka sang ibunda, melainkan sebagai penambah derita dirinya. I Gustam mewaris sifat buruk ayahnya. Perilakunya sangat brutal. Ia tidak segan-segan melakukan tindak kejahatan, baik kepada orang lain maupun kepada ibunya sendiri. Penjara menjadi tempat yang akrab dalam sejarah kehidupannya.
Sukreni Gadis Bali berakhir pada kematian Sukreni dalam kehampaan yang panjang serta ayah dan anak dalam sebuah pertikaian. Kematian Sukreni yang malang itu terungkap dalam kutipan berikut.
Sementara I Gustam dalam penjara itu Ni Luh Sukeni pulang ke Manggis. Beberapa lamanya ia tinggal dengan bapaknya, ia pun meninggalkan dunia yang fana ini karena penyakit, disebabkan makan hati berulam jantung dengan tiada berkeputusan. (Tisna, 1990:87)
Sementara itu, kematian tragis antara ayah (I Gusti Made Tusan) dan anak (I Gustam) terjadi dalam sebuah peristiwa perampokan oleh sekomplotan kawanan perampok ternama yang dipimpin oleh I Gustam terhadap Men Negara. Pada saat yang sama I Gusti Made Tusan dan anak buahnya sedang meronda di daerah itu. Pejabat kepolisian beserta anak buahnya turun tangan mengamankan warung Men Negara dari aksi perampokan. Pertempuran sengit antara dua kubu pun tidak dapat terelakan lagi. Dua orang pimpinan, I Gusti Made Tusan dan I Gustam, pun akhirnya saling membunuh. Kematian tragis ayah dan anak itu terungkap dalam kutipan berikut.
I Gusti Made Tusan tercengang, lalu menunduk memandangi anaknya yang terbaring di bawah kakinya.
Ketika itu baru terasa olehnya, bahwa ia pun luka parah…
Rupanya kepalanya kena diparang I Gustam sebelum lehernya putus. Pemandangan I Gusti Made Tusan kabur, dialiri oleh darah, dan hatinya pun terharu mendengar seru I Made Aseman itu. Ayahnya, --ia pun berusaha jua hendak mendekati muka anak itu tetapi ia telah pening, terhuyung-huyung, lalu rebah di sisi mayat I Gustam. Komandan tentara datang ke dekatnya, lalu diangkatnya kedua mayat itu ke pinggir jalan. (Tisna, 1990:87)
Selain di dalam Karmila dan Sukreni Gadis Bali, kasus perkosaan juga terungkap dalam salah satu cerpen karya Sukanta dalam kumpulan cerpen Rindu Terluka. Cerpen yang berjudul Made Jepun tersebut berkisah tentang peristiwa pemerkosaan yang menimpa seorang gadis muda, penari Bali, yang dituduh sebagai antek Gerwani. Gadis itu berupaya menolak keras tuduhan yang dilontarkan oleh salah seorang pegawai sipil Polri yang bernama I Blanar. Ia bersikeras bahwa menari dalam suatu acara tertentu karena diundang oleh penyelenggara, bukan sebagai pendukung organisasi terlarang itu. I Blanar pun bersikeras dengan tuduhannya dan memaksa gadis itu untuk bersumpah di hadapan Jero Gede (pemimpin keagamaan di Bali atau di salah satu tempat sembahyang di pekarangan rumah). Ketika gadis itu sedang bersimpuh di tempat itu, I Blanar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melakukan perbuatan biadab itu kepada Made Jepun, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
Made Jepun keluar diiringi oleh lelaki itu, menuju Jero Gede di pekarangan belakang rumahnya, di dekat pohon mangga. Ketika Made Jepun sedang bersimpuh di hadapan Jero Gede mengucapkan sumpahnya, tiba-tiba lelaki itu merangkul dari belakang dan menelentangkannya. Ronta dan tangis menambah kobaran birahi lelaki itu. “Akan kuselamatkan kamu asal ….” Ucapannya terputus disambung desah nafas tak teratur. Made Jepun tetap meronta sampai akhirnya tidak berdaya. Dan kemudian Made Jepun terkoyak, darah mengalir dari lubang sucinya. Dengan sisa tenaga, ia lari ke kamarnya, setelah lelaki itu menghilang. (Sukanta, 2004:18)
Peristiwa tragis itu telah menghancurkan masa depan Made Jepun serta menggoncangkan kejiwaannya hingga akhir hayatnya. Nasib pelaku tindak kriminal tersebut, I Blanar, juga tidak kalah miris. Ia menderita gangguan jiwa dan dirawat di rumah sakit jiwa di Kabupaten Bangli. Bertepatan dengan hari penguburan jenazah Made Jepun, I Blanar melarikan diri dari rumah sakit. Namun, nyawanya terampas sebuah truk sampah di sebuah tikungan.
Kasus perkosaan dalam novel Adam dan Hawa karya Muhidin M. Dahlan menimpa tokoh Maia yang merupakan wanita pertama sebelum terciptanya Hawa, pasangan Adam di Surga. Novel yang mengambil latar masa penciptaan Adam di surga itu mengisahkan penderitaan seorang Maia, wanita yang cantik dan penuh gelora, yang merasa telah dilecehkan oleh “suaminya”, Adam. Ia dipaksa tinggal di dalam sebuah rumah milik Adam dan menjadi pemuas nafsu lelaki perdana itu. Maia merasa tersiksa karena tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang dari lelaki yang senantiasa menggunakan tubuhnya hampir tiada henti itu. Ia tidak pernah merasakan udara kebebasan. Laksana korban sebuah aksi penculikan, Maia disekap dan tidak pernah diperkenalkan dengan lingkungan sekitar. Maia merasa dirinya hanya diperlakukan sebagai budak seks lelaki “pejantan tangguh” itu. Hal itu terungkap dalam kutipan kata-kata Maia berikut.
“Kau tahu Adam, siang malam tak berjumlah, aku tiada lain tak pernah merasa mendapatkan cinta. Aku jadi sandera yang tak boleh melihat dan disentuh oleh matahari. Bukankah itu kehidupan yang terkutuk?
“Aku tak mengerti, Maia. Apa yang kau maksud dengan tak dapat cinta?”
“Kau memang tak akan pernah mengerti. Oh, ternyata di siang malam tak berbilang itu aku telah diperkosa lelaki bodoh.” (Dahlan, 2005:48)
Tekanan batin yang menderanya itu menimbulkan dendam di dalam kalbu sang bidadari. Dendam itu lama kelamaan semakin tertancap kuat di dalam jiwanya. Batin Maia bergejolak. Ia memberontak kepada Adam. Adam murka luar biasa. Maia yang sudah tidak tahan akhirnya melarikan diri. Pelariannya berakhir di rumah “adik iparnya” Idris. Idris tidak lain adalah adik Adam sendiri. Bersama Idris Maia seakan sedang menjadi ratu di istana batu. Idris senantiasa memenuhi setiap “keinginan” Maia.
Hubungan mereka membuahkan seorang anak perempuan yang bernama Marfu’ah. Sejak kecil Maia mendidik anaknya untuk menjadi pembalas dendamnya. Untuk itu, ia tidak segan-segan menyingkirkan Idris dari rumah itu. Setelah itu, status Idris tidak ubahnya seperti upik abu demi memenuhi kebutuhan sang majikan. Bahkan, Idris harus rela kehilangan kejantanannya ketika dikebiri oleh Maia.
Perjuangan Maia pun berhasil. Marfu’ah tumbuh menjadi bidadari jelita yang siap menghunuskan pisau tajam di balik keindahannya itu. Namun, kekejamannya itu hanya berlaku untuk seorang lelaki bernama Adam. Sebelum hari eksekusi sang Adam, Marfu’ah sempat dinikahkan dengan Khabil, putra Adam dan Hawa yang sempat berhubungan intim dengan Maia. Marfu’ah dilarang berhubungan badan dengan suaminya selama 15 hari pertama perkawinannya. Tepat pada hari ke-15, Marfu’ah melaksanakan hari eksekusi bagi sang Adam. Dirayunya sang Adam yang tidak mengenali keponakannya sendiri. Adam pun terhanyut dan tergoda oleh bidadari muda itu. Di tengah percintaan mereka, tanpa diketahui sang Adam, Marfu’ah menghunuskan sebilah batu tajam ke dada sang pejantan hingga isi tubuhnya terburai melalui sebuah luka yang menganga berlumur darah. Adam mati di tangan keponakannya sendiri.
4. Tinjauan Psikologis Korban Pemerkosaan dalam Karya Sastra
Seperti yang telah penulis uraikan dalam butir 3, pemerkosaan menimpa pada beberapa tokoh wanita dalam novel dan cerpen. Berdasarkan paparan teori psikologi pada butir 2, kasus pemerkosaan yang menimpa tokoh wanita dalam sumber data tersebut terjadi dengan beragam. Dalam Karmila pemerkosaan terjadi di bawah pengaruh alkohol, dalam Adam dan Hawa, Made Jepun, serta Sukreni Gadis Bali pemerkosaan terjadi secara terencana demi satu tujuan tertentu.
Faisal Gurong, sang pelaku, merupakan putra seorang saudagar kaya yang luput dari pengawasan kedua orang tuanya. Ia melampiaskan kekecewaannya itu pada hal yang buruk, di antaranya, pesta-pesta dan mabuk-mabukkan. Di bawah pengaruh minuman keras dalam sebuah pesta “gila” Faisal menodai Karmila, kandidat dokter. Selain dinodai, Karmila juga menerima siksaan fisik dari Faisal secara bertubi-tubi. Peristiwa tersebut menorehkan trauma dalam diri Karmila. Bahkan, peristiwa itu membuahkan janin dalam tubuhnya. Sebagai seorang korban pemerkosaan, ia sangat membenci lelaki yang telah menghancurkan hidupnya dan janin yang ada di dalam perutnya. Namun, sebagai seorang calon ibu, ia tidak terhanyut godaan untuk menyingkirkan bayi yang ada di dalam rahimnya. Berkali-kali ia menolak Faisal yang terpaksa menjadi pendamping hidupnya dan penghapus impiannya untuk menikah dengan pria idamannya, Edo. Berkali-kali pula ia menolak Fany, anaknya, karena anak itu dianggapnya sebagai penghalang dalam meraih impiannya untuk menjadi seorang dokter dan untuk melanjutkan pendidikan di Australia. Namun, naluri kewanitaan dan keibuan jualah yang berhasil mengikat kedua kaki dan hati Karmila untuk kembali pada keluarganya.
Dalam Sukreni Gadis Bali pemerkosaan tersebut merupakan buah konspirasi antara Men Negara yang ambisius dan mata duitan dengan I Gusti Made Tusan yang mata keranjang. Polisi bejat itu memutuskan untuk menunda pernikahannya dengan Ni Negari, anak Men Negara, karena telah kepincut dengan kecantikan Ni Luh Sukreni.
Seperti yang dialami oleh Karmila, Sukreni juga harus menanggung malu dan trauma pascapemerkosaan. Ia juga terpaksa menerima kehadiran janin hasil pemerkosaan dalam perutnya. Derita pascapemerkosaan itu berbuntut panjang ketika Sukreni yang lemah harus menerima kenyataan bahwa ia tidak mampu membesarkan buah hatinya yang buruk perangainya itu. Bahkan, sang anak diangkat sebagai pimpinan komplotan perampok paling disegani di Buleleng. Sukreni mati dalam kehampaan.
Dalam Adam dan Hawa pemerkosaan yang dilakukan Adam pada Maia membuahkan perubahan perilaku Maia. Ia berubah menjadi wanita pendendam yang senantiasa menanti saat yang tepat untuk memuaskan dendamnya. Meskipun pada awalnya merasa kecewa, Maia tidak membiarkan anaknya tumbuh tanpa tujuan. Ia jadikan sang anak untuk menjadi senjata pembalas dendamnya pada Adam.
Made Jepun harus mengalami guncangan jiwa yang dahsyat pascapemerkosaan. Ia dituding sebagai salah satu pendukung partai terlarang di negeri ini karena tampil sebagai dalam acara yang didukung partai tersebut. Padahal, Made Jepun sama sekali tidak mengetahui hal itu. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai penari dalam sebuah acara tersebut. Ketika diinterogasi oleh si pelaku, ia tetap menolak. Tiba-tiba si pelaku menodai gadis lugu itu dengan tujuan untuk melemahkannya. Pelaku pemerkosaan tidak lain adalah orang yang telah akrab dengan keluarganya, mantri polisi yang bernama I Blanar.
Gangguan kejiwaan yang menimpa Made Jepun tidak dapat dipulihkan. Selain itu, pemerkosaan itu telah membuatnya menderita penyakit kelamin yang sangat parah sehingga harus mendapatkan terapi yang berkepanjangan. Sementara itu, I Blanar lama kelamaan juga didera gangguan jiwa berkepanjangan, seperti Made Jepun.
Dari ulasan tersebut, penulis dapat menggambarkan bahwa peristiwa pemerkosaan itu akan menorehkan luka dan trauma yang tidak ringan di dalam kehidupan seorang wanita. Peristiwa itu merupakan pengubur sadis impian sang bidadari untuk bersanding dengan pangeran idamannya. Peristiwa itu juga dapat memicu seorang wanita yang semula lembut hati dan penuh cinta berbalik menjadi penjahat elit berotak cerdas, seperti Maia. Penyekapan dan pemerkosaan yang sekian lama dialaminya telah mengubah pandangannya terhadap kaum lelaki dan seks. Ia memandang lelaki sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang egois dan pengumbar nafsu syahwat murahan belaka. Ia tidak ingin mengagungkan kaum Adam itu. Maia hanya ingin menguasai mereka. Ia berhasil menguasai Idris yang telah bersedia memberinya jalan untuk membalaskan dendamnya kepada sang Adam. Ia juga berhasil menguasai Khabil, menantunya, untuk tetap tinggal bersamanya ketika hari eksekusi bagi Adam tiba. Ia juga berhasil menguasai Marfu’ah sebagai gadis jelita yang sangat patuh kepada ibunya.
Maia dan Karmila memiliki kesamaan sebagai sesama korban pemerkosaan. Keduanya merupakan wanita tegar yang bersiteguh untuk cepat bangkit dari kehancuran. Meskipun berbeda jalan yang ditempuh, Maia dan Karmila dapat membuktikan bahwa kehancuran merupakan titik awal dari keberhasilan yang sempat tertunda.
Lain halnya dengan Sukreni dan Made Jepun yang hidupnya terus terpuruk pascapemerkosaan itu. Sukreni, meskipun tidak terkena gangguan jiwa, terpuruk dalam penderitaan yang berkepanjangan terlebih melihat perilaku sang anak, I Gustam, yang sangat buruk dan brutal. Ketidakmampuan dalam mendidik sang anak itulah yang membuat jiwa Sukreni semakin rapuh hingga ajal menjemputnya.
Made Jepun merupakan korban perkosaan yang paling parah. Ia mengalami gangguan jiwa yang sangat hebat. Hal itu menyebabkan ia selalu merasa takut jika akan pergi keluar rumah, bahkan, untuk keluar dari kamarnya sendiri. Ia lebih suka tinggal di kolong tempat tidurnya hingga ibu atau adiknya kerap kali harus menarik kedua kakinya keluar. Ia juga selalu menanti kedatangan kekasihnya, I Pasek, yang telah menghilang selama lima tahun. Keluarganya tidak pernah memberitahukan kepadanya bahwa sebenarnya sang kekasih telah mati di bunuh di suatu desa entah oleh siapa. Ia selalu berkutat di dalam bayangan ketakutannya sendiri hingga akhirnya maut menjemputnya di bawah kolong kasurnya itu.
5. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa pemerkosaan merupakan peristiwa paling mengerikan dalam hidup seorang wanita. Peristiwa itu dapat mengubah persepsi seorang wanita terhadap kaum lelaki dan seks. Pada umumnya wanita korban perkosaan menganggap bahwa kaum lelaki sama saja dengan lelaki yang pernah menodainya, buruk, brutal, dan sadis. Sementara itu, pandangan mereka terhadap seks pun mengalami pergeseran. Seks bukan merupakan sesuatu yang indah, melainkan merupakan sesuatu yang mengerikan. Hanya segelintir wanita yang sanggup bangkit dari keterpurukan pascapemerkosaan tersebut. Hal itu tercermin dalam diri tokoh Karmila dan Maia. Kebanyakan korban perkosaan tenggelam dalam traumanya dan hidup dalam kehampaan, seperti yang tergambarkan pada Sukreni dan Made Jepun.
Pemerkosaan banyak diangkat menjadi tema dalam beberapa karya sastra. Dengan demikian, pengarang dapat memberikan gambaran lengkap tentang peristiwa itu sendiri dan tentang kehidupan para korban, baik sebelum maupun setelah terjadinya peristiwa itu.
Pemerkosaan dapat menimpa siapa saja dan kapan saja, bak sepasang mata sang intelijen, ia mengintai kaum wanita setiap saat. Untuk terhindar dari peristiwa mengerikan itu, diperlukan adanya control, baik dari diri sendiri maupun lingkungan sosial, yang ketat.
6. Daftar Pustaka
Dahlan, Muhidin M. 2005. Adam dan Hawa. Yogyakarta: ScriPtaManent.
Davison, Gerald C., et al. 2001. Abnormal Psychology. Eight edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Lal, P. 1992. Mahabarata. Edisi terjemahan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Marga T. 1990. Karmila. Jakarta: PT Gramedia
Sadarjoen, S.S. 2005. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual. Bandung: PT Refika Aditama.
Sukanta, Putu Oka. 2004. Rindu Terluka. Jakarta: PT Metafor Intermedia Indonesia.
Tisna, A.A. Pandji. 1990. Sukreni Gadis Bali. Jakarta: Balai Pustaka.
Wechsler, H.J. 1976. Puspasari Mitologi Yunani. Edisi terjemahan. Bandung: Penerbit Ganesha Bandung.
Rabu, 20 Februari 2008
PEMERKOSAAN DALAM KARYA SASTRA INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar