Rabu, 20 Februari 2008

TULISANKU

MENJIMPIT PESAN DI BALIK DONGENG:
UPAYA MENDIDIK ANAK DENGAN CERITA

Resti Nurfaidah

Betapa beruntung anak-anak yang hidup dan besar pada abad ini. Mereka dengan mudah dapat memilih permainan apa saja yang mereka sukai. Permainan yang menarik dari segi penampilannya pun begitu gencar ditawarkan dalam berbagai gaya dan cara. Asyiknya permainan mutakhir tersebut rupanya telah menggeser sebuah nilai berharga yang biasa terselip dalam permainan tradisional. Permainan membuat anak lupa akan nasihat yang terselip dalam acara bermain. Permainan itu sedikit banyak telah menggeser kedudukan kebiasaan nenek moyang kita untuk menyampaikan hakikat dalam bermain, yang biasanya disampaikan dalam bentuk dongeng, cerita, atau pantun. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dapat tersampaikan dengan halus kepada anak dan terekam dengan baik dalam disket bawah sadar anak. Anak tidak akan merasa digurui atau dilarang ini-itu.
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita atau bentuk karya sastra lainnya begitu tersembunyi. Namun, kita dapat menangkap nilai tersebut dari, di antaranya, beberapa unsur cerita, seperti gerak-gerik tokoh, latar yang digunakan, dan lain-lain. Nilai apa saja yang terkandung dalam cerita anak? Tulisan ini akan mengungkapkan beberapa nilai yang terdapat dalam beberapa cerita anak, baik tradisional maupun modern.


1. Pendahuluan
Meskipun dapat dikatakan lebih beruntung, ada kekhawatiran penulis terhadap anak-anak masa kini, termasuk kepada anak saya sendiri. Karena tuntutan zaman yang mendorong para orangtua menjadi semakin sibuk dan lebih banyak berkiprah di luar rumah, sehingga tidak mengherankan jika ketika tiba di rumah “guru utama” tersebut sudah kelelahan untuk mendidik anak-anaknya, termasuk sekadar untuk mendongeng kepada mereka (NN:2007). Dalam sumber yang sama, NN juga mengatakan bahwa tidak mengherankan pula jika kita melihat kecenderungan anak sekarang lebih banyak “didongengi” oleh aneka tayangan film, acara TV, musik, buku, komik, internet, dan game yang tanpa kita sadari belum tentu sesuai dengan perkembangan usia mereka dan selaras dengan nilai-nilai yang ingin disampaikan orangtua kepada anaknya.
Bercerita atau mendongeng, dalam bahasa Inggris dikenal sebagai storytelling, menurut NSN (2006) adalah the interactive art of using words and actions to reveal the elements and images of a story while encouraging the listener’s imagination (seni bermain kata dan peranan interaktif untuk menyampaikan unsur dan imaji dalam sebuah cerita disamping mengembangkan imajinasi pendengar cerita itu). Banyak orangtua yang tidak mengetahui bahwa bercerita atau kegiatan mendongeng memiliki dampak yang lebih kuat daripada sarana hiburan modern yang telah penulis sebutkan sebelumnya, terutama dalam hal dampak dari interaksi antara pencerita (orangtua) dan pendengar (anak-anak).
Banyak hal yang dapat kita petik dari kegiatan bercerita atau mendongeng tersebut, di antaranya, seperti yang dikatakan oleh Takwin (dalam NN (2007)) berikut: (1) memfasilitasi anak untuk menafsirkan peristiwa yang ada di luar pengalaman langsung dan meluaskan dunianya, (2) menerapkan pelatihan pola bahasa lisan, (3) melatih kemampuan menyimak dan mendengar aktif, (4) mengembangkan sikap positif anak terhadap buku dan kegiatan membaca, (5) menumbuhkan empati dan simpati, (6) melatih kesehatan mental dan melatih anak mengatasi masalah yang dihadapinya, (7) melatih pemahaman nilai etis, (8) melatih anak mengenal kisah yang berkualitas baik, (9) mengembangkan kosakata anak dan pengenalan budaya, (10) menanamkan hikmah cerita, (11) membantu anak memahami persoalan dari berbagai sudut pandang, dan (12) mengembangkan imajinasi dan kreatifitas anak.
Bercerita atau kegiatan mendongeng dapat dijadikan sebagai sarana penyampaian informasi karena pada dasarnya otak manusia merupakan dapur bahasa (language base) (Wolf:2007). Sementara itu, cerita itu sendiri dapat dianggap sebagai cara yang efisien dan menyenangkan untuk mengingat dan menurunkan informasi dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Kisah Si Malin Kundang, Cinderella atau Si Upik Abu, Si Kancil, dan Superman sangat melekat erat di dalam benak kita karena jasa orangtua kita dahulu yang menurunkan kisah itu secara turun temurun. Mungkin bagi anak-anak sekarang, kisah yang berkesan bagi mereka, antara lain, serial Barbie, Strawberry Shortcake, Teletubbies, Power Rangers, Sin-Can, dan Harry Potter.
Dewasa ini, kita kerapkali dikejutkan dengan kehadiran anak-anak yang berkepribadian “internasional” karena mereka telah “dibombardir” oleh nilai-nilai Barat. Padahal, Rendra (dalam Maulana, 2005:13) mengatakan bahwa akan lebih baik jika sebelum mengenal nilai–nilai yang datang dari Barat, anak-anak diperkenalkan terlebih dulu dengan nilai-nilai lokal sehingga dapat tumbuh sebagai manusia yang fasih terhadap pengetahuan dan kebudayaan lokal. Kita dapat mengambil contoh dalam beberapa tayangan sinetron lokal, nilai positif yang dapat kita ambil mungkin hanya setitik saja, bahkan, nyaris nol. Sinetron dan tayangan lain yang ditujukan untuk anak-anak justru lebih dijejali oleh nilai-nilai yang kurang tepat bagi perkembangan usia mereka, misalnya adegan percintaan ala orang dewasa, pengkhianatan, kekerasan, pembangkangan terhadap orang tua, mistik, pengaburan jatidiri, dan lain-lain. Sepertinya, orangtua tidak dapat membiarkan hal itu tertanam begitu saja dalam benak anak-anaknya. Nilai-nilai nonanak tersebut bisa memberikan dampak yang buruk kepada mereka karena pada anak pada umumnya dibekali dengan daya jiplak yang luar biasa besar. Paling tidak harus ada pengarahan dan penyesuaian tentang nilai-nilai yang sedang merajalela tersebut dengan norma-norma etika yang berlaku dalam budaya setempat. Kegiatan mendongeng dapat dijadikan sebagai tameng untuk menghadang atau menumpas nilai-nilai amoral tersebut. Akan lebih baik jika kegiatan tersebut dilakukan sedini mungkin, bahkan ketika sebuah janin masih bersemayam di dalam perut ibunya sekalipun (Kuntowati dalam Jalu, 2005:13).
Namun, kegiatan mendongeng atau bercerita tersebut memerlukan kiat tersendiri, agar kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan sukses. Hasil kegiatan tersebut yang dinilai sukses adalah jika si anak merasa senang dan puas karena memperoleh nilai-nilai yang berharga (Nurgiantoro, 2005:219). Mengapa demikian? KS (2006) menyatakan bahwa bercerita kepada anak-anak berbeda dengan bercerita kepada orang dewasa. Bercerita kepada anak-anak lebih menitik-beratkan terhadap penyampaian nilai moral dalam bentuk yang menarik, sehingga mereka dapat menyerapnya tanpa harus merasa terdoktrinkan. Anak-anak bukanlah manusia dewasa yang siap mendengarkan materi-materi yang berat dan serius. Oleh karena itu, agar tujuan kegiatan tersebut tercapai diperlukan kiat-kiat tersendiri. KS dan Asfandiyar dalam Maulana et.al (2005:13) memberikan kiat-kiat berikut, yaitu (1) pemilihan cerita yang sesuai dengan minat dan keseharian anak, (2) penyampaian cerita yang antusias dengan akting yang meyakinkan, (3) sampaikan cerita dengan pembedaan mimik, bahasa tubuh, dan tinggi-rendah nada suara, meski tiidak dilakukan dengan berlebihan, (4) pautkan kontak mata dengan anak, (5) berikan tanda-tanda jika cerita akan berakhir, dan (6) mendorong anak untuk berdiskusi tentang cerita tersebut.
Dongeng, cerita, atau apa saja yang akan dikisahkan oleh sang pencerita (terutama ibu atau ayah) merupakan bagian dari genre sastra. Saxby (dalam Nurgiantoro, 2005:218) mengatakan bahwa sastra merupakan citra atau gambaran kehidupan (image of life). Hal-hal dalam kehidupan yang terjadi di dalam dunia sastra merupakan cerminan atas hal-hal yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dengan penyampaian yang baik, anak akan mampu menangkap berbagai hal dalam kehidupan faktual sambil mengembangkan imajinasinya, tetapi tidak merasa terdoktrinkan. Yang terutama adalah anak mampu menangkap pesan moral yang terkandung di dalam cerita atau dongeng yang disampaikan oleh si penutur. Pesan moral tersebut dapat kita tangkap dari beberapa unsur cerita, seperti dalam diri tokoh dan teknik penokohan, atau latar.
Setiap cerita mengusung pesan moral tersendiri, meskipun ada beberapa di antaranya yang memiliki kemiripan dengan cerita lainnya. Tulisan ini akan menguak pesan moral yang tersembunyi di balik beberapa cerita tradisional maupun kontemporer yang ditujukan kepada kelompok anak.

2. Menjimpit Pesan di Balik Dongeng: Upaya Mendidik Anak dengan Cerita

Dalam Alwi et.al (2003:474) verba menjimpit berasal dari kata dasar jimpit yang bermakna mengambil dengan ujung telunjuk dan ibu jari. Dengan kata lain, menjimpit bermakna mengambil sebagian kecil dari bagian yang lebih besar. Pesan moral di balik cerita hanyalah sebagian kecil dari berbelas, berpuluh, atau beratus halaman cerita. Kisah Harry Potter yang mencapai ratusan halaman, menyisakan sedikit pesan moral yang jika ditulis dalam lembaran kertas tidak akan menghabiskan satu halaman A4 atau folio. Pesan moral (dalam Nurgiantoro, 2005:263) yang terdapat dalam kisah sang penyihir cilik itu, di antaranya, adalah (1) perjuangan menegakkan kebaikan, (2) kebaikan dapat mengalahkan kejahatan, (3) persahabatan di antara Harry, Hermione, dan Ron, (4) kekompakkan dalam melakukan sesuatu hal, (5) kejujuran, (6) cinta kasih orangtua yang abadi kepada anaknya, (7) pengkhianatan, dan (8) balas dendam. Tentunya ada hal yang perlu diingat bahwa dalam beberapa episode terakhir, tokoh Harry Potter digambarkan telah merambah ke gerbang dunia kedewasaan dengan didekatkannya Harry kepada tokoh Cho Chang, seorang gadis peranakan yang bersekolah di kampus sihir Hogwarts.. Persoalan Harry yang semakin berat juga semakin menjauhkan tokoh tenar tersebut dari kesan dan dunia kekanakannya. Dunia dan paham paganisme sangat kental di dalam cerita popular tersebut (Baig, 2003:66).
Balita di berbagai belahan dunia ini pernah terkesima oleh penampilan lucu empat boneka berperut gendut yang lucu, Teletubbies. Pengajaran berhitung, pengenalan nama benda dan lingkungan, lantunan lagu-lagu yang ringan, dan tarian sederhana dapat dengan mudah ditangkap oleh para golden age tersebut. Namun, banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa ada bahaya terselubung di balik kelucuan keempat boneka berperut televisi tersebut, yaitu pengaburan jatidiri, propaganda pergaulan sesama jenis dan transeksual, serta pergaulan bebas (Pambudi, et.al., 2001:44—45).
Unsur magis juga tidak lepas dari dunia anak-anak. Tayangan interaktif Teletubbies atau Dora the Explorer diselingi propaganda magisisme dalam menyelesaikan persoalannya. Perangkat ajaib milik Teletubbies, perut serbaada milik Doraemon, tongkat sihir Harry Potter, serta ransel siaga milik Dora seakan menjadi alat wajib dalam penyelesaian persoalan yang mereka hadapi itu.
Cerita Si Kancil mengalami polemik saat ini. Dahulu, ketika ibu kita membacakan cerita tersebut, kita tidak pernah berpikir tentang sisi buruk sang kancil. Satu hal yang ditanamkan pencerita di dalam benak kita adalah tokoh kancil cerminan makhluk cerdas luar biasa hingga piaway menggunakan akalnya untuk selalu lolos dari “musuh-musuhnya”. Namun, setelah kita perhatikan dengan saksama. Kecerdasan yang dimiliki si kancil, terutama dalam kisah Si Kancil Mencuri Ketimun, lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kelicikan dan penipuan. Salah seorang pakar pendidikan, filsafat, dan budayawan, Dr. Komaruddin Hidayat, mengungkapkan bahwa cerita si kancil kurang mendidik karena kecerdasan yang dimilikinya hanya digunakan untuk mencuri, tetapi selalu lolos (Janarto, 2005:15). Sementara itu, Marahimin (dalam Patirsa:2007) mengatakan bahwa cerita si kancil yang sangat popular di negeri ini merupakan cikal bakal penghalang kemajuan bangsa kita. Marahimin mengamati bahwa orang-orang di negeri ini cenderung untuk saling berbuat licik demi mencapai tujuannya.
Dalam Sunardjo (CKB, 2000:22) dikisahkan bahwa sang kancil ingin terlihat “lebih berwibawa” di depan si kambing yang sangat ketakutan dimakan oleh harimau. Dengan pongah, si kancil mendekati pohon Ara dan menggaruk kulit batang pohon itu hingga getahnya terburai ke janggut dan wajahnya dan berkata bahwa doanya lebih mujarab daripada doa gurunya dan memerintahkan kambing untuk membaca doa tersebut berulang-ulang jika berjumpa dengan harimau. Kambing pun kagum luar biasa kepada kancil (dalam cerita: pelanduk) itu.
Kambing berpikir di dalam hati
“Pelanduk ini sangat saktinya
misai dan janggut putih semuanya
terlalu yakin di dalam hatinya. (CKB, 2000:22)

Padahal, dibalik punggung sang kambing, si kancil datang menghadap kepada harimau dan mengatakan bahwa balatentara kambing yang berjumlah ribuan itu hendak menyerang harimau. Agar aman, diberikannyalah doa yang lain kepada si bulu loreng itu hingga harimau merasa senang dan takjub kepada si kancil tadi. Setelah itu, kancil yang bermuka dua mengabarkan berita aneh lagi kepada kambing. Tindakan serupa itu juga dilakukannya kepada makhluk lainnya hingga akhirnya terjadi perang besar di hutan itu.
Dalam kisah Kancil Mencuri Ketimun, dikisahkan bahwa tokoh kancil selalu merasa bahwa dirinyalah yang paling pintar, termasuk bila dibandingkan dengan kepiawaian Pak Tani. Ternyata, kancil salah besar. Ia tidak dapat mengalahkan pemilik kebun itu. Ia terjerat perangkap getah pohon nangka yang di oleskan Pak Tani pada orang-orangan yang dipasang di kebun. Sementara itu, dalam kisah Kancil Kena Batunya tokoh kancil sekali lagi menunjukkan sikap pongahnya dan kebiasaannya menyepelekan kemampuan makhluk lain. Kancil diajak untuk mengikuti lomba adu cepat oleh siput. Kancil optimistis bahwa ia akan memenangkan pertandingan tersebut. Ia menyanggupinya. Namun, selama perlombaan berlangsung, kancil merasa heran mengapa siput yang notabene berjalan perlahan selalu mengunggulinya. Ia merasa dipermalukan binatang imut itu. Padahal, untuk mengikuti perlombaan itu siput telah berkolaborasi dengan teman-temannya untuk bersiaga pada posisi tertentu sehingga seolah dapat mengungguli kancil. Pesan moral yang tercermin dalam kisah kancil adalah (1) kesombongan dan sikap menyepelekan orang lain akan berbuah aib atau malu pada diri sendiri, dan (2) kepandaian atau kecakapan yang kita miliki tidak digunakan untuk hal-hal yang kurang baik karena akan menimbulkan kerugian, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Kisah Loro Jonggrang dan Sangkuriang adalah kisah yang menyiratkan cinta kasih yang tidak tulus. Raja Bandung Bondowoso mencintai Loro Jonggrang setengah mati hingga menyanggupi syarat berat yang diajukan oleh Loro Jonggrang, yaitu membuat seribu candi. Seperti halnya kancil, Loro Jonggrang pun menggunakan kecerdikannya untuk menipu raja lalim yang mencintainya itu. Ia sangat membenci lelaki kejam itu dan tidak sudi disuntingnya. Diperintahkannya pelayannya untuk membakar jerami dan memukul lesung seolah fajar telah menyingsing diufuk timur. Pasukan jin yang membantu Bandung membangun candi pun segera beranjak dari tempat itu. Bandung semula tidak mengerti. Ketika ia dengan bangga menunjukkan bangunan itu, ternyata setelah dihitung oleh Loro Jonggrang hanya berjumlah 999. Artinya masih kurang satu candi lagi. Bandung pun marah besar dan ia mengutuk putri yang cantik jelita itu bahwa dialah yang akan menjadi penggenapnya. Loro Jonggrang pun tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi candi keseribu. Sementara itu, dalam lakon Sangkuriang yang merupakan kisah Oidipus kompleksnya Indonesia dikisahkan bahwa Sangkuriang mencintai seorang putri jelita yang tidak lain ternyata ibu kandungnya sendiri. Sangkuriang tidak dapat menerima kenyataan itu. Dikejarnya terus putri itu hingga tersudut ke tepi bukit. Ketika hendak ditangkap, sang putri, Dayang Sumbi, tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi gunung yang dinamakan Gunung Putri. Sementara itu, seperti Loro Jonggrang, perahu yang menjadi syarat untuk menyunting sang putri ditendangnya keras-keras. Perahu itu melambung, jatuh terbalik, dan menjelma menjadi sebuah gunung yang kini dinamakan Tangkuban Perahu. Pesan moral yang tersibak dalam kedua kisah kasih tak sampai itu, antara lain, adalah (1) jika mencintai seseorang harus disertai dengan keikhlasan, (2) ketidakberterimaan terhadap kenyataan yang dihadapi akan mendatangkan penderitaan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Penulis berpendapat bahwa kisah Loro Jonggrang dan Sangkuriang kurang tepat dijadikan sebagai bacaan untuk anak-anak. Jika akan dijadikan sebagai cerita anak tentu harus mendapat perombakkan di sana-sini.
Kisah Malin Kundang dan Batu Menangis dari Sumatera Barat merupakan kisah yang memiliki kemiripan. Malin Kundang adalah anak seorang janda yang miskin. Ia lalu pergi merantau. Ketika kembali ia telah menjadi saudagar kaya. Sang ibu yang masih mengenali anaknya, menyambut kedatangan anak dan menantunya itu dengan suka cita. Namun, sambutannya itu bertepuk sebelah tangan. Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya, bahkan, berbalik menghardiknya. Sang ibu merasa sangat kecewa di penghujung penantiannya. Ia menengadahkan tangannya dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Doa dan kutukannya itu dikabulkannya. Malin Kundang beserta istrinya dan harta bendanya berubah menjadi batu. Sementara itu, dalam Batu Menangis dikisahkan seorang anak yang selalu membangkang kepada ibunya dan berlaku kejam kepada adiknya. Karena perilaku sang anak tidak dapat dibenahi, sang ibu dan adiknya memutuskan untuk pergi meninggalkan si pembangkang itu. Ibu dan anak itu pergi menuju sebuah batu. Dengan doanya batu itu terbelah dan masuklah mereka ke dalam batu tersebut. Setelah itu, batu tersebut mengatup kembali. Hanya beberapa helai rambut ibunya yang terjurai di permukaan batu. Sang pembangkang yang mencari ibunya mengenali rambut itu. Ia hanya dapat menyesali perbuatannya. Dari dalam batu itu mengalirlah bulir air mata ibunya. Dari kedua kisah tersebut dapat kita petik beberapa pesan moral berikut, antara lain, (1) kesabaran manusia ada batasnya, (2) ketidaksabaran akan mendatangkan kerugian baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan (3) berbuat tidak terpuji kepada orangtua akan mendatangkan kerugian.
Hidayat (dalam Janarto, 2005:14—15) mengatakan bahwa ia masih terkesan dengan salah satu cerita tentang burung yang kreatif. Kisah burung tersebut terungkap dalam kutipan berikut.
Suatu hari burung itu sedang terbang tinggi dan tiba-tiba dari ketinggian ia melihat bayangan air. Karena kehausan, ia pun menukik turun dan hinggap di tanah. Ternyata air itu berada di dalam bejana kaca. Airnya berada di bagian bawah, sedangkan leher bejana itu sempit sehingga kepala burung tak bisa masuk. Dengan paruhnya, ia masukkan satu-satu kerikil ke dalam bejana. Air dalam bejana pun naik dan burung cerdik itu pun bisa minum. Glek glek glek. (Janarto, 2005:14--15)

Hidayat dalam sumber yang sama mengatakan bahwa cerita burung tersebut sangat bagus. Untuk bisa minum, tokoh burung harus mau bekerja, berkeringat, dan berpikir kreatif. Berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Berusaha dulu sebelum mendapatkan kesenangan. Burung tersebut tidak berleha-leha, berbuat serba enak, atau semaunya sendiri. Sikap burung tersebut sangat berbeda dengan sikap si kancil yang tidak memedulikan kesedihan dan kekecewaan si petani atau teman-temannya yang menderita karena ulahnya.
Kisah Telaga Bidadari memiliki persamaan dengan kisah Nawang Wulan. Kedua cerita itu mengisahkan tentang seorang bidadari yang turun mandi ke bumi bersama saudara-saudaranya. Seorang lelaki bernama Datu Awang Sukma (Telaga Bidadari) atau Joko Tarub (Nawang Wulan) mengintip di balik rimbunnya dedaunan dan tertarik untuk memiliki salah seolah bidadari itu. Dengan cerdik, ia meraih salah satu kain milik bidadari itu. Ternyata kain itu milik Putri Bungsu (Telaga Bidadari) atau Nawang Wulan (Nawang Wulan). Ia merasa sedih karena kehilangan kainnya itu. Saudara-saudara lainnya tidak dapat membawanya ke langit. Akhirnya, mereka terpaksa meninggalkan adik bungsunya itu tempat pemandian itu. Tinggallah Putri Bungsu atau Nawang Wulan menangisi nasibnya. Tiba-tiba, dengan gaya bak malaikat, Awang Sukma atau Joko Tarub muncul dan menawarkan kain itu. Namun, penawaran itu disertai dengan satu syarat, yaitu sang putri harus tinggal bersamanya alias menjadi pendamping hidupnya. Sang putri pun tidak mempunyai pilihan lain terkecuali menyanggupi syarat tersebut. Pasangan tersebut akhirnya hidup bahagia. Mereka dikaruniai seorang anak bernama Kumalasari (Telaga bidadari) atau Nawangsih (Nawang Wulan). Pada suatu hari, seekor ayam mengais lumbung padi di dekat rumah mereka. Putri pun mendatangi lumbung itu dan matanya tertuju pada sebuah benda. Di ambilnya benda itu dan dibukanya kain penutupnya. Terkejutlah ia melihat isi dalam benda itu, selendang bidadari! Rasa sedih dan kesal bercampur baur. Ternyata selama ini suaminya menyembunyikan selendangnya itu di dalam lumbung padi. Ternyata lelaki itu yang telah mencuri selendangnya dan bertingkah seolah ia seorang malaikat penolong. Tekadnya sudah bulat untuk meninggalkan bumi dan kembali ke kahyangan. Awang Sukma atau Joko Tarub terpana melihat hal itu. Ia memohon kepada wanita yang dicintainya itu untuk membatalkan niatnya. Namun, bidadari yang sudah kecewa itu menolak tegas permintaan suaminya itu. Pergilah ia kembali ke kahyangan meninggalkan anak dan suaminya. Pesan moral yang dapat kita petik adalah jika kita menginginkan sesuatu sebaiknya dilakukan dengan cara yang baik dan halal. Perbuatan yang licik pada suatu saat akan berbalik laksana senjata makan tuan.
Kisah Semut dan kepompong juga menarik untuk disimak. Semut selama ini selalu menyepelekan kepompong karena tidak dapat berjalan ke mana-mana. Kepompong sempat dibuat sedih karenanya. Namun, pada suatu hari semut berjalan di atas Lumpur penghisap. Ia tidak menyadari bahwa semakin banyak gerakan yang dilakukannya semakin dalam Lumpur menyedot tubuhnya itu. Kepompong yang kini telah terkuak isi perutnya dan keluarlah sang kupu-kupu yang bersayap indah menatap ke arah semut yang sedang didera derita itu. Ia dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada temannya itu dan mengangkatnya dari kubangan lumpur penghisap. Semut pun merasa malu melihat kebaikan kupu-kupu. Semut meminta maaf dan sejak saat itu mereka pun bersahabat erat. Pesan moral yang dapat kita tangkap adalah (1) kesadaran atas kelebihan dan kekurangan yang dimilik setiap makhluk ciptaan Tuhan, (2) perilaku buruk seseorang dapat diperbaiki, dan (3) mengejek bukan merupakan perbuatan yang baik karena siapa tahu pihak yang diejek lebih tinggi kedudukannya daripada pihak yang melontarkan ejekan.
Kisah yang berkaitan dengan kesabaran salah satunya adalah kisah Cindelaras Cindelaras adalah putra Raden Putra, raja Kerajaan Jenggala. Sang raja memiliki seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Hanya saja, selir itu memiliki sifat iri dengki kepada permaisuri. Ia merencanakan untuk menyingkirkan permaisuri karena ia menginginkan kedudukan sebagai ratu Kerajaan Jenggala. Berkomplot dengan tabib istana, selir itu melontarkan fitnah kepada permaisuri sebagai biang keladi penyakitnya. Raja yang termakan hasutan itu marah dan mengusir permaisuri dari kerajaan itu dan dibuang ke dalam hutan. Diperintahkannya sang patih untuk membunuh wanita mulia itu. Namun, patih itu sangat menyayangi sang putri. Ia membunuh seekor kelinci dan melaburkan darahnya pada permukaan golok sebagai bukti kepada raja bahwa perintahnya telah dilaksanakan.
Tidak berapa lama kemudian, permaisuri yang sedang berbadan dua itu melahirkan seorang anak lelaki yang sehat dan diberi nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh di bawah asuhan sang ibu yang sangat menyayanginya. Pada suatu hari, Cindelaras mendapatkan sebutir telur emas yang dijatuhkan oleh burung rajawali dari langit. Telur itu kemudian menetas dan tumbuh menjadi seekor ayam jago yang tangguh. Tidak satu ayam jago pun yang dapat mengalahkan ayam milik Cindelaras. Kehebatan ayamnya itu membawanya ke istana sang ayah. Raja menantang Cindelaras untuk menyabung ayam dengan syarat jika raja menang Cindelaras harus rela menjalani hukuman pancung sedangkan jika raja kalah setengah kekayaan raja akan menjadi milik Cindelaras. Ternyata lagi-lagi ayam Cindelaras memenangkan pertarungan. Raja merasa penasaran dengan bocah cilik itu dan bertanya tentang asal-usulnya. Belum sempat bibir Cindelaras berbicara, ayam jago miliknya menyahut dan mengungkapkan siapa majikannya itu sebenarnya. Raja pun merangkul putranya yang telah lama hilang dan menarik kembali permaisuri ke istana. Selir dan tabib yang telah berbuat zalim akhirnya harus menjalani hukuman yang setimpal. Pesan moral yang dapat kita petik dari kisah Cindelaras tersebut adalah kebaikan selamanya akan berbuah kebaikan sedangkan kejahatan akan berbuah penderitaan.
Pesan moral akan selalu terbawa dalam setiap kisah, baik pesan moral yang baik maupun yang buruk. Namun, untuk menyampaikan pesan moral yang buruk perlu kiat tersendiri. Sambil mengajak pendengar (anak-anak) untuk berdiskusi tentang perilaku tokoh dalam cerita, dengan halus dapat kita tekankan bahwa perilaku tersebut tidak sesuai dengan norma-norma etika yang berlaku dalam lingkungan masyarakat. Pesan moral dalam cerita akan tersampaikan dan membekas dalam benak si anak jika kita dapat menyampaikan kisah itu dengan tepat dan meyakinkan. Dengan demikian, pesan moral dalam kisah akan terkunci dengan baik dalam benak si anak tanpa merasa terdoktrinkan.

3. Simpulan
Bercerita atau mendongeng memilki dampak yang sangat dahsyat dalam pembentukan pola pikir anak bila dibandingkan dengan berbagai sarana “pendongeng” modern lain, seperti game, televisi, atau komik yang ada saat ini. Hanya saja kesibukan orangtua pada zaman sekarang yang menuntut mereka untuk lebih banyak berkiprah di luar rumah. Dengan demikian, tenaga untuk mengasuh anak-anak setelah pulang kerja sudah terkuras. Apalagi untuk sekedar mendongengkan sebuah kisah bagi si kecil. Padahal, banyak sekali manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan bercerita itu, di antaranya, (1) memfasilitasi anak untuk menafsirkan peristiwa yang ada di luar pengalaman langsung dan meluaskan dunianya, (2) menerapkan pelatihan pola bahasa lisan, dan (3) melatih kemampuan menyimak dan mendengar aktif. Yang terutama dalam kegiatan mendongeng tersebut adalah pelekatan pesan moral kepada anak secara halus dan tanpa kesan menggurui. Namun, untuk mencapai hal itu, kegiatan tersebut perlu di sampaikan dengan baik.
Setiap kisah memuat pesan moral baik dan buruk. Kita tidak dapat menghindari hal itu. Namun, pesan moral yang buruk perlu di sampaikan dengan cara yang interaktif. Kesan anak terhadap pesan tersebut perlu dipancing agar ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Beberapa cerita anak yang selama ini diturunkan kerap menjadi pemicu sifat buruk pada diri seseorang misalnya, kisah Si Kancil. Kiat jitu dapat digunakan untuk meredam sisi buruk dari cerita yang akan kita sampaikan itu.

4. Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, et.al. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Baig, Khalid. 2003. “Sihir Harry Potter. Budaya Baru Ini Hasil Perkawinan Kapitalisme dan Paganisme”. Artikel dalam majalah Suara Hidayatullah Edisi 04/XVI/Agustus 2003 halaman 66—67. Jakarta: Yayasan Penerbitan Pers Hidayatullah.
e-Smart School. 2007. “Cerita Anak”. Data internet.
Gerbang Informasi Kota Batam (GKIB). 2007. “Katakan dengan Dongeng”. Artikel internet.
Jalu. 2005. “Kembangkan Fantasi Anak Lewat Mendongeng”. Artikel dalam HU Pikiran Rakyat edisi Minggu, 24 Juli 2005. Bandung: PT Granesia.
Janarto, Herry Gendut. 2005. “Pak Komaruddin Hidayat: Pendidik Yang Tak Suka Dongeng Kancil”. Artikel dalam Rubrik Profil majalah anak-anak Bobo edisi Tahun XXXII, 24 Maret 2005. Jakarta: PT Penerbitan Sarana Bobo.
Kontributor Spesial (KS). 2006. “Membawa Anak ke Alam Cerita”. Artikel internet.
Maulana, Soni Farid. 2005. “Imas Istri Kabayan”. Artikel dalam HU Pikiran Rakyat edisi Minggu, 24 Juli 2005. Bandung: PT Granesia.
_____,et.al. 2005. “Mendongeng itu Mudah”. Artikel dalam HU Pikiran Rakyat edisi Minggu, 24 Juli 2005. Bandung: PT Granesia.
NN. 2007. “Pentingnya Bercerita bagi Anak”. Artikel dalam jurnal psikologi cyber POPsy! Edisi 6 Mei 2007.
National Storytelling Network (NSN). 2006. “Storytelling”. Artikel internet.
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pambudi, et.al. 2001. “Kampanye Homoseks Teletubbies”. Artikel dalam majalah Suara Hidayatullah Edisi 03/XIV/Juli 2003 halaman 44—45. Jakarta: Yayasan Penerbitan Pers Hidayatullah.
Patirsa, Anak. 2007. “Dongeng Si Kancil”. Artikel internet.
Rowling, J.K. 2000. Harry Potter dan Batu Bertuah. Edisi terjemahan. Jakarta: PT. Gramedia.
Soenardjo, Nikmah et.al. 2000. Kumpulan Cerita Binatang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas.
Wolf, Eric. 2007. “How Storytelling Will Save the World”. Artikel dalam internet. Brother Wolf & Storytelling.

Tidak ada komentar: