DASIMA DAN GADIS PANTAI:
POTRET PERKAWINAN BERMASALAH DALAM SASTRA
Resti Nurfaidah
1. Pendahuluan
Perkawinan merupakan peristiwa sakral yang sangat penting dan berarti dalam kehidupan sepasang manusia (Hdn, 2004:13). Perkawinan tersebut ditujukan untuk mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Demikian agung tujuan perkawinan itu. Namun, jika sebuah perkawinan tidak lagi dilandasi niat suci, nilai kesakralan tentu akan sirna, misalnya niat seseorang yang menikah lebih didasari oleh faktor ekonomi atau faktor bisnis, atau faktor kebutuhan seksual semata. Salah satu di antara ragam perkawinan yang demikian adalah kawin kontrak atau nikah mut’ah, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk sementara waktu, misalnya sehari, seminggu, atau sebulan. Perkawinan tersebut hanya terjadi selama kurun waktu tertentu yang telah disepakati. Jika tenggat waktu yang telah habis, perkawinan pun berakhir dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian. Perkawinan tersebut pernah ada pada awal masa sejarah perkembangan agama Islam. Bahkan, Nabi Muhammad saw pernah mengizinkan para sahabatnya untuk melakukan perkawinan tersebut ketika mereka berada di kancah peperangan atau pergi ke suatu tempat yang memerlukan waktu yang lama. Di tengah berkecamuknya Perang Khaibar (628 M), Rasulullah mengharamkan perkawinan tersebut. Pada masa kini, meskipun tidak dibenarkan secara agama dan hukum, perkawinan tersebut ternyata masih terjadi. Maraknya kasus kawin kontrak di kawasan Puncak, Bogor, serta praktik sangjitan yang berlaku di kalangan warga keturunan merupakan bukti bahwa perkawinan seperti itu masih terjadi di masyarakat. Faktor ekonomi merupakan pencetus terjadinya perkawinan seperti itu.
Tema perkawinan telah banyak dijadikan sebagai sumber kreatifitas para sastrawan ke dalam karya, termasuk kawin kontrak. Di antaranya, Pram mengangkat tema tersebut dalam novel Gadis Pantai. Dalam novel itu dikisahkan perkawinan antara seorang gadis belia yang lugu asal kampung nelayan kumuh di tepi pantai Jepara dan seorang Bendoro, pembesar di tanah Jawa yang sangat disegani rakyatnya. Perkawinan yang aneh itu, sang gadis dikawinkan dengan sebilah keris, membawanya memasuki dunia kaum menak yang serba sepi, teratur, kaku, dan mengekang. Gadis Pantai sempat mengalami gegar budaya pada awal masa perkawinannya. Namun, kecerdasan terpendam yang dimilikinya membuatnya mampu menangkap segala ketentuan yang berlaku di rumah itu dengan cepat. Hal itu pula yang membuatnya dewasa dan memahami arti perkawinan dan cinta. Namun, pada saat yang sama, ia harus membayar mahal cintanya itu.
Selain tema kawin kontrak, perkawinan lain yang terdapat dalam sastra adalah perkawinan ala Nyai Dasima. Perkawinan Dasima dengan orang asing yang berlainan keyakinan merupakan fenomena sosial yang kala itu menjadi dambaan para kaum wanita pribumi. Betapa tidak, perkawinan tersebut dianggap dapat mengangkat derajat kaum pribumi baik materil maupun moril. Perkawinan Dasima dengan Tuan Edwards semula berlangsung bahagia dan berbuah seorang keturunan yang sangat jelita, Nancy. Namun, pertemuannya dengan seorang raja kusir delman, Bang Samiun, membawa Dasima ke dalam kegelapan hingga ia harus kehilangan nyawanya.
Novel Gadis Pantai berlatarkan kehidupan masyarakat Jawa Tengah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tepatnya semasa hidup R.A. Kartini. Pada saat itu kehidupan masyarakat sangat laksana barisan kotak yang berlainan ukurannya. Kaum ningrat yang cenderung “dekat” dengan kaum penjajah, Belanda, sangat identik dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang seluas-luasnya dan kemampuan untuk berbicara dengan bahasa sang penjajah. Hal itu digunakan agar mereka dapat berbaur dengan bangsa pendatang itu. Namun, tidak demikian halnya dengan rakyat kebanyakan yang didera sempitnya jalan untuk menuju kecerdasan. Kaum perempuan lebih parah lagi. Mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk menjadi sejajar dengan kaum Adam. Kebanyakan menderita buta huruf atau hanya sekadar mampu membaca kitab suci. Gadis Pantai tergolong kaum yang termajinalkan. Ia hidup di tengah kerasnya kehidupan kaum nelayan di pesisir utara Jawa Tengah. Ketika ia terpilih untuk menjadi budak seks sang Bendoro di kota, ia laksana setangkai bunga mawar ranum yang tercerabut dari rumpunnya. Ia harus menyelami dunia yang selama ini asing baginya. Ia yang telah akrab dengan luasnya pesisir, harus mendekam di balik tembok tebal “penjara suaminya”, yaitu suami yang tidak pernah ia kenali asal-usulnya dan tiba-tiba muncul dalam kehidupannya. Tembok tebal itu telah memberi Gadis Pantai penderitaan, kebahagiaan, kesunyian, dan kesedihan yang harus ditebusnya dengan harga yang sangat mahal. Novel yang berdurasi sedang itu, hampir 3 tahun sejak Gadis Pantai dikawini sang Bendoro hingga tiba masa pengusirannya, diakhiri dengan keputusan sang Gadis Pantai untuk hidup terpisah dari keluarga dan kehidupan lamanya.
Novel Nyai Dasima hampir sama dengan novel Gadis Pantai karena berlatarkan kehidupan masyarakat di kawasan Batavia dan sekitarnya pada masa penjajahan Belanda. Pada saat itu, para wanita pribumi sangat memimpikan untuk “diangkat” sebagai pendamping pria kulit putih atau yang dikenal dengan istilah “Nyai”. Seorang Nyai adalah wanita yang dijadikan sebagai istri nonformal kaum orang Eropa. Ia bertindak layaknya seorang nyonya namun tidak dinikahi secara resmi meskipun pasangan tersebut saling mencintai. Dasima terangkat derajatnya menjadi pendamping sang majikan setelah istri sah pria itu meninggal dunia. Hubungan mereka membuahkan seorang keturunan yang sangat rupawan, Nancy. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. pertemuan Dasima dengan juragan delman, Bang Samiun, mencabut kebahagian wanita itu dan menyeretnya ke ujung nyawanya. Novel Nyai Dasima berdurasi panjang, yaitu sejak kedatangan dirinya saat masih kanak-kanak hingga masa dewasa ketika diangkat sebagai pendamping sang majikan, serta saat tiba kematiannya.
2. Gadis Pantai dan Dasima: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
Potret perkawinan bermasalah dalam sastra yang diungkapkan dalam tulisan ini berasal dari dua sumber data berikut, yaitu novel Gadis Pantai dan Nyai Dasima.
2.1. Potret Perkawinan Bermasalah dalam Novel Gadis Pantai
Perkawinan Gadis Pantai, kembang kampung nelayan kumuh di pesisir utara Jawa Tengah, terjadi secara tiba-tiba. Tanpa ia duga, pada suatu malam ia telah dikawinkan dengan sebilah keris sebagai wakil dari seorang pria yang tidak pernah ia kenali sebelumnya.
Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. (GP, 2005:12)
Kejadian itu begitu cepat hingga tiba saat ia harus meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan kehangatan keluarga, dan meninggalkan keceriaan bermain pasir di sepanjang pesisir tak bertepi yang telah akrab dengan jiwa dan tubuhnya. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam batinnya. Namun, gadis pantai seolah tidak memiliki kekuatan untuk menolak perkawinan ini. Kedua orangtuanya juga demikian. Di dera kemiskinan sekian lama, kedua orang tua Gadis Pantai seolah mendapat durian runtuh. Perkawinan Gadis Pantai telah mengangkat derajat keluarga orang tuanya, selain dengan imbalan materi. Dengan demikian, keluarga tersebut akan terjamin keamanannya dari serangan kaum perompak atau bajak laut yang secara berkala menyerang kampung nelayan. Jangankan para perompak, rentetan tetangganya pun tidak berani mengganggu.
Perkawinan gadis pantai tidak membuahkan kebahagiaan. Sebaliknya kesepian dan kekakuan menjadi santapan sehari-hari. Sejak Gadis Pantai menjejakkan kakinya di rumah besar milik suaminya itu, tembok dan pilar tebal di rumah itu seakan telah menjawab segudang pertanyaan di dalam kalbunya. Tembok itulah yang menjadi pemisah dirinya dan dunia luar. Tembok itu pula yang memutuskan kehangatan keluarganya. Tembok itu pula yang selama beberapa waktu menjadi penjara baginya.
Memasuki kota dan gedung tempat ia tinggal sekarang adalah memasuki dunia tanpa ketentuan. (GP, 2005:133)
Di balik tembok itulah ia selalu merindukan kehangatan suasana kampung dan keluarganya.
Dan ia pun kenangkan kembali kampung nelayan nun jauh di tepi pantai, hari-hari yang penuh tawa, keringat yang mengucur rela, tangan-tangan yang coklat tua, dan lemah lembut kasar yang saling membantu. (GP, 2005:133)
Perkawinan Gadis Pantai dan sang Bendoro bukanlah perkawinan yang bahagia. Meskipun derajatnya kini telah meningkat bila dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan, tetapi ia tidak dapat duduk sejajar dengan suaminya. Ia hanyalah “orang belakang” yang bertugas melayani kebutuhan beliau, terutama kebutuhan biologis. Jika kedatangan tamu, ia dikurung di dalam kamar dan tidak diperkenankan untuk mendampingi suaminya. Ia tidak bisa berdampingan dengan suaminya sepanjang hari dan setiap waktu atau sekedar menumpahkan perasaannya kepada lelaki itu. Ia tidak lebih dari seorang pelayan yang hanya mampu mengiyakan hal-hal yang disampaikan oleh suaminya.
Perkawinan Gadis Pantai bukanlah perkawinan yang abadi. Perkawinan gadis itu hanyalah untuk sementara. Berbeda dengan kawin kontrak pada masa kini yang disertai dengan sederet perjanjian, perkawinan serupa yang dilakoni oleh Gadis Pantai tidak pernah diketahui batas waktunya. Perkawinan tersebut juga lebih menyudutkan dan melecehkan Gadis Pantai karena ia tidak pernah dianggap sebagai seorang istri yang sesungguhnya, melainkan sebagai seorang istri percobaan. Bendoro tetap dianggap sebagai seorang lajang tulen sampai pada suatu saat ia menikahi seorang wanita ningrat yang benar-benar sejajar dengan dirinya. Pergantian istri atau kelahiran anak sebanyak apa pun tidak akan melunturkan kelajangan sang Bendoro. Sebelum pernikahannya dengan Gadis Pantai, sang Bendoro pernah melakukan hal serupa dengan beberapa wanita lain dan mendapatkan keturunan.
“Apa yang mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.” (GP, 2005:155)
Perkawinan Gadis Pantai adalah perkawinan yang sepi. Ia tidak diperkenankan untuk menerima tamu, termasuk dari kalangan keluarga. Kedua orang tuanya pun tidak berani mendekatinya dan menunjukkan sikap segan kepada anak perempuannya yang kini mereka anggap telah menjadi “Bendoro Putri”. Bahkan, ayah Gadis Pantai pun tidak mampu memanggil namanya. Anak-anak hasil hubungan sang Bendoro dengan perempuan sebelum kedatangan Gadis Pantai tidak diperkenankan untuk mendekatinya, bahkan mereka disingkirkan di tempat tertentu.
Perkawinan Gadis Pantai adalah perkawinan yang disertai dengan derita karena ia tidak pernah mendapatkan haknya sebagai seorang ibu dari bayi yang ia lahirkan. Ia telah diputus haknya sebagai seorang istri beberapa waktu setelah kelahiran sang anak, terlebih ketika anak yang dilahirkannya berkelamin perempuan. Ia tidak diperkenankan untuk memiliki dan membawa sang anak ketika sang Bendoro berubah sikap mengusirnya dari rumah itu. Akhir perkawinan itu telah menurunkan derajatnya dan ia enggan kembali ke kampung halamannya. Ia enggan menanggung aib di depan mata penduduk kampung dan memilih untuk pergi ke kota lain.
2.2. Potret Perkawinan Bermasalah dalam Novel Nyai Dasima
Perkawinan Nyai Dasima bermula pada kedatangan Dasima yang menjadi pelayan cilik di rumah keluarga Tuan Edwards dan Nyonya Bonnet. Bonnet sangat menyayangi Dasima seperti kepada anaknya sendiri. Ia mendidik anak lugu itu menjadi seorang wanita yang cerdas. Dibekalinya anak lugu dari Kampung Puritan itu dengan berbagai keterampilan, di antaranya memasak, menyulam, dan beretika.
Di bawah asuhan Bonnet, Dasima tumbuh sebagai gadis yang jelita. Hal itu mengundang benih-benih asmara di hati Tuan Edwards, terlebih saat itu Bonnet telah didera sakit parah yang berkepanjangan. Mata bertemu mata, akhirnya Dasima dan Edwards menjalin cinta. Bonnet pun menyadari hal itu, tetapi ia sangat tidak berdaya. Ketika akhirnya Bonnet meninggal dunia, Dasima serta merta menggantikan tempatnya. Edwards sangat menyayangi Dasima. Hubungan mereka membuahkan seorang keturunan yang sangat cantik jelita, Nancy Williams.
Setelah kematian Bonnet, keluarga itu pindah ke Betawi. Di kota inilah awal mula permasalahan itu terjadi. Berawal dari kedatangan Mak Buyung ke rumah Dasima untuk berjualan telur. Sambil berjualan, Mak Buyung selalu berbagi cerita dengan Dasima. Dasima yang kesepian kini merasa senang karena mendapat teman bicara. Mak Buyung adalah wanita sebatang kara yang diangkat kerabat oleh Wak Saleha, ibu mertua Bang Samiun. Selain pertemuan dengan Mak Buyung, Dasima juga kerap bersua dengan Bang Samiun juragan kusir delman yang kerapkali mengantar Nancy ke sekolah. Pertemuan demi pertemuan itu menimbulkan desir-desir ombak asmara di antara keduanya. Bang Samiun yang terdorong oleh hasutan istrinya, Hayati, dan ibu mertuanya, Wak Saleha, melihat peluang untuk mendapatkan Dasima semakin besar setelah kehadiran Mak Buyung di rumah itu. Mak Buyung pun berperanan sebagai kaki tangan juragan delman itu dan harus melaporkan berbagai hal yang terjadi di rumah itu. Mak Buyung pula yang menebarkan ramuan guna-guna pada makanan majikannya itu.
Akibatnya, Dasima pun oleng dan berpaling kepada lelaki berkumis tebal itu. Dasima bersikeras untuk meninggalkan Tuan Edwards dan Nancy demi mendapatkan kebahagiaan bersama Bang Samiun. Terlebih, pada saat yang sama Dasima sudah tidak mampu lagi menahan kekesalannya kepada nyonya-nyonya Eropa yang selalu mencela dan mengucilkan dirinya. Ia tidak pernah mendapatkan tempat di hari para istri pejabat Eropa karena dianggap sebagai wanita yang merebut suami Bonnet.
Lelaki Eropa itu akhirnya terpaksa melepaskan Dasima. Ia tidak membiarkan Dasima pergi dengan tangan hampa. Diberikannya Dasima harta benda yang banyak. Dasima pun mengungsi ke rumah Mak Buyung sebelum akhirnya dikawini oleh Bang Samiun. Nilai perkawinan itu pun luntur ketika disadari Dasima bahwa Bang Samiun hanya ingin memanfaatkan hartanya saja. Hayati dan Wak Saleha pun tidak lebih baik dari suaminya. Mereka memeras tenaga Dasima layaknya seorang pelayan hina sementara hartanya mereka kuras.
Pada suatu hari Dasima menuntut hartanya kembali. Bang Samiun yang terkejut dengan gertakan Dasima pun kelimpungan. Ia tidak mungkin mengembalikan uang dan benda milik Dasima itu. Di tengah kebuntuan itu Bang Samiun memanfaatkan jasa Bang Puase, salah seorang kaki tangan kepercayaan mendiang mertuanya, untuk menghabisi nyawa Dasima. Kedua lelaki itu mengatur siasat. Mereka berhasil. Nyawa Dasima pun melayang di tangan Bang Puase.
Perkawinan Dasima pun tidak berbeda dengan perkawinan Gadis Pantai. Bahkan, Dasima tidak dikisahkan meresmikan perkawinannya. Lebih tepat lagi jika Tuan Edwards dan Dasima dikatakan sebagai pasangan yang hidup bersama. Ketika itu Dasima yang sudah lama tidak menjalani ritual agamanya, menjalani hidup itu dengan senang hati. Namun, setelah mendapatkan nasihat dari Mak Buyung, barulah ia menyadari bahwa apa yang ia jalani selama ini menyimpang dari ajaran agamanya. Mak Buyung yang pandai memainkan kata-kata mampu memalingkan wajah Dasima dari suaminya. Dasima tidak ingin menjalani perkawinannya itu dan ia menaruh harapan kepada Bang Samiun. Dasima tidak pernah menyadari bahwa dirinya telah masuk ke dalam perangkap wanita tua itu. Kata-kata manis dari Mak Buyung dan Bang Samiun itulah yang membuat Dasima membulatkan tekadnya untuk meninggalkan suaminya.
Ketika peristiwa itu benar-benar terjadi, Bang Samiun bukan kepalang senangnya. Impiannya untuk mendapatkan Dasima kini di depan mata. Ia bisa memanfaatkan janda kaya itu, atas keinginan sang istri dan mertuanya. Dasima tidak menyadari hal itu. namun, setelah pernikahan itu terjadi tabir kelabu suami, mertua, dan madunya terkuak. Ketiga orang itu sama sekali tidak menyayangi Dasima dan benar-benar ingin memanfaatkan kekayaan Dasima, terutama untuk biaya bermain ceki (sejenis permainan judi). Mereka tidak segan-segan menyiksa Dasima lahir dan batin. Ia diperlakukan seperti seorang budak yang hina.
Dasima yang telah kehilangan mimpi indahnya, pada akhirnya menuntut kembali hartanya. Hal itu membuat Bang Samiun bingung. Tentu saja, ia tidak memiliki kemampuan untuk mengembalikan harta Dasima yang telah ia pakai. Karena bingung, Bang Samiun meminta tolong jasa Bang Puase, salah seorang centeng kepercayaan mendiang mertuanya, untuk menyingkirkan Dasima. Dengan bayaran yang cukup mahal, Bang Puase berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Dasima pun tersingkir.
Perkawinan Dasima tidak didasarkan pada niat tulus ikhlas. Perkawinan sirinya dengan Tuan Edwards lebih didasarkan pada keinginan untuk menjadi “lebih”. Dengan menjadi pendamping tuan Belanda itu ia telah dapat meningkatkan derajatnya serta menorehkan rasa bangga kepada kedua orang tuanya. Dasima tidak melandasinya dengan iman yang kuat. Ketika pengaruh Mak Buyung menerpa, Dasima pun dengan cepat berpaling dari pendiriannya. Ia menaruh harapan kepada lelaki lain yang dianggapnya sebagai malaikat penolong.
Ketika ia berhasil mendapatkan impiannya, Dasima berbalik merasa kecewa. Malaikat penolong yang diharapkannya itu ternyata tidak lebih dari sesosok iblis. Materil dan moril Dasima dibuatnya tersiksa. Perkawinan kedua itu tidak mampu menjadi pengobat jiwanya yang labil. Malahan, Dasima harus membayarnya dengan sangat mahal.
3. Penutup
Pernikahan yang dilakoni oleh kedua tokoh tadi, yaitu Gadis Pantai dan Nyai Dasima kelak di kemudian hari menjadi pangkal pengundang masalah. Gadis Pantai dengan perkawinan sejenak yang dilakoninya membuatnya kehilangan segalanya, cinta dan belahan jiwanya. Ia kehilangan haknya sebagai seorang istri dan ibu. Ia laksana setitik debu ditengah amukan gelombang hidup, nyaris tenggelam dan tersingkirkan. Perkawinan yang tidak pernah ia kenali awal dan akhirnya itu telah membawanya ke alam mimpi yang indah dan buruk sekaligus.
Dasima dengan perkawinannya itu telah melambungkan dirinya hingga menjadi symbol kemakmuran dalam pandangan wanita pribumi kebanyakan yang hanya dapat bermimpi sebagai seorang “putri”. Namun, hasutan yang berhembus dari pihak luar telah memalingkan nuraninya hingga ia bertekad meninggalkan mimpi indahnya itu. Dasima seolah mengejar fatamorgana yang dalam pandangannya jauh lebih indah dan damai daripada kehidupan gemerlapnya saat itu. Namun, pilihan itu sangat meleset. Ia terjerumus ke dalam perangkap mimpi buruk berakhir pada ujung nyawanya.
Perkawinan ala Gadis Pantai dan Nyai Dasima bukan hanya terjadi pada saat itu saja, melainkan pada masa kini. Banyaknya kaum pendatang yang membutuhkan pelampiasan kebutuhan biologisnya, tetapi tidak ingin terikat dengan perkawinan seumur hidup telah membuka peluang terjadinya perkawinan sementara atau nikah mut’ah. Faktor ekonomi yang telah lama mendera masyarakat kebanyakan mendorong terbukanya pintu “peluang bisnis” yang menggiurkan ini. Bukan tidak mungkin perkawinan tersebut malah menorehkan kebanggaan bagi pelaku maupun keluarganya karena landasan materi dan gengsi sosial yang “terangkat” dari masyarakat kebanyakan. Sebagian dari pelaku tidak menyadari bahwa perkawinan tersebut justru telah membuatkan terhina dan tersudut serta mengundang masalah dikemudian hari. Masalah yang kemudian timbul, antara lain, terjadi ketika perkawinan tersebut berakhir. Bukan tidak mungkin pihak istri dan anak terlantar dengan status yang tidak jelas, terlebih bila perkawinan tersebut dilakukan dengan cara “di bawah tangan”. Bukan hal yang aneh bila perkawinan tersebut dilakukan dengan serentetan perjanjian yang terkadang cukup menyiksa batin, misalnya, dilarang hamil selama masa perkawinan. Jika terjadi kehamilan, pihak wanita hanya dihadapkan pada dua pilihan sulit, yaitu (1) meneruskan kehamilan dengan resiko perkawinan berakhir lebih cepat dan tanpa kompensasi apa pun atau (2) perkawinan diteruskan sesuai perjanjian yang berlaku tetapi kehamilan harus dibatalkan atau janin digugurkan.hal itu tentu akan menambah maraknya masalah baru, yaitu peningkatan jumlah tindakan aborsi illegal.
Kawin kontrak atau nikah mut’ah tidak dibenarkan baik secara hukum maupun agama. Perkawinan seperti itu hanya untuk menutupi perbuatan seks bebas. Kebutuhan biologis para ekspatriat yang notabene jarang membawa istri atau keluarganya seolah dilegalkan dengan perkawinan tersebut. Perkawinan tersebut tidak lebih dari perbuatan asusila terselubung yang dibatasi dengan pernjanjian tertentu dan batas waktu. Niat perkawinan tersebut tidak dilandasi keikhlasan. Nilai kesakralan pun menghilang dan tersisa adalah pelecehan terhadap kaum hawa. Wanita yang bersedia melakukan pernikahan tersebut sama dengan melakukan pelecehan terhadap dirinya sendiri. Untuk itu, perkawinan tersebut sudah seharusnya tidak dibiarkan agar tidak terjadi kesulitan dan kesempitan hidup pada masa yang akan datang.
4. Daftar Pustaka
Ali, Rahmat. 2000. Nyai Dasima. Jakarta: PT Grasindo.
Ananta Toer, Pramoedya. 2005. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.
Anshari A.Z., H.A. Hafizh, et al.1994. Ensiklopedi Islam jilid 3 (Kal—Nah). Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Hayati, Istiqomatul. 2007. Meretas Nestapa Sampai ke Taiwan. Kumpulan artikel tentang sangjitan (perjodohan perempuan warga keturunan Indonesia dan pria Taiwan) dalam Tempo edisi 7 Januari 2007. Jakarta: PT Tempo Inti Media Tbk.
Jalu. 2005. Menikah di Bawah Tangan Sangat Merugikan Perempuan. Artikel dalam lembaran Hikmah harian umum Pikiran Rakyat Minggu edisi 3 Juli 2005, halaman 13. Bandung: CV Granesia.
Jalu, et al. 2004. Kawin Kontrak Tidak Sesuai Aturan Agama Maupun Negara. Artikel dalam lembaran Hikmah harian umum Pikiran Rakyat Minggu edisi 29 Februari 2004, halaman 13. Bandung: CV Granesia.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2005. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bandung: CV Nuansa Aulia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar