Rabu, 20 Februari 2008

CERPENKU

DOMPET PUTIH CAP MANGGO

Cerita Pendek Resti N.

Dompet Cap Manggo berwarna putih itu aku beli dengan tergesa di sebuah gerai tas ternama di Kota Kembang ini. Aku tertarik untuk memiliki dompet seperti itu setelah melihat teman-temanku dilanda Manggo-mania. Aku yang semula terbiasa dengan dompet lipat dua, akhirnya tergiur juga untuk membelinya. Ah, aku cukup puas dengan membeli dompet berkulit imitasi warna putih ala si Manggo itu dengan harga yang tidak terlampau mahal alias jiplakan. Lumayanlah puluhan ribu dari honorku keluar dari sela-sela dompet hitam usang untuk menebus si putih. Masih terjangkau! Benda yang mirip dompet tempat rokok tembakau kakek-kakek zaman dulu itu tidak mencapai nilai serangkai tusss … tusss… tusss!! Bagiku nilai benda nggak begitu penting, saat itu! yang penting aku juga nggak ketinggalan.
Ah, dompet itu memang sangat aku sukai. Yang utama, benda itu muat banyak pernik-pernik dengan aneka sekat di dalamnya plus saku di luarnya. Aku ingat dompet itu memiliki dua buah saku ala saku kemeja cowok berkancing dua logam kuningan. Kancing kecil di atas dan kancing yang agak besar menjepit sebuah potongan kulit berbentuk dasi yang menjadi penutup saku itu. Saku kiri aku isi dengan pas foto yang sengaja kucetak banyak dengan berbagai ukuran, 3x4, 3x2, dan 4x6. Selain itu ada juga klise fotoku dan foto anakku. Saku kanan kujadikan sebagai wadah uang logam. Uang logam itu aku pakai sesekali untuk upah para pengamen di perempatan jalan. Sekat-sekat yang ada kuisi dengan benda-benda yang tidak jauh berbeda dengan isi dompet manusia lainnya. Sekat besar kuisi dengan uang lembaran seribu, sekat tengah lainnya kuisi dengan uang lembaran sepuluh ribu, dua puluh ribu, dan lima ribu. Sengaja aku pisahkan supaya tidak tertukar di kegelapan. He … he … he …. Sekat kecil pemisah sekat tengah kuisi dengan berbagai bon fotokopi, kartu nama, serpihan kertas catatan kecil, dan kertas lainnya. Dalam sekat bersusun pada salah satu sisinya, kuisi dengan barisan kartu anggota organisasi, KTP, kartu game yang bisa diisi ulang, dan sebuah kartu nama rekanku yang berukuran kecil. Kartu nama yang ukurannya agak besar kubiarkan berdesak-desakkan dan terjepit di sekat pemisah. Mungkin ini yang membedakan aku dengan manusia lainnya, ya? Sekat yang menempel si sisi kiri dan kanan bagian dalam dompet itu kuisi hanya dengan uang titipan. Ya, titipan uang belanja harian dari ibuku, atau titipan uang setoran barang dagangan aku atau ibuku, atau titipan-titipan lainnya. Pendek kata, sekat paling sisi itu kukhususkan untuk tempat transit bagi para turis moneter.
Ya, seperti manusia lainnya juga, dompet bisa jadi merupakan belahan jiwa menempel erat bak sepasang kembar siam dempet dada tak sempat terpisahkan di meja operasi. Ia mengikuti kemana pun kaki majikannya melangkah. Bahkan, bukan itu saja, dompet pun menjadi saksi bisu kesedihan sang pemilik saat masa pailit tiba. Uhhh, dompetku juga seperti itu, turut gelapan kalau tinggal beberapa helai lembaran uang seribu yang diam terpaku di dalam sekatnya. Padahal, tanggal turun gaji masih jauh dalam penantian. Dompetku pasti akan melontarkan pertanyaan, “Apa bedanya?” Ya, ada atau tidak, isi dompetku yaaa … segitu-segitu juga!! Aku memang terbiasa tidak pernah mengisi dompetku dengan jejalan uang bertusss … tusss. Sekalipun ada jejalan … paling … yaaa … paling lembaran seribuan hasil penukaran!!
Dompet Putih Cap Manggo itu sempat menjadi saksi bisu kehadiranku pada berbagai even penting yang sesuai dengan bidangku, seminar, lokakarya, atau forum diskusi. Berkurangnya obesitas perut dompetku menyiratkan bahwa aku adalah seorang pemuja tertib administrasi. Aku tidak pernah menolak menebus biaya pendaftaran seminar atau ongkos ganti sertifikat yang kadang-kadang biayanya selangit itu. Perut dompet putih pucat itu kerapkali melengkung hebat tatkala aku membayar tunggakan uang sekolah anakku atau cicilan pinjaman dari “badan moneter informal”. Sesekali perut gendut dompet putih itu menggembung gembira menjadi saksi bisu tatkala aku menerima honor-honor aktivitasku. Yaa, dompet memang selalu menjadi wadah sampah cerita sang pemilik, termasuk dompetku. Dompet putih Cap Manggo itu kerapkali menjadi saksi bisu keikhlasan atau kekikiran diriku saat harus mengeluarkan lembaran atau recehan di dalamnya. Hmmm … aku terkadang malas beramal jika objek pemintanya kurang aku sukai.
Ya, dompet putih Cap Manggo itu sudah menjadi belahan jiwaku, sandal jepitku, dan pelipur laraku. Bahkan dompet itu sanggup menyingkirkan kandidat lain yang telah kumiliki sebelumnya, dompet hitam yang sebenarnya belum jelek-jelek amat dan dompet serbaguna ala Manggo yang ukurannya lebih besar dan berhiaskan saku kemeja yang dapat berfungsi sebagai tempat hape dan tempat surat-surat kecil. Dompet putih itu bisa membusungkan diri setelah bertindak menjadi seorang penyingkir. Bulan demi bulan berlalu hingga terhitung tahun, dompet putih telah beralihfungsi sebagai asisten pribadiku. Ia selalu bersedia mengeluarkan isi perutnya untuk memenuhi keinginanku terkecuali jika tiba saatnya perutnya terlilit hebat alias tak berisi.
Rupanya Tuhan tidak menghendaki hubungan asmaraku dengan asisten pribadiku berlangsung sekian lama. Beberapa hari ini aku telah menguras isi perut sang asisten untuk memenuhi pembayaran aneka tagihan, rekening telepon yang membludak hebat, uang sekolah anakku, arisan keluarga, cicilan koperasi, arisan di kantor, persiapan baju lebaran pembantu dan anakku, kemeja suamiku, dan … dan … sederet tagihan tetek-bengek lainnya. Rupanya sang asisten pun dirundung kelelahan yang amat sangat, tetapi ia tidak pernah mampu menolak “ajakanku” untuk berkencan mesra sepanjang hari, sepanjang waktu.
Menjelang bulan suci, keluarga dari pihak ayahku mengadakan acara keluarga di salah satu wisma milik BUMN ternama di kawasan Kota Kembang utara. Tempat yang indah membuat kami seakan terbuai dengan kedamaian dan kegembiraan yang meledak-ledak sepanjang malam itu. Biasalah, jika kami semua berkumpul selalu ada cerita untuk saling berbayar tagihan. Si A harus membayar tagihan arisan keluarga ke Si B. Si B harus membayar tagihan urunan untuk membantu biaya pengobatan salah seorang keluarga kami yang sedang didera penyakit akut menahun. Begitu seterusnya hingga jika kita utur akan sampai pada urutan abjad Z, abjad terakhir.
Kegembiraan kami semua tidak pernah kusangka sebagai titik awal malapetaka yang menimpa diriku. Awalnya aku memutuskan untuk membayar tagihan arisan periode berikutnya supaya aku tidak menaruh beban pada saat acara arisan yang akan digelar saat mudik nanti. Lalu kujemput asisten pribadiku yang berwarna putih dan bercap Manggo itu. Kutimang-timang ia untuk menghibur dan mengurangi kelelahannya. Kuperas isinya sekali lagi untuk mengurangi bebanku kelak pada saat mudik lebaran. Lalu, kupeluk dan kutimang-timang lagi berkali-kali selama aku menghabiskan malam yang indah itu sampai tiba saat untuk berpamitan. Nah, aku ingat terakhir aku mengepit asistenku itu sambil berpamitan. Aku sibuk membawakan ibuku barang-barang dari rumah, di antaranya, keranjang nasi, dan alas solat.
Kami bergegas menaiki kendaraan yang disopiri oleh ayahku. Sementara itu, pasangan hidupku membuntuti kami dari belakang dengan sepeda motor butut milik kami karena tadi ia datang belakangan. Tanpa kami sadari ketika kami tiba di rumah, kami melihat jarum jam merayap ke angka penengah, angka dua belas. Duh, benar-benar the end of the weekend. Kami semua sangat kelelahan dan hanya sempat membersihkan wajah kami dan mengganti kostum kami saja. Setelah itu, mata kami seolah sulit diajak kompromi. Kedua garis mata yang sepanjang siang ini terpisah jarak beberapa senti tidak menahan luapan rindu yang membuncah. Kedua tepian jendela alami itu pun mengatup dan berpelukan erat seolah tidak dapat terpisahkan lagi sampai fajar menjelang.
Barulah semua kusadari ketika aku lagi-lagi hendak memeras isi perut asistenku. Aku tidak dapat menemukan dirinya di antara tumpukan benda-benda yang memadati boombag-ku. Aku tidak yakin dengan semua itu. Kujaga benak dan kalbuku untuk tetap tenang. Kuulangi lagi mengaduk isi tasku. Tidak kutemukan! Sekali lagi aku merayapi seluruh ruangan kamarku, inci demi inci, untuk mencari si perut putih Cap Manggo. Tidak juga kutemukan!
Yakin tidak bakal aku temukan di rumah, kuhampiri si kijang merah yang telah setia bertengger di garasi selama satu dasawarsa itu. Kutempelkan wajahku pada jendela tengah peliharaan ayahku itu. Tidak ada barang yang tersisa di atas jok tengah, juga di atas jok depan! Aku masih merasa penasaran. Dengan dalih untuk mengambil sandal anakku yang tertinggal di dalam mobil, kupinjam kunci dan kubuka pintu depan mobil itu. Kupaksa tubuhku meliuk menyelipi celah di antara dua jok depan. Kubungkukkan kepala di atas jok tengah untuk mencarinya di bagian belakang. Tidak kutemukan! Aku menunggingkan tubuhku untuk mencari di sela-sela kolong jok tengah dan depan. Tidak juga kutemukan! Tidak di rumah tidak juga di dalam mobil! Kuputuskan untuk menelepon familiku yang tinggal di sekitar rumahku. Tidak, mereka tidak membawakan si perut putih itu. Mereka hanya sempat melihatnya bertengger di atas televisi. Lalu, kutanyakan pada famili yang masih tinggal di wisma itu. Tidak juga! mereka tidak melihat sama sekali benda itu terkecuali pada malam tadi. Sekali lagi aku meminta kepastian yang sama. Jawaban yang sama juga yang kudapatkan. Mereka tidak menemukan benda itu! Bahkan, setelah mereka sapu wisma itu! tidak! Mereka tidak menemukan juga! Lemaslah sudah seluruh otot dan persendianku! Hubungan asmara yang erat di antara kami terputus dengan cara yang mengenaskan. Tidak! Aku tidak percaya dengan semua itu.
Masih beruntung benak dan kalbuku mampu mengalahkan emosiku. Kesadaran pun mulai menyeruak dari dasar kalbu dan meredam kawah kecemasan yang sedang bergelora dibalik tubuhku. Ini musibah! Musibah yang diturunkan Sang Khalik kepadaku! Tiada yang tidak berguna di sisi-Nya! Di balik musibah selalu terselip hikmah! Ya, kusadari hikmah di balik musibah yang menimpa diriku itu. Pagi itu, di tengah arus kepanikan yang terus mengaum mengorek emosiku, aku bersuci dan bersujud kepada-Nya. Kucurahkan permohonan ampun kepada-Nya seiring derai bulir-bulir bening di mataku. Kutumpahkan segala kesedihanku kepadanya. Betapa berat melepas yang hilang dalam hidupku. Uhhh, tidak! Aku harus belajar melepas yang telah hilang dariku! Kumohon kepada-Nya untuk menjadikan bagian yang hilang dariku sebagai pengisi lubang dalam benteng keimananku, sebagai pencuci dosa dan aibku, dan sebagai obat sterilisasi batinku menjelang datangnya bulan suci Ramadhan! Tiada yang dapat kuucapkan selain pemohonan itu dari mulut batinku. Kedua bibirku hanya dapat mengatup rapat. Bagaikan dua sisi mata uang, aku harus meredam kesedihan dan kemarahanku yang meluap-luap dengan kesabaran dan kesadaran dalam waktu yang sama! Goodbye dompet putih Cap Manggo, aku harap dirimu akan menjadi asisten terbaik majikanmu yang lain! Biarlah isi perutmu menjadi dambaan the founder. Semoga dapat bermanfaat dalam kehidupan majikanmu. Di balik keikhlasan melepasmu masih terselip harapku untuk menggenggam perut gendutmu!!

Planet Pluto, 2007

Tidak ada komentar: