Rabu, 20 Februari 2008


KONSEP KEMATIAN DAN KEHIDUPAN PASCAKEMATIAN
DALAM LIRIK LAGU RELIGIUS



Resti Nurfaidah



ABSTRACT: Mostly death is considered as the last phase of the cyclus of the human’s and other creatures’ life. Whereas, firstly on the Islamic religion, the death is considered as the first phase of the other ones, called the life after the death. Some people forget that the endable life in the world is likely a facility to catch or save preparations of the life after the death itself.
Exploring this topic, the writer had taken three objects.
The object of the riset is the three religious lyrics below,Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick), Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Chrisye),and Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo). Those that were written bythe Koranic or the words of the Prophet’s based telling us about the death itself and the life afterwards. What should be doneby the human beings, especially for the Moslems, before and after the coming of the death?


1. Pendahuluan
Dunia laksana sebuah sarana hiburan fantasi. Dunia laksana sebuah megastore perhiasan. Manusia adalah pengunjung setianya. Keindahan dan kebahagiaan yang disajikan dalam tempat hiburan dan megastore itu begitu melekat dalam ingatan manusia. Akibatnya, manusia menjadi senang dan berlama-lama untuk tinggal di kedua tempat itu. Ia tidak berniat untuk hengkang dan meninggalkan tempat itu. Manusia demikian asyik dengan kehidupannya, sehingga ia lupa bahwa ada sesuatu yang senantiasa mengintai dirinya setiap saat setiap waktu. Gazalba (1984:11) mengatakan bahwa ada hal yang tidak dapat ditolak oleh manusia, yaitu sirnanya periode kehidupan dan kedatangan sakratul maut. Kepastian datangnya maut merupakan hal yang nyata, tetapi manusia cenderung lalai untuk mempersiapkan dan menghadapinya. Kenapa manusia melupakan saat-saat akan kematiannya, sehingga ia tidak sempat mempersiapkan dirinya? Saat-saat kematian datang menjemput manusia dan apa yang akan dialami oleh manusia pascakematian, akan penulis bahas pada poin selanjutnya. Tepatnya, pada tiga objek penelitian berikut, yang berupa tiga lirik religius, yaitu Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick), Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Chrisye), dan Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo). Ketiga lirik tersebut menyinggung soal kematian dan hal-hal yang akan dialami setelah itu. Pembahasan akan penulis lakukan disertai dengan sejumlah refernsi buku keagamaan yang relevan.

2. Konsep Kematian dan Kehidupan Pascakematian dalam Lirik Lagu Religius
Pembahasan tentang konsep kematian dan kehidupan pascakematian dalam lirik lagu religius ini akan terbagi dua. Pertama, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa dan peringatan tentang kematian, sedangkan yang kedua, mengenai hal-hal yang terjadi setelah kematian—terutama ketika manusia sedang berhadapan dengan pengadilan Allah swt untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya.

2.1 Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick) dan Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo)
Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick) merupakan lirik yang berkisah tentang hal-hal yang membuat manusia terlena dengan segala keindahan kehidupan duniawi dan melalaikan kehidupan akhirat. Penyesalan manusia mendorong dirinya untuk memohon kepada Ilahi untuk dikembalikan ke dunia, tetapi Allah tidak mengizinkannya. Ia terperosok dalam kesedihan dan kesepian di alam kubur. Lirik lagu Bila Waktu Tlah Memanggil tersebut selengkapnya sebagai berikut.

Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick)

Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi
Meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu untuk kembali
Mengulang ke masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yang ada akan
Kembali pada-Nya

Bila waktu tlah memanggil
teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
teman sejati tinggallah sepi

Lirik lagu tadi terdiri atas empat bait. Setiap bait terdiri atas empat larik. Pada bait pertama, larik pertama yang berbunyi / Bagaimana kau merasa bangga / merupakan sebuah pertanyaan satir atau sindiran terhadap salah satu sifat manusia yang cenderung membanggakan apa yang dimilikinya. Jika manusia telah menggenggam sesuatu hal ia akan cenderung mempertahankannya, membanggakannya, dan menunjukkannya kepada orang lain. Kata bangga dalam larik tersebut menunjukkan eufemismus terhadap sikap angkuh, sombong, dan tamak dalam diri manusia. Hal itu tercermin dalam petikan ayat berikut.
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang yang musyrik. Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS, 2:96)

Apa yang dibanggakan oleh manusia, tercermin pada larik kedua yang berbunyi / Akan dunia yang sementara /. Ternyata apa yang menjadi kebanggaan manusia adalah dunia yang telah memberinya kenikmatan hidup. Jerat keindahan dunia telah membuat manusia terlena dan melupakan adanya kehidupan lainnya yang lebih utama, yaitu kehidupan di alam barzah dan alam akhirat. Padahal, dunia ini hanyalah tempat persinggahan manusia sebelum menuju kehidupan yang sesungguhnya. Adanya kehidupan setelah kematian tersebut terdapat dalam petikan ayat berikut.
“Dan kehidupan dunia ini tidak lain dari senda gurau dan permainan saja dan bahwa negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (QS, 29:64)

“[…] Kehidupan dunia ini hanya kesenangan sementara dan kahirat itulah negeri yang kekal.” (QS, 40:39)

Dari ayat tadi, dapat kita pahami bahwa umur dunia ini sangat pendek bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat kelak. Kealpaan manusia terhadap kehidupan paskakematian diperingatkan dalam larik ketiga dan keempat bait pertama yang berbunyi / Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi/ Meninggalkan dirimu /. Bunyi larik tersebut berupa pertanyaan yang tajam kepada kita tentang apa yang akan kita lakukan jika pada suatu saat kita ditinggalkan kebanggaan kita? Ingatkah kita siapa yang mengambil hal-hal yang menjadi kebanggaan kita? Manusia kerapkali melupakan semua yang kita banggakan akan kembali kepada Penciptanya.
Isi bait pertama menyambung pada bait ketiga. Larik pertama yang berbunyi / Dunia dipenuhi dengan hiasan / menyiratkan gambaran tentang hal-hal yang selalu dibanggakan dalam kehidupan manusia itu. Kata hiasan merupakan part pro toto terhadap apa saja yang selalu membuat manusia terlena dalam kehidupan duniawi, yaitu wanita, anak-anak, dan harta. Hal itu telah ditetapkan Allah swt dalam petikan ayat berikut.
“Manusia itu diberi perasaan berhasrat atau bernafsu, misalnya kepada perempuan, anak-anak, kekayaan yang melimpah-limpah, dari mas dan perak, kuda yang bagus, binatang ternak dan sawah lading; itulah kesenangan hidup di dunia. […]” (QS, 40:39)

Manusia telah dibekali kesenangan terhadap keindahan, terutama kepada perempuan, anak-anak, serta harta benda. Namun, semua itu tiada yang abadi. Gazalba (1984:195) mengatakan bahwa istri yang cantik pada suatu saat akan kehilangan kecantikannya. Anak-anak yang dibanggakan akan pergi meninggalkan kita atau, sebaliknya, kita yang meninggalkan mereka. Harta benda akan habis entah dibelanjakan atau diwariskan kepada orang lain. Saat kita mati benda-benda yang kita banggakan hanya akan menjadi saksi bisu di tempat kita bukan di dalam kubur kita. Semuanya akan habis dan kembali kepada Sang Pencipta, yaitu Allah swt. Hal itu tercermin dalam larik kedua dan ketiga pada bait ketiga yang berbunyi / Semua dan segala yang ada akan / Kembali pada-Nya /. Larik tersebut merupakan isi dari petikan ayat berikut ini.
“Kepada Allahlah kembalimu, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS, 11:4)

Istri yang cantik atau suami yang gagah lama kelamaan akan layu dan mati, harta akan habis dengan jalan apa pun, atau anak-anak yang kita banggakan akan pergi dari pelukan kita atau kita tinggalkan. Semua merupakan kehendak Illahi. Hanya Dia yang Mahapenentu.
Bait ketiga tersebut lebih tepat bila disambungkan dengan bait kedua. Setelah terlena dengan keindahan dunia, manusia dihadapkan dengan segala kejutan ketika saat ajal menjemput. Larik pertama dan kedua yang berbunyi / Bagaimanakah bila saatnya / Waktu terhenti tak kau sadari / merupakan pertanyaan yang kerapkali diabaikan oleh manusia. Dalam keterkejutan ketika bersua dengan sang pemutus kenikmatan dunia, manusia hanya dapat bersikap diam terpaku karena mereka merasa tidak siap untuk “berangkat” ke tujuan akhir itu. Keasyikan hidup di dunia membuatnya lupa akan momen transisi menuju tempat sebaik-baiknya tempat. Larik ketiga dan keempat pada bait yang sama berbunyi / Masihkah ada jalan bagimu untuk kembali / Mengulang ke masa lalu / merupakan pertanyaan satir terhadap manusia yang mati dalam keadaan merugi dan tanpa persiapan. Kaum yang demikian merasa sangat menyesal dan memohon untuk dikembalikan ke dalam kehidupan dunia untuk memperbaiki amal perbuatannya. Namun, pintu untuk kembali tidak pernah terbuka dan terkunci untuk selamanya.
Penyesalan manusia yang merugi itu digambarkan pada bait keempat berikut.
Bila waktu tlah memanggil
teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
teman sejati tinggallah sepi
Apa yang dibanggakan semasa hidup di dunia sama sekali tidak berarti dalam kehidupan di alam kubur. Manusia hanya berteman dengan amalannya dan kesepian yang tiada terhingga di alam barzah. Ajal digambarkan secara pleonasme atau berlebihan dengan frasa berikut, yaitu / Bila waktu tlah memanggil / dan / Bila waktu telah terhenti /.
Isi yang hampir sama juga terdapat dalam lirik Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo). Lirik tersebut berbunyi sebagai berikut.



Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo)
Lirik: Miftah Faridl

I
II
Hidup bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke masa yang lalu
Hidup bukan bulatan bola yang
Tiada ujung dan tiada pangkal

Tiga rahasia Illahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran,
kedua pernikahan, ketiga kematian


Hidup ini melangkah terus
Semakin mendekat ke titik terakhir
Setiap langkah hilangkan jatah
Menikmati hidup nikmati dunia

Reff:
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat
Menyebabkan mati

penuhi hidup dengan cinta
ingatkan diri saat untuk berpisah
tegakkan shalat 5 waktu
dan ingatkan diri saat dishalatkan

Reff:
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi jangan takut mati
Meski kau sembunyi dia menghampiri
Takutlah pada kehidupan setelah kematian
Renungkanlah itu

Kehidupan manusia bukan merupakan suatu siklus, terutama dalam pandangan agama Islam. Jika digambarkan, kehidupan manusia itu laksana sebuah garis lurus yang ditarik pada titik awal maupun titik akhir. Kehidupan manusia sejak di alam ruh, dilahirkan dan kembali ke hadirat Ilahi bukan merupakan gambaran sebuah siklus. Yang berawal dari tempat yang sama dan berakhir di tempat yang sama. Larik pertama yang berbunyi / Hidup bagaikan garis lurus / merupakan simile dan larik ketiga / Hidup bukan bulatan bola yang / merupakan metafora terhadap bentuk perjalanan kehidupan manusia itu.
Penjelasan tentang hal tadi terdapat dalam bait kedua. Larik pertama dan kedua yang berbunyi / Hidup ini melangkah terus / Semakin mendekat ke titik terakhir / menyiratkan bahwa semakin lama langkah manusia senantiasa menuju pada ajalnya. Yang membedakan adalah cepat-lambat atau panjang-pendeknya jarak dari titik awal kehidupan ke titik akhir. Semua terserah kepada kehendak Illahi. Jika selama ini tradisi perayaan ulang tahun dikenal istilah “panjang umur”, sudah seharusnya istilah itu diganti dengan “berkah umurnya” (Hidayat, 2005:4). Akan lebih baik lagi jika perayaan ulang tahun itu dijadikan sebagai momen untuk merenungkan perjalanan hidup dan penentuan untuk menetapkan langkah di masa depan. Hidayat dalam sumber yang sama mengatakan bahwa makna panjang umur pada manusia berusia 60-an dirasakan kurang pas. Pada fase tersebut, manusia senantiasa merasakan bahwa ia telah mendekati akhir hidupnya, seperti yang tergambar pada larik ketiga / Setiap langkah hilangkan jatah / dan / Menikmati hidup nikmati dunia /.
Hidayat (2005:118) mengatakan bahwa kematian kerapkali mengundang rasa takut pada diri manusia dan juga makhluk lainnya. Terutama pada manusia, rasa takut itu muncul karena ia enggan meninggalkan segala “perhiasan” dan keindahan dunia. Ia tidak siap menghadapi dan menjalani kehidupan baru yang serbamisterius itu. Namun, rasa takut itu harus dikubur jauh-jauh sementara kematian harus kita persiapkan sejak dini. Peringatan tentang datangnya kematian tersebut tercantum dalam bait ketiga berikut.
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu
Nabi Muhammad saw menegaskan kepada kaumnya agar tidak bersifat fobia terhadap kematian. Kematian mutlak adanya hanya soal kedatangannya saja yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Setiap makhluk hidup pasti akan merasakan kematian. Hal itu tercermin dalam petikan ayat berikut.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS, 21:35)

Meskipun menakutkan, kematian pun kerap dianggap sebagai “hoping land” atau tanah harapan sebagai ujung dari suatu permasalahan. Hal itu tercermin dalam larik pertama dan kedua bait keempat berikut.
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu

Bukan tidak mungkin manusia melakukan hal yang diluar akal untuk menuntaskan masalah yang dihadapinya, misalnya karena putus cinta, putus asa, dan lain-lain. Allah sangat melaknat perbuatan manusia yang menyebabkan mati, seperti membunuh atau bunuh diri. Eufemesmus pada larik ketiga dan keempat berikut ditujukan untuk aktivitas membunuh dan bunuh diri.
Dan janganlah kau berbuat
Menyebabkan mati
Selain kematian, manusia dihadapkan dengan dua hal lain yang senantiasa menjadi misteri dalam kehidupannya, yaitu perjodohan atau pernikahan dan kelahiran, seperti yang tercantum dalam bait kelima berikut.
Tiga rahasia Illahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran,
kedua pernikahan, ketiga kematian

Manusia tidak pernah mengetahui kapan ia akan dilahirkan dan siapa yang akan ia lahirkan. Manusia tidak akan mengenali jodohnya. Seringkali terjadi, pasangan yang telah melakukan approaching selama bertahun-tahun ternyata pada akhirnya bubar dan masing-masing menemukan jodohnya dalam tempo yang sangat cepat.
Bait keenam merupakan “usulan” atau advise kepada umat manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.
penuhi hidup dengan cinta
ingatkan diri saat untuk berpisah
tegakkan shalat 5 waktu
dan ingatkan diri saat dishalatkan

Bekal yang dapat ditabung oleh manusia adalah memenuhi hidup dengan “penuh cinta”. Istilah tadi meruapakan part pro toto terhadap cinta Illahi, cinta kepada sesama manusia, dan cinta kepada makhluk lainnya. Cinta yang terbaik adalah cinta karena Allah swt, yaitu cinta yang senantiasa didasari nilai-nilai ibadah. Ibadah yang utama bagi kaum Muslim adalah solat lima waktu. Jika ibadah itu tidak sempurna, rusaklah seluruh amalannya. Ibadah solat bukan hanya harus dilaksanakan melainkan “ditegakkan”, yaitu dengan menerapkan nilai-nilai solat ke dalam kehidupan sehari-hari. Lakukan ibadah solat dengan sungguh-sungguh seraya mengingat bahwa pada suatu saat solat kita akan terhenti, tepatnya saat ajal menjemput. Tibalah saat bagi kita untuk disalatkan orang lain.
Bait keenam merupakan repetisi utuh bait ketiga. Repetisi tersebut merupakan wujud stressing terhadap kepastian datangnya kematian dan misteri kedatangannya. Bait ketujuh menyiratkan bahwa kematian itu mutlak. Jika tiba waktunya, ia tidak akan pergi. Kemana pun kita berusaha bersembunyi, kematian pasti akan mendapatinya, seperti yang tercermin pada larik pertama dan kedua yang berbunyi / Pesan Nabi jangan takut mati / Meski kau sembunyi dia menghampiri /. Hal itu tercermin pula dalam petikan ketiga ayat berikut.
“[…] Kematian yang dari padanya kamu melarikan diri sesungguhnya akan menemui kamu, kemudian itu kamu dibawa kembali kepada Tuhan yang tahu hal yang gaib dan yang nyata.” (QS, 62:8)
“Kami telah menentukan kematian kepada kamu dan Kami tidak dapat dikalahkan.” (QS, 56:60)
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kukuh, […].” (QS, 21:35)

Pascakematian, manusia tidak akan habis masanya begitu saja. Namun, ia akan melalui kehidupan yang lain, yaitu di alam barzah dan alam akhirat, seperti yang diungkapkan dua larik terakhir yang berbunyi / Takutlah pada kehidupan setelah kematian / Renungkanlah itu /. Kata renungkanlah itu menyiratkan agar umat Islam tidak lagi berleha-leha dan terlena di dunia serta mulai bersiaga menabung amalan sebagai teman dan sahabat pascakehidupan di dunia.

2.2 Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Chrisye)
Lirik yang berjudul Ketika Tangan dan Kaki Bicara merupakan buah karya Taufik Ismail yang dinyanyikan oleh alm. Chrisye. Lirik ini ditulis berdasarkan isi ayat suci Al-Quran, yaitu QS Yaasiin ayat 65 berikut.
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS, 36:65)

Lirik ini menggambarkan kondisi manusia pada kehidupan pascakematian, terutama ketika mereka menghadapi hisab di pengadilan yang mahaadil itu. Pada saat itu, lidah dan mulut seolah terkunci rapat dan tidak mampu mengelak menangkis kesaksian anggota tubuh lain, tangan dan kaki, atas perbuatan selama di dunia. Hal itu terungkap di dalam kutipan berikut.
Akan datang hari Mulut dikunci Kata tak ada lgi Akan tiba masa Tak ada suara Dari mulut kita Berkata tangan kita Tentang apa yang dilakukannya Berkata kaki kita Kemana saja dia melangkahnya Tidak tahu kita Bila harinya Tanggung jawab, tiba...
Bait keempat merupakan petikan doa agar terhindar dari hal-hal yang dapat menjerumuskan kita pada akhirat nanti.
Rabbana Tangan kami Kaki kami Mulut kami Mata hati kami Luruskanlah Kukuhkanlah Di jalan cahaya Sempurna Mohon karunia Kepada kami HambaMu Yang hina

Hidayat (2005:161—162) mengatakan bahwa hidup di dunia ibarat rekreasi dan shopping. Dalam perjalanan kita dianjurkan untuk membeli barang-barang yang berguna, bukan sembarang barang yang hanya akan mempersulit jalan pulang kita. Hidup juga ibarat sebuah lemari pakaian yang kita isi dengan pakaian dan perhiasan yang indah dan layak pakai. Sementara itu, pakaian yang sudah usang dan tak layak pakai kita buang saja. Dengan demikian lemari kita akan selalu terlihat rapih dan bersih. Bahkan, Rasulullah pernah bersabda bahwa kehidupan ini ibarat masa tanam yang hasil panennya baru akan kita nikmati kelak pada kehidupan pascakematian.
Segala aktivitas kita akan terekam kuat di dalam sebuah disket berupa ruh. Rekaman data itulah yang kelak akan diolah di pengadilan akhirat nanti. Disket itu pula yang akan menjadi sahabat atau, sebaliknya, menjadi bumerang bagi pemiliknya. Semua bergantung pada amal perbuatan pemiliknya selama hidup di dunia.
Wahai kematian, selamat datang! Selamat menjemput kami dan kami akan menerima kedatanganmu dengan lapang dada. Jangan butakan mata dan hati kami terhadap kilaunya perhiasan dunia dan melupakan pembelian perhiasan akhirat. Wanita cantik, lelaki gagah, anak-anak yang lucu, dan harta yang melimpah bukan merupakan malaikat pelindung bagi pemiliknya di akhirat. Sahabat dan pelindung manusia di alam akhirat hanyalah amal perbuatannya.

3. Simpulan
Dunia dan kehidupan di dalamnya laksana kilauan perhiasan yang mampu menjerat manusia untuk merebutnya. Dunia dan perhiasannya itu laksana semilir harumnya hidangan kelas atas yang mendorong manusia untuk selalu lapar lahir dan batin untuk mencicipinya. Kehidupan di dunia tidak ubahnya seperi rekreasi ke tempat wisata. Kita selalu terdorong untuk memborong oleh-oleh yang ada di tempat itu. Kehidupan itu laksana sebuah almari yang penuh dengan jejalan pakaian dan aksesoris.
Namun, tempat rekreasi itu bukanlah tempat tinggal yang abadi. Tempat itu hanyalah persinggahan untuk melepas lelah. Lemari bukan tempat baju dan aksesori yang permanent. Baju dan perhiasan yang sudah tidak layak pakai tentu harus dikeluarkan dari tempat itu. Kehidupan di dunia bukanlah surga abadi, tetapi ada yang kehidupan lain yang lebih abadi, yaitu kehidupan pascakematian.
Kehidupan pascakematian memerlukan bekal yang sangat banyak dan akurat agar kita tidak tersesat di sana. Sedini mungkin kita harus bersosialisasi dengan sahabat yang akan mengangkat kita ke tempat yang mulia, yaitu amal perbuatan.
Sebagai sarana dakwah yang santun dan tidak menggurui, lagu religius dapat dijadikan sebagai acuan untuk bertakwa. Tiga lagu berikut berisi ajakan untuk merenungkan apa yang akan kita persiapkan dan kita perbuat dalam menyambut datangnya kematian (Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick) dan Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo)) dan kehidupan pascakematian (Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Chrisye)). Lirik tersebut biasanya ditulis berdasarkan petikan ayat suci atau sabda Nabi Muhammad saw yang relevan.

4. Daftar Pustaka
Baiquni, N.A. 1996. Indeks Al-Qur’an: Cara Mencari Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Arkola.
Depag RI. 2000. Al-‘Aliyy: Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Gazalba, Sidi. 1984. Maut Batas Kebudayaan dan Agama. Jakarta: PT Tintamas Indonesia.
Hidayat, Komaruddin. 2005. Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Bandung: Penerbit Hikmah.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


5. Pustaka Sumber
Bimbo. “Hidup dan Pesan Nabi” dalam album Shalawat. Jakarta: PT. Musica Studio.
Chrisye. “Ketika Tangan dan Kaki Bicara” dalam album Kala Cinta Menggoda. Jakarta: PT. Musica Studio.
Opick. “Bila Waktu Tlah Memanggil” dalam album Opick Istighfar. Jakarta: PT. Musica Studio.

6. Lampiran
Bila Waktu Tlah Memanggil (Opick)

Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi
Meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu untuk kembali
Mengulang ke masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yang ada akan
Kembali pada-Nya

Bila waktu tlah memanggil
teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
teman sejati tinggallah sepi

Hidup dan Pesan Nabi (Bimbo)
Lirik: Miftah Faridl

Hidup bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke masa yang lalu
Hidup bukan bulatan bola yang
Tiada ujung dan tiada pangkal

Hidup ini melangkah terus
Semakin mendekat ke titik terakhir
Setiap langkah hilangkan jatah
Menikmati hidup nikmati dunia

Reff:
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat
Menyebabkan mati

Tiga rahasia Illahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran,
kedua pernikahan, ketiga kematian

Penuhi hidup dengan cinta
ingatkan diri saat untuk berpisah
tegakkan shalat 5 waktu
dan ingatkan diri saat dishalatkan

Reff:
Pesan Nabi tentang mati
Janganlah takut mati
Karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi jangan takut mati
Meski kau sembunyi dia menghampiri
Takutlah pada kehidupan setelah kematian
Renungkanlah itu

Ketika Tangan dan Kaki Bicara (Bimbo)
Lirik: Taufik Ismail


Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab, tiba...
Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya
Sempurna
Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu Yang hina

PEMERKOSAAN DALAM KARYA SASTRA INDONESIA


Resti Nurfaidah

1. Pendahuluan
Pemerkosaan merupakan salah satu bagian dari beberapa tindakan perilaku penyimpangan psikoseksual. Hal itu semakin sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Terlebih, aneka tayangan di televisi maupun berita di beberapa media cetak pun seolah “menggembar-gemborkan” peristiwa tersebut. Pemerkosaan seolah menjadi hal yang lumrah dan/atau mulai sudah diterima sebagai habitual action dalam kehidupan sehari-hari. Semakin longgarnya pengawasan sosial dalam masyarakat kita seolah-olah turut “mengundang” kehadiran pemerkosaan itu setiap saat. Lingkungan sosial seolah-olah menelan mentah-mentah hal itu. Padahal, akibat dari peristiwa itu dapat merugikan lingkungan tersebut karena salah satu anggota habitat sosial itu (perempuan) akan dirugikan dan tersudut.
Kasus pemerkosaan banyak terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang dijadikan sebagai “legenda”, seperti kasus “Sum Kuning” dan “Karmila”. Kedua legenda tersebut kemudian diangkat ke layar lebar. Bahkan, “Karmila” diputar berulang-ulang dan pernah dibuat dalam versi drama serial di televisi.
Peristiwa pemerkosaan tersebut, selain hadir di dalam tayangan dan berita dalam media massa, juga hadir di dalam sejumlah karya sastra, terutama karya sastra Indonesia. Melalui karyanya, para pengarang ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa peristiwa pemerkosaan dapat menimpa siapa saja, kapan saja, dan dalam kondisi sosial apa saja. Selain itu, mereka juga ingin memberikan gambaran tentang sebab dan akibat yang berkaitan dengan peristiwa yang mengerikan bagi seorang perempuan itu.
2. Pemerkosaan dan Tinjauan Aspek Psikologis tentang Pemerkosaan
Sadarjoen (2005:14) mengemukakan bahwa pemerkosaan pada dasarnya merupakan perilaku seksual yang memiliki objek seksual yang normal (laki-laki dan perempuan). Namun, relasi seksual yang terjalin dalam pemerkosaan berada dalam kondisi antisosial karena terjadi atas dasar paksaan yang mengandung unsur agresivitas dari orang yang memiliki kepribadian yang diliputi dengan kebencian. Penyebab terjadinya kasus pemerkosaan, menurut pendapat Sadarjoen, adalah kegagalan dalam perkembangan nilai-nilai moral yang kokoh dan rendahnya control dalam dorongan seksual dan dorongan kebencian.
Kasus pemerkosaan sangat berbeda dengan kasus penyimpangan psikoseksual lainnya, seperti homoseksual, transeksual, dan inses yang memiliki ciri khas masing-masing. Kasus homoseksual dan transeksual cenderung melibatkan orang-orang di luar ikatan keluarga. Kasus inses yang hanya melibatkan orang-orang yang berada di dalam ruang lingkup kekeluargaan. Sementara itu, kasus pemerkosaan memiliki ciri yang unik karena dapat terjadi baik antarindividu yang berasal dari satu ikatan keluarga maupun antarindividu maupun dari luar ikatan keluarga. Dengan kata lain, pemerkosaan dapat terjadi pada siapa saja.
Pencetus kasus tersebut sangat variatif, antara lain, karena ambisi tertentu, pengaruh alkohol atau narkoba. Selain itu, pemerkosaan juga sangat beragam. Davison (2001:398) mengemukakan beberapa jenis kasus pemerkosaan, antara lain (1) pemerkosaan terencana (seperti kasus yang menimpa Sukreni), (2) pemerkosaan yang terjadi di bawah pengaruh racun tertentu (alkohol atau narkoba)—seperti yang dialami oleh Karmila, dan (3) pemerkosaan yang terjadi karena keinginan tertentu (misalnya, ingin menguasai atau menindas korban, seperti yang menimpa Made Jepun).
Para pelaku pemerkosaan sebagian besar selalu memiliki elemen yang tidak terduga dan senjata yang mereka gunakan untuk mengintimidasi dan memaksa (Davison, 2001:399). Sementara itu, korban pemerkosaan selalu berdalih bahwa dirinya dipaksa dan diancam oleh si pelaku. Pascapemerkosaan itu mereka akan dihantui oleh beberapa hal, di antaranya (1) perasaan menyesal karena tidak mampu berupaya keras menghindar dari si pelaku, (2) menaruh rasa dendam, (3) tanpa disadari mengembangkan sikap negatif terhadap seks, (4) mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan suami atau kekasihnya, dan (5) mengalami gangguan jiwa (Davison, 2001:399).
Korban pemerkosaan biasanya mengalami kesulitan dalam menuntaskan penyelesaian kasus yang menimpanya karena berbagai hal, di antaranya, (1) sikap masyarakat yang individualis, (2) jalur birokrasi yang rumit, dan (3) ketidaktahuan. Hingga saat ini bukan tidak mungkin banyak kasus pemerkosaan yang terputus di tengah jalan karena hal-hal tersebut.

3. Pemerkosaan dalam Karya Sastra Dunia
Kasus pemerkosaan telah lama diangkat sebagai tema dalam sebuah karya sastra, di antaranya, dalam (1) Mitologi Yunani (perilaku Mahadewa Zeus terhadap beberapa wanita), (2) Mahabarata (beberapa peristiwa perkosaan terhadap wanita-wanita dalam karya tersebut), (3) Sukreni Gadis Bali (Sukreni), dan (4) Karmila (dr. Karmila) hingga Adam dan Hawa (Maia).
Dalam Puspasari Mitologi Yunani dikisahkan bahwa mahadewa Zeus sering digambarkan selain sebagai dewa yang mahaagung juga sebagai dewa asmara yang selalu berupaya untuk mengingkari istrinya, Hera. Ia berselingkuh dengan segenap wanita jelita di permukaan bumi. Ia selalu merasa puas dengan apa yang ia lakukan, baik terhadap istrinya maupun “korban-korbannya” itu. Padahal, Hera tidak segan-segan berbuat kejam terhadap korban nafsu sang suami. Sementara itu, tidak sedikit wanita yang “dimangsa” oleh Zeus mengalami penderitaan yang berkepanjangan.
Dalam Wechsler (1976: 24—25) perilaku gila seks Zeus terhadap Callisto terungkap dalam kutipan berikut.
Diciumnya bidadari itu, namun tidaklah dengan cara yang santun. Berahinya bangkit dan gadis pemburu yang malang itu membela diri dengan sekuat tenaga. […] Setelah melampiaskan maksudnya, Zeus kembali lagi ke tempat kediamannya di Olympus, sedangkan Callisto dalam keadaan risau dan cemas mengembara di hutan belantara seraya memendam rasa malu.

Akibat perbuatan suaminya itu, Hera menaruh dendam kepada Callisto. Ketika wanita malang itu telah melahirkan seorang anak lelaki yang bernama Arces, Hera mengubah wanita tersebut menjadi seekor beruang. Selain Callisto masih ada wanita lain yang mengalami nasib serupa, di antaranya, Io, putri Inachus si dewa sungai, dan Danae, putri Raja Argos, Acrisius. Sementara itu, salah seorang wanita yang “agak beruntung” adalah Europa, putri Raja Sidon yang dinikahi Zeus di Pulau Kreta.
Dalam kisah Mahabarata terdapat adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh Abyasa terhadap dua kakak beradik Ambika dan Ambalika. Semula Ambika dan Ambalika dinikahkan pada adik tiri Abyasa, Wicitrawirya (putra Satyawati dan Santanu, Raja Hastinapura). Namun, Wicitrawirya harus menemui ajalnya tujuh tahun kemudian tanpa meninggalkan seorang pewaris tahta kepada kedua istrinya itu. Sang ibu, Satyawati, merasa khawatir terhadap kelangsungan kerajaan Hastinapura. Ia lalu mengharapkan kehadiran anak sulungnya, Abyasa, untuk mendatanginya. Dalam sekejap Abyasa pun muncul di hadapan sang ibu. Wanita itu meminta Abyasa untuk menyetubuhi kedua bersaudara itu agar dapat menjaga kelangsungan kerajaan Hastinapura. Abyasa pun mematuhi kehendak sang ibu. Namun, ia mengajukan syarat bahwa akan muncul di hadapan kedua wanita itu dalam keadaan yang sangat buruk. Ia menjelma menjadi seorang pertapa kudisan. Abyasa mendatangi Ambika. Wanita itu terkejut dan merasakan ketakutan yang luar biasa melihat penampilan lelaki yang sangat buruk dan menjijikkan itu. Matanya dipejamkan selama berdampingan dengan lelaki itu. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.
Abyasa masuk tatkala lampu sedang menyala terang. Terkejut oleh wajahnya yang menyeramkan, rambutnya yang seperti tembaga kusam, matanya yang berwarna kebiru-biruan dan jenggotnya yang hitam, ia memejamkan matanya. Meskipun Abyasa berbaring di sampingnya dan bersanggama dengan Ambika, ia tak pernah membukakan matanya barang sekali. (Lal, P., 1992:27)

Akibat perilaku Ambika tersebut, Abyasa mengatakan bahwa anak yang akan dilahirkan wanita itu tidak dapat melihat seumur hidupnya. Satyawati tentu merasa sangat kecewa dengan kenyataan yang akan ia hadapi itu. Ia menginginkan calon pewaris kerajaan yang fisiknya sempurna. Abyasa pun mengabulkan keinginan sang ibu untuk mendatangi Ambalika. Ambalika juga mengalami hal yang sama ketika harus mendampingi lelaki yang menjijikkan itu. Karena didera rasa takut yang tiada terhingga, kulit Ambalika pun memucat. Akibatnya, anak yang akan dilahirkan wanita itu kelak akan dikenal dengan nama Pandu atau si Pucat. Satyawati kembali menelan rasa kecewa. Ia meminta Abyasa untuk kembali mendatangi Ambika. Lelaki itu menurut. Namun, Ambika tidak mau mengulangi peristiwa mengerikan itu untuk yang kedua kalinya. Ia mendandani salah seorang pelayannya dengan pakaian dan perhiasan mewah miliknya. Ternyata, pelayan itu sangat menaruh hormat kepada Abyasa yang menjelma seperti seorang gembel. Ia melayani Abyasa dengan sepenuh hati. Abyasa pun menyampaikan penipuan yang dilakukan Ambika sekaligus kabar gembira bahwa anak yang dilahirkan itu kelak akan menjadi manusia yang baik budi dan arif bijaksana yang bernama Widura. Sementara itu, pelayan itu dibebaskan.

3. Pemerkosaan dalam Karya Sastra Indonesia
Seperti penulis ungkapkan sebelumnya bahwa pemerkosaan telah lama diangkat sebagai bahan inspirasi para pengarang ke dalam karya sastranya, termasuk karya sastra dunia (Mitologi Yunani atau Mahabarata). Selain di dalam karya sastra dunia, tema serupa juga banyak diangkat ke dalam karya sastra Indonesia, di antaranya, novel Karmila (Marga T.), Sukreni Gadis Bali (A.A. Panji Tisna), Adam dan Hawa (Muchidin M. Dahlan), dan cerpen Made Jepun (Putu Oka Sukanta).
Karmila bercerita tentang malapetaka yang menimpa seorang mahasiswi kedokteran yang terbilang “polos” dalam sebuah pesta “gila”. Ia dinodai oleh seorang lelaki pemabuk produk broken home yang bernama Faisal Gurong. Peristiwa pemerkosaan tersebut tidak diceritakan secara gamblang oleh si pengarang, tetapi siksaan pascapulihnya kesadaran tokoh Karmila yang diungkapkan secara terperinci. Kondisi Karmila yang mengalami kepanikan luar biasa ketika mendapati seseorang yang tidak dikenalnya berbaring bersamanya di sebuah kamar yang gelap gulita. Selain itu, gadis itu juga menerima perlakuan keji yang bertubi-tubi yang diterimanya dari lelaki yang pada saat itu sedang dikuasai pengaruh minuman keras dan obat terlarang itu terungkap dalam kutipan berikut.

Ada orang di kamarnya. Karmila berdiri kaku di samping tempat tidur.
Ada orang. Ada suara napas orang yang menderu-deru seperti habis berlari. Ditahannya napasnya. Didengarnya dengan berdebar-debar. Betul. Rasanya suara itu amat dekat dengan dia. Tiba-tiba Karmila menjadi takut dan menjerit. Sebuah tangan yang besar, melayang turun dan menutup mulutnya. Karmila menendang dan mencubit dan menampar. Tapi orang itu dengan mudah berhasil pula mengikat kedua belah tangannya. (Marga T., 1990:22)

Peristiwa tersebut telah menghancurkan angan-angan Karmila untuk dapat melanjutkan impiannya menjadi seorang dokter dan seorang istri ideal bagi kekasihnya, Edo, yang sedang menempuh studi di Australia. Karmila terpaksa mengubur keinginannya untuk menikah dengan lelaki idamannya. Ia bersanding dengan lelaki bejat yang telah menodainya, Faisal. Benih yang ditanamkan oleh lelaki bejat itu membuahkan janin di dalam rahimnya. Rasa benci dan cinta berkecamuk di dalam diri Karmila. Ia sangat membenci lelaki itu dan janin yang ada di dalam kandungannya. Namun, ia tidak kuasa mengenyahkan bakal anaknya itu.
Dengan tertatih-tatih Karmila berusaha bangkit dari keterpurukan itu. Namun, ia tidak mampu mengusir rasa benci kepada lelaki itu dan melampiaskan hal itu kepada anaknya. Padahal, Faisal telah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami dan ayah yang baik bagi keluarganya. Ia menyadari bahwa Edo masih setia menantinya di Benua Kangguru itu. Ia bertekad untuk melanjutkan studinya di benua itu dan meninggalkan masa kelamnya, termasuk keluarganya. Namun, Karmila tetap seorang ibu yang sarat nurani keibuannya. Menjelang keberangkatannya, kondisi sang anak anfal hingga memaksa Karmila bernazar untuk mengurungkan niatnya itu demi kesembuhan sang anak. Setelah itu, Karmila berupaya untuk menerima kehadiran Faisal dan Fani, anaknya, dalam kehidupannya. Beban di dalam rumah tangga Karmila dan Faisal seakan terangkat ketika menerima sepucuk undangan dari Edo yang menikah dengan seorang gadis asal Benua Kangguru.
Selain dalam Karmila, tema serupa juga diangkat dalam Sukreni Gadis Bali karya A.A. Panji Tisna. Peristiwa tersebut menimpa seorang gadis lugu yang bernama Ni Luh Sukreni yang terperangkap ke dalam jebakan Men Negara, seorang wanita pemilik kedai yang ambisius. Wanita jahat itu telah disuap oleh salah seorang pejabat kepolisian yang bernama I Gusti Made Tusan. Lelaki itu sangat tergila-gila kepada Sukreni hingga melakukan segala cara untuk mendapatkan bidadari yang sangat lugu itu. Seperti dalam Karmila, peristiwa pemerkosaan tersebut tidak diungkapkan secara gamblang, tetapi tergambar dalam kata-kata polisi bejat itu pada kutipan berikut.

“Aku hendak masuk ke tempat tidur Ni Luh Sukreni malam ini. Tak tahan aku melihat mukanya yang cantik itu. Suruh tinggalkan dia tidur seorang saja kepada Ni Negari. Besok jika selamat, aku beri engkau hadiah.” (Tisna, 1990:60)

I Gusti Made Tusan sebenarnya telah berniat memperistri anak Men Negara yang lain, yaitu Ni Negari. Namun, demi mendapatkan suapan harta yang banyak, Men Negara yang sejak awal bukan merupakan ibu dan istri yang baik rela menyerahkan anaknya yang lain, Ni Luh Sukreni, kepada pejabat polisi yang bejat itu. Sebenarnya, Ni Luh Sukreni merupakan nama lain Ni Widi, anak pertama Men Negara dari suami pertama. Sejak dini Men Negara telah mengenal betul sifat-sifat buruk I Gusti Made Tusan itu. Oleh karena itu, ia pun mengatur strategi untuk memeras gaji pejabat polisi itu dengan mengorbankan Ni Negari. Men Negara bukan wanita bodoh, melainkan wanita cerdas dan ambisius. Meskipun merelakan Ni Negari, ia berhasil mengulur-ulur waktu pernikahan pejabat polisi yang sudah beranak pinak itu dengan putrinya.
Ni Luh Sukreni harus menanggung beban mental yang sangat berat setelah mengalami peristiwa yang paling mengerikan dalam hidupnya. Sama halnya dengan Karmila, Sukreni juga sebenarnya telah memiliki seorang kekasih, yaitu I Gede Suamba. Semula ia akan dipersunting oleh kekasihnya itu setelah upacara pengabenan kakeknya di Karangasem. Namun, peristiwa itu telah meluluhlantakkan impian kedua sejoli tersebut. Sementara itu, untuk menutupi aib Sukreni terpaksa mengganti namanya menjadi Ni Made Sari. Ia bekerja di luar kampungnya agar tidak terlihat, baik oleh ayahnya maupun teman-temannya. Ia bekerja di rumah seorang kepala sekolah sebagai pembantu rumah tangga. Namun, di tempat itu nasib Sukreni tidak juga membaik.
Peristiwa pemerkosaan itu semakin berbuntut panjang ketika Sukreni terpaksa mengandung janin di dalam rahimnya. Ia melahirkan anak hasil pemerkosaan itu di rumah salah seorang teman ayahnya yang bernama Pan Gumirang.
Kehadiran anak tersebut, I Gustam, di dalam kehidupan Sukreni bukan sebagai pelipur lara atas rentetan panjang duka sang ibunda, melainkan sebagai penambah derita dirinya. I Gustam mewaris sifat buruk ayahnya. Perilakunya sangat brutal. Ia tidak segan-segan melakukan tindak kejahatan, baik kepada orang lain maupun kepada ibunya sendiri. Penjara menjadi tempat yang akrab dalam sejarah kehidupannya.
Sukreni Gadis Bali berakhir pada kematian Sukreni dalam kehampaan yang panjang serta ayah dan anak dalam sebuah pertikaian. Kematian Sukreni yang malang itu terungkap dalam kutipan berikut.
Sementara I Gustam dalam penjara itu Ni Luh Sukeni pulang ke Manggis. Beberapa lamanya ia tinggal dengan bapaknya, ia pun meninggalkan dunia yang fana ini karena penyakit, disebabkan makan hati berulam jantung dengan tiada berkeputusan. (Tisna, 1990:87)

Sementara itu, kematian tragis antara ayah (I Gusti Made Tusan) dan anak (I Gustam) terjadi dalam sebuah peristiwa perampokan oleh sekomplotan kawanan perampok ternama yang dipimpin oleh I Gustam terhadap Men Negara. Pada saat yang sama I Gusti Made Tusan dan anak buahnya sedang meronda di daerah itu. Pejabat kepolisian beserta anak buahnya turun tangan mengamankan warung Men Negara dari aksi perampokan. Pertempuran sengit antara dua kubu pun tidak dapat terelakan lagi. Dua orang pimpinan, I Gusti Made Tusan dan I Gustam, pun akhirnya saling membunuh. Kematian tragis ayah dan anak itu terungkap dalam kutipan berikut.
I Gusti Made Tusan tercengang, lalu menunduk memandangi anaknya yang terbaring di bawah kakinya.
Ketika itu baru terasa olehnya, bahwa ia pun luka parah…
Rupanya kepalanya kena diparang I Gustam sebelum lehernya putus. Pemandangan I Gusti Made Tusan kabur, dialiri oleh darah, dan hatinya pun terharu mendengar seru I Made Aseman itu. Ayahnya, --ia pun berusaha jua hendak mendekati muka anak itu tetapi ia telah pening, terhuyung-huyung, lalu rebah di sisi mayat I Gustam. Komandan tentara datang ke dekatnya, lalu diangkatnya kedua mayat itu ke pinggir jalan. (Tisna, 1990:87)

Selain di dalam Karmila dan Sukreni Gadis Bali, kasus perkosaan juga terungkap dalam salah satu cerpen karya Sukanta dalam kumpulan cerpen Rindu Terluka. Cerpen yang berjudul Made Jepun tersebut berkisah tentang peristiwa pemerkosaan yang menimpa seorang gadis muda, penari Bali, yang dituduh sebagai antek Gerwani. Gadis itu berupaya menolak keras tuduhan yang dilontarkan oleh salah seorang pegawai sipil Polri yang bernama I Blanar. Ia bersikeras bahwa menari dalam suatu acara tertentu karena diundang oleh penyelenggara, bukan sebagai pendukung organisasi terlarang itu. I Blanar pun bersikeras dengan tuduhannya dan memaksa gadis itu untuk bersumpah di hadapan Jero Gede (pemimpin keagamaan di Bali atau di salah satu tempat sembahyang di pekarangan rumah). Ketika gadis itu sedang bersimpuh di tempat itu, I Blanar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melakukan perbuatan biadab itu kepada Made Jepun, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.

Made Jepun keluar diiringi oleh lelaki itu, menuju Jero Gede di pekarangan belakang rumahnya, di dekat pohon mangga. Ketika Made Jepun sedang bersimpuh di hadapan Jero Gede mengucapkan sumpahnya, tiba-tiba lelaki itu merangkul dari belakang dan menelentangkannya. Ronta dan tangis menambah kobaran birahi lelaki itu. “Akan kuselamatkan kamu asal ….” Ucapannya terputus disambung desah nafas tak teratur. Made Jepun tetap meronta sampai akhirnya tidak berdaya. Dan kemudian Made Jepun terkoyak, darah mengalir dari lubang sucinya. Dengan sisa tenaga, ia lari ke kamarnya, setelah lelaki itu menghilang. (Sukanta, 2004:18)

Peristiwa tragis itu telah menghancurkan masa depan Made Jepun serta menggoncangkan kejiwaannya hingga akhir hayatnya. Nasib pelaku tindak kriminal tersebut, I Blanar, juga tidak kalah miris. Ia menderita gangguan jiwa dan dirawat di rumah sakit jiwa di Kabupaten Bangli. Bertepatan dengan hari penguburan jenazah Made Jepun, I Blanar melarikan diri dari rumah sakit. Namun, nyawanya terampas sebuah truk sampah di sebuah tikungan.
Kasus perkosaan dalam novel Adam dan Hawa karya Muhidin M. Dahlan menimpa tokoh Maia yang merupakan wanita pertama sebelum terciptanya Hawa, pasangan Adam di Surga. Novel yang mengambil latar masa penciptaan Adam di surga itu mengisahkan penderitaan seorang Maia, wanita yang cantik dan penuh gelora, yang merasa telah dilecehkan oleh “suaminya”, Adam. Ia dipaksa tinggal di dalam sebuah rumah milik Adam dan menjadi pemuas nafsu lelaki perdana itu. Maia merasa tersiksa karena tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang dari lelaki yang senantiasa menggunakan tubuhnya hampir tiada henti itu. Ia tidak pernah merasakan udara kebebasan. Laksana korban sebuah aksi penculikan, Maia disekap dan tidak pernah diperkenalkan dengan lingkungan sekitar. Maia merasa dirinya hanya diperlakukan sebagai budak seks lelaki “pejantan tangguh” itu. Hal itu terungkap dalam kutipan kata-kata Maia berikut.
“Kau tahu Adam, siang malam tak berjumlah, aku tiada lain tak pernah merasa mendapatkan cinta. Aku jadi sandera yang tak boleh melihat dan disentuh oleh matahari. Bukankah itu kehidupan yang terkutuk?
“Aku tak mengerti, Maia. Apa yang kau maksud dengan tak dapat cinta?”
“Kau memang tak akan pernah mengerti. Oh, ternyata di siang malam tak berbilang itu aku telah diperkosa lelaki bodoh.” (Dahlan, 2005:48)

Tekanan batin yang menderanya itu menimbulkan dendam di dalam kalbu sang bidadari. Dendam itu lama kelamaan semakin tertancap kuat di dalam jiwanya. Batin Maia bergejolak. Ia memberontak kepada Adam. Adam murka luar biasa. Maia yang sudah tidak tahan akhirnya melarikan diri. Pelariannya berakhir di rumah “adik iparnya” Idris. Idris tidak lain adalah adik Adam sendiri. Bersama Idris Maia seakan sedang menjadi ratu di istana batu. Idris senantiasa memenuhi setiap “keinginan” Maia.
Hubungan mereka membuahkan seorang anak perempuan yang bernama Marfu’ah. Sejak kecil Maia mendidik anaknya untuk menjadi pembalas dendamnya. Untuk itu, ia tidak segan-segan menyingkirkan Idris dari rumah itu. Setelah itu, status Idris tidak ubahnya seperti upik abu demi memenuhi kebutuhan sang majikan. Bahkan, Idris harus rela kehilangan kejantanannya ketika dikebiri oleh Maia.
Perjuangan Maia pun berhasil. Marfu’ah tumbuh menjadi bidadari jelita yang siap menghunuskan pisau tajam di balik keindahannya itu. Namun, kekejamannya itu hanya berlaku untuk seorang lelaki bernama Adam. Sebelum hari eksekusi sang Adam, Marfu’ah sempat dinikahkan dengan Khabil, putra Adam dan Hawa yang sempat berhubungan intim dengan Maia. Marfu’ah dilarang berhubungan badan dengan suaminya selama 15 hari pertama perkawinannya. Tepat pada hari ke-15, Marfu’ah melaksanakan hari eksekusi bagi sang Adam. Dirayunya sang Adam yang tidak mengenali keponakannya sendiri. Adam pun terhanyut dan tergoda oleh bidadari muda itu. Di tengah percintaan mereka, tanpa diketahui sang Adam, Marfu’ah menghunuskan sebilah batu tajam ke dada sang pejantan hingga isi tubuhnya terburai melalui sebuah luka yang menganga berlumur darah. Adam mati di tangan keponakannya sendiri.

4. Tinjauan Psikologis Korban Pemerkosaan dalam Karya Sastra

Seperti yang telah penulis uraikan dalam butir 3, pemerkosaan menimpa pada beberapa tokoh wanita dalam novel dan cerpen. Berdasarkan paparan teori psikologi pada butir 2, kasus pemerkosaan yang menimpa tokoh wanita dalam sumber data tersebut terjadi dengan beragam. Dalam Karmila pemerkosaan terjadi di bawah pengaruh alkohol, dalam Adam dan Hawa, Made Jepun, serta Sukreni Gadis Bali pemerkosaan terjadi secara terencana demi satu tujuan tertentu.
Faisal Gurong, sang pelaku, merupakan putra seorang saudagar kaya yang luput dari pengawasan kedua orang tuanya. Ia melampiaskan kekecewaannya itu pada hal yang buruk, di antaranya, pesta-pesta dan mabuk-mabukkan. Di bawah pengaruh minuman keras dalam sebuah pesta “gila” Faisal menodai Karmila, kandidat dokter. Selain dinodai, Karmila juga menerima siksaan fisik dari Faisal secara bertubi-tubi. Peristiwa tersebut menorehkan trauma dalam diri Karmila. Bahkan, peristiwa itu membuahkan janin dalam tubuhnya. Sebagai seorang korban pemerkosaan, ia sangat membenci lelaki yang telah menghancurkan hidupnya dan janin yang ada di dalam perutnya. Namun, sebagai seorang calon ibu, ia tidak terhanyut godaan untuk menyingkirkan bayi yang ada di dalam rahimnya. Berkali-kali ia menolak Faisal yang terpaksa menjadi pendamping hidupnya dan penghapus impiannya untuk menikah dengan pria idamannya, Edo. Berkali-kali pula ia menolak Fany, anaknya, karena anak itu dianggapnya sebagai penghalang dalam meraih impiannya untuk menjadi seorang dokter dan untuk melanjutkan pendidikan di Australia. Namun, naluri kewanitaan dan keibuan jualah yang berhasil mengikat kedua kaki dan hati Karmila untuk kembali pada keluarganya.
Dalam Sukreni Gadis Bali pemerkosaan tersebut merupakan buah konspirasi antara Men Negara yang ambisius dan mata duitan dengan I Gusti Made Tusan yang mata keranjang. Polisi bejat itu memutuskan untuk menunda pernikahannya dengan Ni Negari, anak Men Negara, karena telah kepincut dengan kecantikan Ni Luh Sukreni.
Seperti yang dialami oleh Karmila, Sukreni juga harus menanggung malu dan trauma pascapemerkosaan. Ia juga terpaksa menerima kehadiran janin hasil pemerkosaan dalam perutnya. Derita pascapemerkosaan itu berbuntut panjang ketika Sukreni yang lemah harus menerima kenyataan bahwa ia tidak mampu membesarkan buah hatinya yang buruk perangainya itu. Bahkan, sang anak diangkat sebagai pimpinan komplotan perampok paling disegani di Buleleng. Sukreni mati dalam kehampaan.
Dalam Adam dan Hawa pemerkosaan yang dilakukan Adam pada Maia membuahkan perubahan perilaku Maia. Ia berubah menjadi wanita pendendam yang senantiasa menanti saat yang tepat untuk memuaskan dendamnya. Meskipun pada awalnya merasa kecewa, Maia tidak membiarkan anaknya tumbuh tanpa tujuan. Ia jadikan sang anak untuk menjadi senjata pembalas dendamnya pada Adam.
Made Jepun harus mengalami guncangan jiwa yang dahsyat pascapemerkosaan. Ia dituding sebagai salah satu pendukung partai terlarang di negeri ini karena tampil sebagai dalam acara yang didukung partai tersebut. Padahal, Made Jepun sama sekali tidak mengetahui hal itu. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai penari dalam sebuah acara tersebut. Ketika diinterogasi oleh si pelaku, ia tetap menolak. Tiba-tiba si pelaku menodai gadis lugu itu dengan tujuan untuk melemahkannya. Pelaku pemerkosaan tidak lain adalah orang yang telah akrab dengan keluarganya, mantri polisi yang bernama I Blanar.
Gangguan kejiwaan yang menimpa Made Jepun tidak dapat dipulihkan. Selain itu, pemerkosaan itu telah membuatnya menderita penyakit kelamin yang sangat parah sehingga harus mendapatkan terapi yang berkepanjangan. Sementara itu, I Blanar lama kelamaan juga didera gangguan jiwa berkepanjangan, seperti Made Jepun.
Dari ulasan tersebut, penulis dapat menggambarkan bahwa peristiwa pemerkosaan itu akan menorehkan luka dan trauma yang tidak ringan di dalam kehidupan seorang wanita. Peristiwa itu merupakan pengubur sadis impian sang bidadari untuk bersanding dengan pangeran idamannya. Peristiwa itu juga dapat memicu seorang wanita yang semula lembut hati dan penuh cinta berbalik menjadi penjahat elit berotak cerdas, seperti Maia. Penyekapan dan pemerkosaan yang sekian lama dialaminya telah mengubah pandangannya terhadap kaum lelaki dan seks. Ia memandang lelaki sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang egois dan pengumbar nafsu syahwat murahan belaka. Ia tidak ingin mengagungkan kaum Adam itu. Maia hanya ingin menguasai mereka. Ia berhasil menguasai Idris yang telah bersedia memberinya jalan untuk membalaskan dendamnya kepada sang Adam. Ia juga berhasil menguasai Khabil, menantunya, untuk tetap tinggal bersamanya ketika hari eksekusi bagi Adam tiba. Ia juga berhasil menguasai Marfu’ah sebagai gadis jelita yang sangat patuh kepada ibunya.
Maia dan Karmila memiliki kesamaan sebagai sesama korban pemerkosaan. Keduanya merupakan wanita tegar yang bersiteguh untuk cepat bangkit dari kehancuran. Meskipun berbeda jalan yang ditempuh, Maia dan Karmila dapat membuktikan bahwa kehancuran merupakan titik awal dari keberhasilan yang sempat tertunda.
Lain halnya dengan Sukreni dan Made Jepun yang hidupnya terus terpuruk pascapemerkosaan itu. Sukreni, meskipun tidak terkena gangguan jiwa, terpuruk dalam penderitaan yang berkepanjangan terlebih melihat perilaku sang anak, I Gustam, yang sangat buruk dan brutal. Ketidakmampuan dalam mendidik sang anak itulah yang membuat jiwa Sukreni semakin rapuh hingga ajal menjemputnya.
Made Jepun merupakan korban perkosaan yang paling parah. Ia mengalami gangguan jiwa yang sangat hebat. Hal itu menyebabkan ia selalu merasa takut jika akan pergi keluar rumah, bahkan, untuk keluar dari kamarnya sendiri. Ia lebih suka tinggal di kolong tempat tidurnya hingga ibu atau adiknya kerap kali harus menarik kedua kakinya keluar. Ia juga selalu menanti kedatangan kekasihnya, I Pasek, yang telah menghilang selama lima tahun. Keluarganya tidak pernah memberitahukan kepadanya bahwa sebenarnya sang kekasih telah mati di bunuh di suatu desa entah oleh siapa. Ia selalu berkutat di dalam bayangan ketakutannya sendiri hingga akhirnya maut menjemputnya di bawah kolong kasurnya itu.

5. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa pemerkosaan merupakan peristiwa paling mengerikan dalam hidup seorang wanita. Peristiwa itu dapat mengubah persepsi seorang wanita terhadap kaum lelaki dan seks. Pada umumnya wanita korban perkosaan menganggap bahwa kaum lelaki sama saja dengan lelaki yang pernah menodainya, buruk, brutal, dan sadis. Sementara itu, pandangan mereka terhadap seks pun mengalami pergeseran. Seks bukan merupakan sesuatu yang indah, melainkan merupakan sesuatu yang mengerikan. Hanya segelintir wanita yang sanggup bangkit dari keterpurukan pascapemerkosaan tersebut. Hal itu tercermin dalam diri tokoh Karmila dan Maia. Kebanyakan korban perkosaan tenggelam dalam traumanya dan hidup dalam kehampaan, seperti yang tergambarkan pada Sukreni dan Made Jepun.
Pemerkosaan banyak diangkat menjadi tema dalam beberapa karya sastra. Dengan demikian, pengarang dapat memberikan gambaran lengkap tentang peristiwa itu sendiri dan tentang kehidupan para korban, baik sebelum maupun setelah terjadinya peristiwa itu.
Pemerkosaan dapat menimpa siapa saja dan kapan saja, bak sepasang mata sang intelijen, ia mengintai kaum wanita setiap saat. Untuk terhindar dari peristiwa mengerikan itu, diperlukan adanya control, baik dari diri sendiri maupun lingkungan sosial, yang ketat.



6. Daftar Pustaka

Dahlan, Muhidin M. 2005. Adam dan Hawa. Yogyakarta: ScriPtaManent.
Davison, Gerald C., et al. 2001. Abnormal Psychology. Eight edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Lal, P. 1992. Mahabarata. Edisi terjemahan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Marga T. 1990. Karmila. Jakarta: PT Gramedia
Sadarjoen, S.S. 2005. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual. Bandung: PT Refika Aditama.
Sukanta, Putu Oka. 2004. Rindu Terluka. Jakarta: PT Metafor Intermedia Indonesia.
Tisna, A.A. Pandji. 1990. Sukreni Gadis Bali. Jakarta: Balai Pustaka.
Wechsler, H.J. 1976. Puspasari Mitologi Yunani. Edisi terjemahan. Bandung: Penerbit Ganesha Bandung.

SURAT KEUR KA SAWARGA: TINJAUAN PSIKOLOGIS
TERHADAP SIKAP DAN KESEHARIAN ORANG SUNDA


Resti Nurfaidah



Abstract: A group of Sundanese female writers called Patrem wrote the antology of short stories, named Surat Keur Ka Sawarga (Letter for the Heaven). They were talking about the attitude and the habitual action of the Sundanese seeing such problems they found. This could be the point of view or the comment of those writers in caring some daily problems or social problem. It should be examined with such way concerning the attitude or the action of the character or the writer itself, called literature phsychology. Through this science, we could find the reasons or result of the attitude or the action towards the life of characters of stories.

Keywords: cerpen, sikap orang Sunda

1. Pendahuluan: Kumpulan Cerita Pendek Surat Keur Ka Sawarga
Surat keur ka sawarga merupakan sebuah antologi atau kumpulan cerpen yang ditulis oleh sebelas penulis cerita wanita dalam bahasa Sunda, sebagian di antaranya juga menulis karya dalam bahasa Indonesia, yaitu Aam Amilia, Ami Raksanagara, Dyah Padmini, Etty R.S., Holisoh M.E., Nanéng Daningsih, Risnawati, Sum Darsono, Tétty Hodijah, Tétty Suharti, dan Yooke Tjuparmah S. Komarudin. Antologi surat keur ka sawarga terdiri atas sebelas cerpen yang berjudul sebagai berikut, yaitu Aki Sasmita (Aam Amilia), Surat Keur Ka Sawarga (Ami Raksanagara), Dongeng Sakotrét (Dyah Padmini), Mulang (Etty R.S.), Wasiat Ti Pa Mantri (Holisoh M.E.), Handapeun Langit Hideung (Nanéng Daningsih), Hama (Risnawati), Nu Mulang Ti Panyabaan (Sum Darsono), Nu Datang Wanci Sareupna (Tétty Hodijah), Bulan Mabra Di Madinah (Tétty Suharti), dan Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin). Kesebelas cerpen tersebut dalam paparan selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tema umum yang terkandung di dalamnya, yaitu satir terhadap pandangan dan sikap hidup orang Sunda, di antaranya (1) sikap memendam perasaan, suka mengalah, dan apriori, (2) pemaaf dan penolong, dan (3) suka memelihara kenangan akan seseorang atau sesuatu hal. Pembahasa tentang kesebelas cerpen tersebut dilakukan dengan pendekatan psikologisastra.

2. SURAT KEUR KA SAWARGA: TINJAUAN PSIKOLOGIS TERHADAP SIKAP KESEHARIAN ORANG SUNDA

Paparan mengenai kumpulan cerita pendek Surat keur ka sawarga tersebut dilakukan berdasarkan pada pembagian kategori subtema tadi, (1) sikap memendam perasaan, suka mengalah, dan apriori, (2) pemaaf dan penolong, dan (3) suka memelihara kenangan akan seseorang atau sesuatu hal. Cerpen yang berkaitan dengan kategori (1), yaitu Aki Sasmita, Wasiat Ti Pa Mantri, Nu Mulang Ti Panyabaan, Handapeun Langit Hideung, dan Hama. Cerpen yang berkaitan dengan kategori (2) adalah Nu Datang Wanci Sareupna, Bulan Mabra Di Madinah, dan Nunun. Sementara itu, cerpen yang berkaitan dengan kategori (3) adalah Surat Keur Ka Sawarga, Dongéng Sakotrét, dan Mulang.

2.1 Sikap Memendam Perasaan, Suka Mengalah, Jaim, Agamis, dan Apriori
Cerpen yang berkaitan dengan kategori tersebut, yaitu Aki Sasmita (Aam Amilia), Wasiat Ti Pa Mantri (Holisoh M.E.), Nu Mulang Ti Panyabaan (Sum Darsono), Handapeun Langit Hideung (Nanéng Daningsih), dan Hama (Risnawati).

2.1.1 Aki Sasmita (Aam Amilia)
Aki Sasmita karya Aam Amilia bercerita tentang kehidupan seorang lelaki berumur yang setia dengan kehidupan di alam pedesaan kampung Heulangruyuk. Ia menolak diajak tinggal bersama oleh anak-anaknya yang telah hidup mapan di kota. Ketenangan di kampung tersebut menjadi terganggu. Akibat perkembangan pembangunan nasional, desa tempat tinggal Aki Sasmita pun harus menelan getahnya. Pihak pengelola sebuah tempat widata datang ke kampung itu untuk membeli tanah dan sawah penduduk. Penduduk di tempat itu banyak yang tergoda untuk menjual tanah dan sawahnya yang subur dengan iming-iming nilai bayaran ganti rugi yang menggiurkan, termasuk Aki Sasmita. Tanah dan sawah yang dibeli itu akan dijadikan sebagai tempat wisata esklusif. Orang kota yang mengurus pembangunan itu berjanji akan melibatkan penduduk desa tersebut sebagai tenaga kerja di tempat wisata itu.
Ternyata, janji tinggal janji karena hanya segelintir orang saja yang ditarik sebagai tenaga kerja, pelayan, di tempat itu. selebihnya karyawannya didatangkan berdasakan hasil seleksi ketat di kota. Penduduk di desa itu berharap dapat mengais untung dengan berjualan di sekitar tempat wisata. Malang tak dapat diraih, orang yang datang ke tempat itu kebanyakan orang kota yang berselera tinggi. Mereka tidak pernah tertarik dengan jajanan tradisional yang dijajakan oleh para penduduk tersebut. Hancurlah perekonomian mereka. Kehancuran tersebut ternyata berbuah panjang. Pihak tempat wisata seolah mempermainkan penduduk ketika mereka menagih sisa uang penggantian tanah. Pihak pengelola enggan menuntaskan kewajibannya dengan alasan penduduk tersebut hanya mempunyai kwitansi bersama bukan sertifikat tanah. Lain halnya dengan beberapa gelintir orang yang telah memiliki surat berharga itu sebelumnya, mereka mendapat penggantian dengan harga yang lumayan besar. Aki Sasmita mempertaruhkan nalurinya. Meskipun ia telah memiliki sertifikat tanah, ia tidak berkehendak untuk melakukan hal serupa karena menaruh empati kepada para tetangganya yang malang.
Aki Sasmita merupakan tipe orang yang tidak ingin menang sendiri sementara disekitarnya banyak korban bergeletakan akibat ketidakadilan pembangunan ekonomi pada saat rejim orde baru. Sebenarnya Aki Sasmita bisa saja memberikan sertifikat sawah kepada pengelola dan menikmati uang kompensasi yang lumayan besar. Sikap Aki Sasmita yang tegas itu tampak dalam kutipan berikut.
“Kang, urang mah sanés aya sértipikatna tanah téh?” cék pamajikanana.
Manehna unggeuk laun pisan.
“Atuh urang ka Désa, ngarah kénging panggentosan.”
Aki Sasmita gideug.
“Ulah, simpen waé dina lomari,” pokna antaré. (SKKS, 2004: 17)

“Kang, bukankah kita punya sertifikatnya?” ujar istrinya.
Aki Sasmita mengangguk perlahan.
“Kalau begitu kita pergi ke Balai Desa supaya dapat uang pengganti.”
Aki Sasmita menggeleng.
“Jangan! Simpan saja benda itu di dalam lemari,” katanya datar.

Tidak! Aki Sasmita bukan tipe lelaki egois. Ia justru meratapi nasib sebagian besar penduduk kampung itu yang semakin terpuruk, seperti yang tercantum dalam kutipan berikut.
Basa ngiceup karasaeun aya nu ngeclak tina panonna, haneut mapay pipina anu karijut. (SKKS, 2004: 18)

Saat mengedipkan matanya, Aki Sasmita merasakan buliran bening mengalir dari kelopak matanya merayapi pipinya yang sudah keriput itu.


Aki Sasmita merupakan tipe lelaki yang peduli dengan nasib sesama. Ia tidak ubahnya laksana malaikat bagi penduduk kampung itu, antara lain, menjadi tempat perlindungan. Aki Sasmita pernah ikut unjuk rasa ke kantor wakil rakyat. Namun hanya sekali itu saja ia melakukan hal itu. Selanjutnya lelaki itu menolak jika harus terjun ke lapangan untuk ikut berdemo karena ia telah dapat menduga apa yang akan diterima penduduk oleh pengelola tempat wisata itu. Kebodohan penduduk itulah yang menyebabkan rusaknya perekonomian di desa itu. Mereka cenderung buta hukum dan selalu ditempatkan pada posisi yang marginal. Pembangunan tempat wisata itu hanya berbuah manis bagi segelintir orang saja. Pembangunan tersebut tidak berimbas pada peningkatan hidup masyarakat bawah tetapi lebih melebarkan jurang antara si miskin dan si kaya. Situasi itu tampak jelas dalam kutipan berikut.
Saréréa narima duit panjer, terus naranda tangan. Aya nu dibeulikeun sawah, aya nu dipaké dadagangan. Tapi anu dararagang téh malik sué. Da nu daratang ka lapangan, jelema jegud tur garandang. Bangun teu harayangeun mareuli goréng sampeu, goréng hui, anu rayap di gigireun pager lapangan. Atuh daragang téh ukur lalajo nu maén waé. Angot sanggeus teu jauh ti dinya aya kantin, nya badag, nya alus. Nu ngalayananana ogé jarangkung, gareulis karasép, maraké gaju saragem. Atuh nu daragang sisi lapang mah léléd waé. (SKKS, 2004: 13)

Semua orang menerima uang muka, lalu menandatangi surat. Sebagian ada yang dibelikan sawah, ada pula yang dipakai modal untuk berdagang. Namun, malang bagi para pedagang karena berbalik rugi. Para pengunjung ke tempat wisata itu kebanyakan berasal dari kalangan terpandang dan kaya. Mereka tidak berminat untuk membeli makanan yang dijajakan oleh para pedagang, seperti singkong atau ubi goreng, yang berderet di sekeliling pagar lapangan itu. Pada akhirnya, para pedagang hanya menjadi penonton saja. Para pengunjung lebih memilih membeli makanan di sebuah kantin modern yang didirikan di tempat itu. Para pelayan yang bekerja di tempat itu rata-rata bertubuh tinggi, berpenampilan menarik, dan berbaju seragam. Berdirinya kantin tersebut telah menyingkirkan para pedagang kecil itu.
Sikap Aki Sasmita tersebut merupakan empati atas penderitaan yang menimpa sebagian besar penduduk kampung itu. Selain kehilangan lahan dan harta, mereka juga kehilangan pekerjaan. Uang kompensasi yang dijanjikan pihak pengelola tersebut sebagai uang muka telah lama habis. Sementara itu, sisa uang penggantian tidak kunjung diterima karena bukti kwitansi yang mereka pegang ternyata cacat hukum. Inilah potret sisi buruk pembangunan nasional yang tidak merata dan tidak berwawasan lingkungan. Pembangunan tersebut tidak melibatkan tenaga lokal. Sekalipun ada yang terpilih, mereka hanya menempati posisi yang kurang menguntungkan karena dianggap tidak punya nilai jual. Tenaga pelayan pun sebagian besar didatangkan dari kota yang lebih berdaya jual lebih tinggi.
Pembangunan tempat wisata tersebut bersifat ekslusif karena tidak melibatkan potensi lokal. Demikian pula dengan para pengunjung yang bersikap “ogah” membeli makanan tradisional dan sederhana yang dijajakan dengan seadanya oleh para penduduk lokal. Mereka cenderung memilih makanan yang dijajakan di kantin ekslusif yang disediakan oleh pihak pengelola. Selera para pengunjung yang berselera “sangat inggil” tersebut semakin membuat para penduduk sekitar terperosok kian dalam ke jurang penderitaan. Kepedulian Aki Sasmita merupakan refleksi sikap sang pengarang yang cukup peka dan jeli memandang nasib sebagian kelompok masyarakat yang termarginalkan dalam pembangunan nasional. Hanya demi kepentingan dan keuntungan segelintir kelompok masyarakat, pembangungan elit sanggup menyingkirkan kelompok masyarakat lain, yang sebenarnya lebih memerlukan.


2.1.2 Wasiat Ti Pa Mantri (Holisoh M.E.)
Cerpen Wasiat Ti Pa Mantri bercerita tentang akhir masa jabatan seorang kepala sekolah atau dalam bahasa lingkungan pendidikan Sunda lebih dikenal dengan mantri sakola. Pak mantri merasa bahwa ia tidak akan sanggup memikul beban administrasi dan birokrasi yang semakin sulit, terlebih setelah sekolah yang ia bina mendapatkan bantuan dari bank dunia. Ia merasa lelah dengan lika-liku yang harus ia hadapi dan merasa khawatir bahwa ia akan terjerat ke dalam arus budaya korupsi. Untuk itu, ia ingin menyelamatkan diri dari setan yang melingkar dalam kinerja pegawai negeri itu. ia mengundurkan diri lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Namun, penyesalan sempat terungkap ketika surat pengunduran dirinya telah ditangan. Berat rasa hati mantan pak mantri yang sangat dihormati oleh kalangan guru dan siswanya itu. Demikian pula dengan para guru dan siswa yang melepas kepergian mantan orang nomor satu di sekolah itu dengan perasaan yang sama.
Pak mantri tergolong tipe pegawai yang bersih dan berbuat sejujurnya dalam menangani masalah di sekolah yang ia bina. Ia juga menjadi pemimpin yang bijaksana dan mampu menempatkan diri di berbagai kalangan. Setelah selama ini dihadang birokrasi yang rumit, beban dirinya sebagai pak mantri semakin bertambah. Terlebih lagi setelah sekolah yang ia bina mendapatkan bantuan dari bank dunia, buah karya usahanya yang tidak sia-sia. Namun, bantuan tersebut harus dibayar mahal dengan semakin berlikunya birokrasi yang harus dilalui, termasuk hal-hal yang sepele sekalipun, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.
Komo ayeuna, sakolana meunang bantuan ti bang dunia, atuh tambah gawé, nyieun éspéjé. Seug nyieun éspéjé dana bantuan operasional ti bang dunia mah, dedegler, hiji bon téh kudu opat rangkep. Kudu kumplit, cap lunas ti toko nu dibalanjakeun. (SKKS, 2004: 41)

Terlebih lagi, sekolah tersebut mendapatkan bantuan dari bank dunia, sehingga menambah beban kerja dengan membuat arsip. Membuat arsip untuk bantuan dari bank dunia tersebut bukan pekerjaan mudah karena selembar bon pembelian harus disertai empat rangkap salinannya. Bon tersebut harus dilengkapi dengan cap dari toko tempat pembelian barang itu. (SKKS, 2004: 41)

Akibatnya, pak mantri sampai pada titik jenuh dan titik tertinggi atas beban yang harus ia tanggung. Ia merasa khawatir jika terlalu lama berkutat dengan kesulitan itu, ia akan terperosok ke dalam berbagai hal yang tidak ia kehendaki, seperti korupsi atau nepotisme. Pak mantri senantiasa menginginkan hidupnya bersih karena kedudukannya sebagai orang nomor satu di lingkungan pendidikan yang ia bina senantiasa dijadikan sebagai cermin keteladanan oleh para guru, siswa, maupun pegawai rendahan. Pak mantri memutuskan untuk keluar dari beban yang membelit kinerjanya kendatipun dengan berat hati. Ditinggalkannya sederet wasiat yang ia camkan kepada para guru agar mereka bertindak sebijaksana mungkin dalam menangani segala hal. Wasiat tersebut terungkap pada kutipan akhir dalam cerpen berikut.
“Syukur! Bapa reugreug meureun pansiun téh! Moal marojéngja. Ngan peupeujeuh sakali deui, sipat-sipat urang anu hade, omat ulah nepi ka leungit. Gotong royong, sosial, silih tulungan, silih bélaan jeung babaturan, silih tutupan kagoréngan, silih geuing, kadé ulah nepi ka leungit! Jeung peupeujeuh, ka barudak ulah hampang leungeun! Da biasa budak mah sok carékeun. Urangna kudu sabar. Keun da atikeun urang,” omongna bari ngasupkeun deui amplop kana map. (SKKS, 2004: 47)

“Syukur! Bagi Bapak pensiun itu sangat melegakan! Tidak akan menderita. Hanya saja jangan lupa, sekali lagi, dengan sifat baik yang kita miliki, jangan sampai hilang! Gotong royong, rasa sosial, saling menolong, saling membela sesama, saling menutupi aib, saling mengingatkan, jangan sampai hilang. Satu hal lagi, jangan suka memukul anak-anak! Anak-anak memang harus kita arahkan. Sementara itu, kita harus bersabar dalam menghadapi mereka. Mereka kan tanggung jawab kita,” ujarnya sambil memasukkan amplop kembali ke dalam map.

2.1.3 Nu Mulang Ti Panyabaan (Sum Darsono)
Cerpen Nu Mulang Ti Panyabaan bercerita tentang Ahmad, seorang pria yang berprofesi sebagai pedagang baju di kota. Ia baru saja tiba di rumahnya setelah menempuh perjalanan berniaga di kota selama tiga minggu. Rindu yang tidak tertahankan ingin ia curahkan kepada anak dan istrinya. Namun, ia sempat terhenyak karena pada saat yang sama istrinya sedang menyelenggarakan acara tahlilan. Ahmad telah dianggap tiada karena sebuah kesalahpahaman.
Dalam perjalanan pulang, Ahmad mendapat musibah. Dompetnya dicuri orang ketika ia telah duduk di sebuah bis umum. Meskipun kondekturnya berbaik hati untuk menghutangkan ongkos perjalanan, Kang Ahmad memilih turun dan kembali ke kota. Tidak lama ia mendengar bahwa bis yang pernah ia tumpangi itu mengalami kecelakaan yang tragis dan menimbulkan banyak korban. Salah seorang di antaranya adalah orang yang mencuri dompet Ahmad. Dompet tersebut diserahkan kepada polisi tanpa sempat dikurangi isinya. Dari orang yang mengantarkan dompet itu dikatakan bahwa pemilik dompet itu telah meninggal dunia dalam tragedi itu. Jadilah sang istri dilanda kesedihan. Acara tahlilan pun digelar untuk mengenang suaminya. Ternyata semuanya salah kaprah. Beruntung, Ahmad dengan jeli menyimpan uang di berbagai tempat di tubuhnya, hingga ia selamat sampai tujuan.
Dari cerpen tersebut tampak bahwa kerabat, tetangga, dan keluarga Ahmad bersikap mudah terpengaruh oleh sesuatu hal yang belum tentu teruji kebenarannya. Hanya karena dompetnya ditemukan dan berita sepihak dari pihak kepolisian, mereka mudah mempercayainya. Terlebih kondisi mayat si pencopet yang sulit diidentifikasi. Semakin lengkaplah sudah berita tersebut. Sementara itu sikap Ahmad yang menolak untuk menerima kebaikan kondektur yang bersedia menghutangkan ongkos bis kepadanya merupakan sikap yang menunjukkan rasa malu sekaligus jaim. Ia enggan pulang ke hadapan anak dan istrinya dengan tangan hampa. Kang Ahmad memilih turun. Namun, sebagai orang yang agamis, Kang Ahmad hanya dapat memohon kepada Illahi Robbi agar Dia memberikan yang “lebih” kepadanya. Setelah dilihatnya barang-barang miliknya kembali utuh, Ahmad merasa yakin bahwa yang mengambil dompetnya adalah tangan Tuhan. Ia merasa yakin bahwa tangan Tuhanlah yang telah menyelamatkan dirinya dari kecelakaan bis yang pernah ia tumpangi itu. Hal itu tertera dalam kutipan berikut.
“Horéng Panangan Anjeuna hakékatna mah nu nyandak lokét kuring téh, sangkan kuring leupas tina balai,” Ahmad ngusap panonna. Sorana dareuda. (SKKS, 2004: 67)

“Ternyata tangan Tuhan-lah sebenarnya yang mengambil dompet saya sehingga saya dapat terhindar dari musibah,” Ahmad mengusap matanya. Suaranya seperti menahan tangis.


2.1.4 Handapeun Langit Hideung (Nanéng Daningsih)
Cerpen Handapeun Langit Hideung bercerita tentang sikap penduduk suatu kampung yang cenderung mudah dipengaruhi oleh isu sosial. Padahal, isu tersebut belum tentu terbukti kebenarannya. Juragan Wiria sebagai orang terkaya di kampung itu, dianggap sebagai budak setan. Kekayaannya semakin bertambah dalam tempo cepat. Kecurigaan tersebut semakin bertambah dengan peristiwa kematian para penduduk, terutama yang pernah bekerja di rumah Gan Wiria. Penyakit misterius yang melanda penduduk kampung yang bertumpang tindih dengan isu mistis mendorong Nyi Anah, salah seorang penduduk kampung tidak mampu mengendalikan pikiran dan perasaannya terhadap kebaikan Gan Wiria dan istrinya.
Peristiwa yang menimpa penduduk kampung menunjukkan betapa rapuhnya kepribadian mereka. Bukannnya mencari penyebab timbulnya penyakit itu, melainkan lebih menggeluti isu mistis yang belum tentu terbukti keabsahannya. Nyi Anah, salah satu di antaranya, menganggap penyakit demam tinggi yang diderita anaknya sebagai akibat dari seringnya sang anak bermain bersama anak Gan Wiria, Jang Entu!
Karena kebenciannya kepada orang terkaya di kampung itu, Nyi Anah lebih memilih dukun yang tidak tahu asal-usulnya untuk mengobati anaknya, daripada harus menerima kebaikan Gan Wiria dan istrinya yang berniat membawa sang bocah berobat ke rumah sakit. Wal hasil, salah penanganan medis tersebut menyebabkan sang bocah menemui ajalnya dalam tempo singkat. Sepeninggal sang bocah, Nyi Anah bukannya menyadari kekeliruannya melainkan semakin menjadi-jadi. Bahkan ia menolak beras pemberian istri Gan Wiria karena menganggap barang pemberian tersebut sebagai pengganti nyawa anaknya.
“Tong diisikan béas éta mah, tong diisikan ganti anak aing mah. Tong diisikan panukeur nyawa anak aing mah. Saha anu daék nukeurkeun nyawa anak ku béas sasaid?” cenah. Kuring bati bareuheudeun. Hadéna Ceuk Idah geus balik. (SKKS, 2004: 55)

“Jangan dicuci berasnya! Jangan dicuci barang pengganti anakku itu! Jangan cuci beras pengganti nyawa anak ku itu! Siapa yang mau menukar nyawa anak dengan beras sedikit?” katanya. Saya hanya mengelus dada. Untungny, Ceuk Idah sudah kembali ke rumahnya.

Nyi Anah dilanda trauma hebat pascakematian anaknya. Sementara itu, istri Gan Wiria menaruh rasa sedih dan merasa ketakutan akan kehilangan anak sematawayangnya.

2.1.5 Hama (Risnawati)
Hama bercerita tentang seorang wanita yang mudah terpedaya dan tergiur isu sekitar. Pada awalnya, wanita setengah baya itu merasa rugi menyaksikan hasil panennya yang hampir gagal karena ulah hama tikus. Melihat tetangganya beternak ikan lele, ia memutuskan untuk memutar haluan. Lahan pesawahan yang dimilikinya diubahnya menjadi kolam ikan lele. Ternyata usaha yang ia jalani sudah membuahkan kegagalan sebelum memberikan hasil kepadanya. Ikan lele peliharaannya habis dimakan biawak yang berkeliaran pada malam hari.
Wanita yang dipanggil Ua Istri oleh si tokoh aku tersebut merupakan tipe manusia yang rapuh dan mudah berubah pendiriannya. Ketika hasil panennya tidak menggembirakan karena diserang hama tikus, ia melihat keberhasilan orang lain yang beternak ikan lele. Dengan mudah ia berpindah haluan dengan mengubah lahan sawah menjadi kolam ikan lele raksasa yang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Namun, apa daya, peternakan yang baru terhitung dua mingguan tersebut hanya membuahkan kekecewaan. Hawa biawak menyerang ikan lele peliharaannya. Tidak banyak yang dapat dilakukannya selain menelan rasa kecewa.
“Saha nu teu handeueul atuh Endin. Nu kaluar téh lain duit leutik-leutik. Urut nyieun balong gé ampir sajuta. Can meuli binih jeung parab. Ari ayeuna samara balik deui, nempo kieu mah,” soantenna alon pisan. (SKKS, 2004: 62)

Siapa yang tidak akan menyesali hal itu, Endin. Yang sudah kukeluarkan itu bukan jumlah yang sedikit. Modal untuk membuat kolam pun hampir satu juta. Belum untuk membeli benih dan pakan. Sekarang rasanya enggan pulang jika melihat kondisi seperti ini,” suaranya perlahan.


2.2 Pemaaf dan Penolong
Cerpen yang menunjukkan sikap pemaaf dan penolong adalah cerpen yang berjudul Nu Datang Wanci Sareupna (Tétty Hodijah), Bulan Mabra Di Madinah (Tétty Suharti), dan Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin).

2.2.1 Nu Datang Wanci Sareupna (Tétty Hodijah)
Cerpen Nu Datang Wanci Sareupna bercerita tentang seorang anak buah, bernama Danang, yang kedatangan mantan atasannya pada senja hari. Pak Arman, nama tamu itu, sengaja datang untuk mengunjungi mantan anak buahnya yang juga telah banyak membantu meringankan tugasnya.
Sewaktu masih berdinas, Pak Arman pernah meminta Danang untuk menyusun sebuah buku tentang Tatar Sunda. Pak Arman yang notabene non-Sunda merasa kesulitan untuk menuntaskan tugas yang dititahkan oleh pimpinannya. Ia meminta bantuan Danang yang dianggapnya mampu membuatkan tugas itu. Danang pun menyanggupinya. Sebagai kompensasi, Pak Arman memberikan uang dengan nilai yang sangat besar kepada Danang. Setelah membuat “karya besarnya” itu, Pak Arman diangkat sebagai kepala kantor selama dua tahun lamanya, menggantikan pimpinan sebelumnya, Pak Sasmita. Saat Pak Arman diberhentikan terdengar gosip yang tidak sedap, ia terjerat kasus korupsi. Danang tidak pernah mengetahui kebenaran berita itu.
Ngadéngé kasauran Pak Arman kitu téh tarang rada kerung, naha enya kapala kantor dibobodo ku pingpinan proyék, atawa pingpinan proyék nu diperes ku kapala kantor? Kapan salila ieu réa nu tinggerendeng, majar pingpinan proyék mah saukur bonéka, nu buncirna mah kapala kantor. Mana nu bener, atuh? (SKKS, 2004:76)

Mendengar pembicaraan Pak Arman seperti itu, keningku menjadi berkerut. Apa iya kepala kantor yang dibodohi oleh kepala proyek, atau kepala proyek yang diperas oleh kepala kantor? Bukankah selama ini banyak yang membicarakan bahwa kepala proyek hanyalah sebuah boneka. Justru, asal-muasalnya dari kepala kantor. Mana yang benar, nih?

Danang tergolong pegawai yang bersih. Ketika rekan-rekan seangkatannya telah menduduki jabatan penting, Danang masih ditempatnya semula. Namun, Pak Arman membesarkan hati Danang bahwa dirinya jangan sampai tergiur dengan jabatan. Jabatan merupakan beban berat bagi seorang pegawai. Danang harus bercermin kepada peristiwa yang telah dialaminya, tuduhan korupsi. Pak Arman yang sempat menjadi tersangka tetap menyangkal bahwa dirinya pemakai dana hasil korupsi. Sementara itu, Danang masih dilanda kebingungan antara percaya atau tidak kepada mantan atasannya itu.
Nasihat yang disampaikan Pak Arman kepada Danang adalah kisah usang yang banyak terjadi dalam kasus korupsi. Tertuduh malah berbalik saling menuduh satu sama lain dan selalu menginginkan dilihat sebagai pihak yang bersih. Apa yang dilakukan oleh dirinya adalah atas tekanan dan “titah” dari pihak lain yang dianggap lebih berkuasa.

2.2.2 Bulan Mabra Di Madinah (Tétty Suharti)
Cerpen ini berbicara tentang perseteruan antarbesan akibat kekisruhan yang terjadi pada perkawinan anak-anak mereka. Ibu kandung Si Jalu merasa sangat kecewa terhadap sikap besannya yang, pada awalnya, tidak merestui perkawinan anak mereka—Si Jalu dan Si Eulis! Mertua Si Jalu juga senang mengumbar janji, di antaranya akan membantu biaya pengobatan Si Eulis selama dirawat di rumah sakit. Namun, sampai ajal menjemput anak perempuannya itu, ibu Si Eulis tidak pernah memberikan bantuan sepeser pun. Kekecewaan ibu Si Eulis berawal pada perkawinan anaknya, Si Eulis, dengan Si Jalu. Baginya, Jalu bukanlah menantu yang dapat diharapkan. Kehidupan perkawinan Si Eulis yang serbakekurangan itu membuatnya sangat kecewa. Padahal, Si Eulis sendiri tidak pernah mempermasalahkan kesulitan hidup yang ia alami dengan keluarganya.
Pada suatu saat mertua Si Jalu mengabarkan bahwa ia dan suaminya akan berangkat menunaikan ibadah haji. Mendengar hal itu, ibu Si Jalu memanjatkan doa untuk besannya. Di dalam doanya itu terselip keinginan beliau untuk melupakan janji sang besan untuk membantu biasa perawatan Si Eulis dahulu serta menganggap hutang besannya yang tidak pernah dipenuhinya itu sudah lunas. Selain itu, ibu Si Jalu memanjatkan ampunan kepada Illahi Robbi untuk menghapus dosa-dosa sang besan kepadanya maupun dosa-dosa dirinya kepada sang besan.
“Ya Robbi, mun kénging abdi panuhun, mugi jangji ieu pun dulur anu teu kantos katedunan, dianggap lunas. Ulah janten halangan harungan kana niatna ibadah. Pilakadar artos nu teu sabaraha, abdi henteu kaabotan. Mugi dibangglaskeun, dibébaskeun hutangna dianggap lunas. Mun bade ngitung rugi ogé, abdi mah mung ukur rugi artos, nu tiasa disiar deui. Tapi aranjeunna, tos leungiteun nyawa nu moal tiasa digentosan deui,” kuring ngarahuh. (SKKS, 2004: 82)

“Ya, Tuhan, kalau seandainya saya boleh meminta, semoga janji saudara saya yang tidak sempat terlunasi, kuanggap selesai. Jangan jadikan hal itu sebagai halangan dalam pelaksanaan ibadahnya. Hanya karena uang yang tidak seberapa jumlahnya yang bagi saya tidak berarti apa-apa. Semoga terbebas … terbebas dari utang yang saya anggap telah lunas itu. Kalaupun mau menghitung untung-rugi, saya hanya kehilangan sejumlah uang yang mudah dicari. Sementara itu, mereka sudah kehilangan nyawa anaknya yang tidak akan tergantikan untuk selamanya,” bisikku kepada yang Mahakuasa.

Tidak disangka, jika doanya itu didengar oleh yang Mahakuasa. Selama menunaikan ibadah haji, dalam pandangan mata ibu Si Eulis senantiasa tergambar bayangan ibu Si Jalu. Padahal ia masih memiliki banyak besan lainnya, tetapi yang terbayang hanyalah besan yang satu itu. Ibu Si Eulis tidak pernah habis pikir, mengapa hal itu terjadi selama ia berada di tanah suci dan setiap ia memanjatkan doa kepada yang Mahakuasa. Pada akhirnya, ibu Si Eulis menyadari kekeliruannya selama ini. Ia merasa bahwa dosanya kepada besan yang paling banyak adalah kepada ibu Si Jalu. Bahkan, sikap ibu Si Eulis kepada Si Jalu sendiri telah berubah menjelang kepergiannya ke tanah suci dan setelah ia kembali ke tanah air. Bahkan, ia menyarankan agar Si Jalu segera mencari pendamping hidup sebagai pengganti Si Eulis, putrinya yang telah tiada.
Sikap ibu Si Jalu yang pemaaf membuka jalan hidayah bagi besannya, ibu Si Eulis, yang selama ini bersikap tidak peduli kepada keluarga besannya—termasuk kepada sang putri. Hal itu dilakukannya karena ia merasa perkawinan Si Eulis dan Si Jalu hanya mengundang kesengsaraan saja. Meskipun Si Eulis sendiri dapat menerima nasibnya, tetapi lain dengan sikap sang ibu. Sikap ibu Si Eulis menorehkan luka dan dendam di dalam hati ibu Si Jalu. Namun, rencana kepergian ibu Si Eulis ke tanah suci telah membuka pintu maaf dalam kalbu ibu Si Jalu. Bahkan, ia bersedia melupakan segala janji dan kekeliruan yang pernah dilakukan oleh sang besan kepadanya, anak dan menantunya, dan keluarganya.


2.2.3 Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin)
Cerpen yang berjudul Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin) bercerita tentang curahan hati seorang kakak yang terpuruk di balik sel sempit sebuah kamar penjara. Cerpen ini didominasi oleh tuturan sang kakak kepada sang adik di luar tembok penjara dalam bentuk sepucuk surat. Di dalam surat itu sang kakak mengutarakan penyesalannya karena tidak dapat menjaga sang adik sesuai dengan janjinya kepada kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Nunun, sang adik, yang haus akan kasih sayang terlibat pergaulan bebas hingga ia hamil di luar nikah. Meskipun sempat merasa kecewa, sang kakak berjanji untuk tetap menjaga sang adik, membuka lembaran baru, dan mendorong semangat bagi adik sematawayangnya itu.
Cerpen ini diawali dengan kesadaran sang kakak yang telah gagal mengemban amanat untuk menjadi menjaga adik perempuannya, Nunun, kepada kedua orang tuanya sebelum keduanya wafat. Sang kakak yang kini meringkuk di penjara rela menghadapi berbagai perlakuan yang tidak manusiawi di tempat itu, seperti yang tertera dalam kutipan berikut.
Tapi akang iklas, lantaran rumasa ingkar tina amanat Ambu jeung Ama anu geus tilar dunya. (SKKS, 2004: 85)

Namun, Akang rela karena merasa telah mengingkari amanah Ambu dan Ama (Bapak, Snd.) yang sudah wafat.

Kegagalan tersebut berawal dari peristiwa wafatnya kedua orang tua sang kakak, Dodon, dan Nunun ketika masih kecil. Keduanya kemudian berada di bawah asuhan Bibinya yang setia dan jujur. Ketika Nunun dan Dodon beranjak dewasa, mulailah awal tragedi itu. Nunun berkenalan dengan teman sepermainannya yang bernama Tina. Sesungguhnya sejak awal, Dodon telah mengendus perilaku Tina yang tidak lazim untuk gadis usia sebayanya, binal dan sering bergaul bebas dengan kaum Adam.
“Nun, ulah ulin jeung Tina. Ulah babarengan. Tina mah awéwé unghakeun, Tina mah henteu bisa ngajénan diri sorangan. Tina mah centil. Tina jeté. Imut Tina, imut pangirut. Tina lain awéwé pisobateun. Tina mah centil. Tina jeté. Awéwé kitu mah sok atoh lamun boga babaturan tigebrus kana jurang anu ku manéhna dipilampah.” (SKKS, 2004: 87)

“Nun, jangan terlalu dekat dengan Tina. Jangan bersahabat dengannya. Tina adalah perempuan yang suka membuat kesal. Tina bukan merupakan perempuan yang bisa menjaga diri. Tina itu centil. Tina itu menyebalkan. Senyum Tina adalah senyum wanita penjerat. Tina bukan tipe sahabat yang baik. Tina itu centil. Tina itu menyebalkan. Perempuan seperti itu akan merasa senang jika temannya ikut terjerumus ke dalam dunia yang ia kuasai.

Dodon berusaha keras melarang Nunun berkawan dengan Tina. Namun, Nunun yang haus akan kasih sayang seakan mendapatkan dunia yang indah bersama sahabatnya itu. Nunun kerapkali bersitegang dengan sang kakak tentang sahabatnya itu. Bahkan, Tina dibelanya habis-habisan.
“Kang, boga sobat Tina mah hate henteu keueung. Lamun balik burit, tangtu aya nu nganteurkeun. Jadi, Nunun benteu sieun di jalan.” (SKKS, 2004: 87)

“Kang, bersahabat dengan Tina membuat hatiku tenang. Kalau pulang malam, aku ada yang mengantarkan. Jadi, Nunun tidak pernah merasa takut di jalan.


Sejak saat itu Nunun tidak lagi bersedia berjalan berdampingan dengan sang kakak, tepatnya senantiasa menghindar dengan berbagai cara dan alasan. Nunun pun terbawa arus hidup bebas. Tubuhnya bebas dijamah tangan lelaki nakal. Dodon tersentak ketika menemukan sang adik dengan tenangnya digerayangi beberapa lelaki hidung belang. Dodon menjadi kalap dan menyerang si pengganggu itu hingga mereka tewas.
Nunun,
Akang henteu kuat cicing, basa nempo kancing baju Nunun dilaan. Erok Nunun diporosotkeun ku duaan. Peheula-heula. Padahal kacirina mah Nunun téh henteu dina kaayaan sadar. Akang henteu tahan. Jleng Akang ngajleng. Blug nindihan anu arék ngarogahala Nunun. (Sabenerna mah. Nun, Akang henteu pantes nyebut Nunun dirogahala, da sahanteuna lalaki wani ngalakukeun kitu téh lantaran Nununna daék dibabawa ‘heureuy’ ku maranéhanana). Anu duaan ngalawan. Atuh kapaksa Cimandé dikaluarkeun. Akang geus ngalanggar sumpah ka Guru. Leungeun anu dilatih pikeun ngabéla bebeneran téh, kapaksa dipaké maéhan jelema. (SKKS, 2004: 89)

Nunun,
Akang tidak dapat menahan diri, ketika melihat kancing baju Nunun dipreteli. Rok Nunun diturunkan oleh dua lelaki yang saling berebut. Padahal, kulihat Nunun ddalam keadaan tidak sadarkan diri. Akang tidak tahan lagi. Akang melompat dan menindih lelaki yang akan menggauli kamu. (Sebenarnya, Akang tidak pantas menyebut Nunun diperkosa karena tidak mungkin lelaki itu mau berbuat seperti itu jika Nunun sendiri tidak menolak dipermainkan oleh mereka). Kedua lelaki itu melakukan perlawanan dan terpaksa Akang mengeluarkan jurus Cimande. Akang sudah melanggar sumpah kepada Guru. Tangan yang semula dilatih untuk membela kebenaran, terpaksa digunakan untuk melayangkan nyawa orang lain.

Dodon pun menyerahkan dirinya kepada pihak berwajib hingga harus menerima hukuman penjara. Namun, di penjara inilah semangat hidup Dodon tumbuh kembali. Ia tidak ingin mendapatkan kegagalan yang kedua kali. Ia mengajak Nunun untuk kembali membuka lembaran baru karena ia merasa yakin bahwa pintu tobat senantiasa terbuka untuk mereka.
Nunun,
Najan urang geus jadi runtah, geus moal dilieuk deui ku dulur, moal diaku deui ku Bibi anu asa diwiwirang, masih kénéh aya waktu pikeun tobat. Sugan jeung sugan Gusti marengkeun urang panjang umur jeung bébas deui. Sugan aya kénéh jalan pikeun meresihan ngaran urang. Sugan aya waktu pikeun nglelempeng hirup urang. Urang beresihan dunya ieu ku tobat urang. Urang urus si utun anu keur dikandung ku Nunun, najan Akang henteu nyaho saha bapana.
Ulah sieun. Lawang tobat muka kénéh. (SKKS, 2004: 91—92)

Nunun,
Meskipun kini kita telah menjadi seonggok sampah yang tidak sudi dilirik oleh orang lain, yang tidak akan pernah diakui lagi oleh Bibi yang telah merasa dipermalukan, tetapi pintu tobat masih terbuka bagi kita. mudah-mudahan jalan untuk meluruskan hidup kita masih ada. Kita sucikan dunia kita dengan tobat yang sebenarnya. Kita rawat janin yang ada dalam rahim Nunun meskipun Akang tidak pernah mengenal siapa ayahnya. Jangan takut. Pintu tobat masih terbuka lebar bagi kita.


2.3 Suka Memelihara Kenangan terhadap Seseorang atau Sesuatu Hal
Cerpen yang berkaitan dengan sikap suka memelihara kenangan terhadap seseorang atau sesuatu hal adalah cerpen yang berjudul sebagai berikut, yaitu Surat Keur Ka Sawarga (Ami Raksanagara), Dongéng Sakotrét (Dyah Padmini), Mulang (Etty R.S.), dan Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin).

2.3.1 Surat Keur Ka Sawarga (Ami Raksanagara)
Cerpen yang berjudul Surat Keur Ka Sawarga (Ami Raksanagara) bercerita tentang kenangan seorang menantu perempuan kepada mertua lelakinya, Abah. Demikian dalam kenangan indah itu hingga ia menorehkannya ke dalam bentuk sebuah surat, yaitu surat yang hanya dapat ia tulis dan baca. Sayangnya surat yang terdiri dari untaian kata-kata indah itu tidak dapat ia kirimkan kepada orang yang ditujunya. Abah telah lama tiada dan sang menantu hanya dapat mengenangnya di dalam hati dan dalam sepucuk surat. Kenangan sang menantu yang sangat mendalam terhadap mertua lelakinya itu tertuang dalam kutipan berikut.
Janten abdi mah teu tiasa numpuk-numpuk banda, anu diipuk téh rasa nyaah baé. Abdi percanten, yén sing saha anu mikanyaah mahluk di bumi, bakal dipikanyaah ku Anu di Langit. Abdi percanten yén upami aya kahayang anu saé mah Pangéran téh bakal nulungan ka abdi. Abah téh kantos sasauran, titip putra Abah, badé dibeureum, badé dihideung kumaha Endén, sateuacan pupus téh. Abdi masih kénéh heureuy ka Abah téh: “Urang bodaskeun baé nya!” Abah téh imut bari neuteup ka abdi. Horéng panungtungan Abah sasauran téh. Panungtungan sumping ka Bandung ngalayadan abdi sareng putu anu kiwari mah parantos jalugjug.
Taun-taun dipapay dileumpeungan ku abdi duaan sareng pun lanceuk, henteu karaos, barudak téh parantos garaduh bekel kanggo hirupna anu mandiri. Alhamdulillah. Tangtos kauninga ku Abah ku Ema du’a abdi anu rerencepan téh kalayan rerencepan deui baé ku Allah dikabulna. Teu aya pikecapeun anu langkung saé iwal ti muji sukur ka Nu Maha Agung. Maha Welas Asih ka mahlukna. Mugi-mugi abdi sareng barudak tiasa ngeunteung ka Abah anu ngalakonan hirup di dunya téh éstu ku kecap asal cekap. Ka dituna mah kapan aya Gusti Allah.
Sakitu heula serat ti abdi. Mugi urang tiasa tepang deui dina kabagjaan, kani’matan, anu parantos dijangjikeun ku Gusti Allah yén hal éta téh bakal dipasihkeun ka mahlukna anu takwa. Mugi-mugi urang tiasa kelebet kana golongan anu éta. Amin.(SKKS, 2004: 23—24)

Oleh karena itu, saya tidak mau menumpuk banyak barang yang hanya akan menimbulkan perasaan sayang saja. Saya sangat percaya yakin bahwa barangsiapa yang berbuat baik kepada sesama akan disayang oleh Tuhan. Saya yakin jika niat baik itu akan selalu mendapat dukungan dari Tuhan. Abah pernah berkata kepada saya bahwa abah menitipkan anak Abah kepada saya, terserah apakah ia akan dibuat menjadi merah atau hitam, sebelum kembali kepada sang Khalik. Saya masih sempat bercanda kepada Abah, “Kalau begitu kita buat dia menjadi putih, ya, Abah?” Abah menatap saya sambil tersenyum. Ternyata itulah kata-kata terakhir dari Abah dan kunjungan terakhir kepada saya dan anak-anak saya yang kini telah dewasa.
Tahun demi tahun yang saya jalani bersama suami berlalu tanpa terasa hingga anak-anak kini telah dapat hidup mandiri. Tentu saja Abah dan Emak mengetahui doa-doa yang saya panjatkan diam-diam ternyata dibalas Tuhan dengan cara yang diam-diam pula. Tiada yang dapat saya lakukan selain mengucap syukur kepada yang Mahaagung dan Mahapenyayang kepada makhluknya. Semoga saya dan anak-anak saya dapat bercermin pada pola hidup yang Abah lakoni dengan moto “yang penting cukup” itu. Urusan nanti itu kan milik Allah.
Sekian surat dari saya. Semoga kita dapat berjumpa kembali dalam kebahagiaan dan kenikmatan yang telah dijanjikan Tuhan kepada makhluknya yang bertakwa. Semoga kita termasuk ke dalam golongan tersebut. Amin.


2.3.2 Dongéng Sakotrét (Dyah Padmini)
Cerpen yang berjudul Dongéng Sakotrét (Dyah Padmini) bercerita tentang kenangan seorang gadis Sunda yang sedang berada di luar negeri. Meskipun telah melanglang buana sedemikian jauh, tanah Sunda yang indah permai senantiasa bersemayam di dalam hatinya. Angannya pun melayang sedemikian jauh seakan ingin menjangkau tanah lemah cai nu hegar teh.
Napas anu kaluar tina sela-sela jajantung anu nguyung hayang buru-buru balik kalemburna, teu wasaeun meuraykeun kerak és anu narapel dina kaca jandéla kamar hotélna di kota Slany, Cékoslawakia. Panonna anu beueus ku cimata nyuay-nyuay harudum peuting anu meredong nyimbutan bumi Ĕropa Timur. Manéhna ngarahuh humandeuar bangun eungap. Unggal demi rénghapna bangun ampeg ku bangbaluh pikir sabeurat kubah Garéja St James di kota Slowakia. (SKKS, 2004: 25)

Napas yang keluar dari sela-sela jantung yang bersikeras ingin kembali ke kampung halamannya, tidak sanggup menghilangkan kerak salju yang menempel di kaca jendela kamar hotelnya di kota Slany, Cekoslowakia. Matanya yang bersimbah bulir bening itu seakan membasahi selimut malam bumi Eropa Timur. Ia menghela napas seperti dilanda sesak. Setiap hembusan napasnya seakan diiringi beban seberat kubah Gereja St. James di kota Slovakia.

Selain itu, ia juga selalu teringat lelaki pujaannya, Walangsungsang yang selalu setia menanti dirinya setiap bulan purnama tiba.
“Unggal purnama Akang sumping kadieu … ?” manéhna nanya.
“Ratusan réwu purnama Akang ngabungbang di dieu, susuganan eulis bisa mulang najan sabéngbatan …,” omongna bari ngemu imut. (SKKS, 2004: 28)

“Apakah Akang selalu datang pada saat bulan purnama …?” katanya.
“Ratusan ribu purnama Akang berdiam di sini, berharap akan ada wujud Euis walaupun hanya sekejap …,” ujarnya sambil tersenyum sipu.

Yang unik dalam cerpen ini, lelaki tersebut berasal dari bangsa lelembut yang tidak tampak di alam nyata. Lelaki itu merupakan makhluk penghuni Gunung Gedé. Lelaki itu sangat setia menantikan kedatangan wanita pujaan hatinya itu hingga ia dapat bertahan menunggunya selama ratusan ribu malam purnama! Mereka pernah bertemu, meskipun pertemuan itu harus dilakukan dengan susah payah. Hanya saja pertemuan demi pertemuan di antara kedua insane berbeda jenis itu harus terhenti ketika si eulis harus berdiam di luar negeri.


2.3.3 Mulang (Etty R.S.)
Cerpen yang berjudul Mulang (Etty R.S.) bercerita tentang seseorang yang telah dijemput ajal menjelang kepergiannya ke tempat pemakaman. Cerpen ini didominasi oleh tuturan sang penutur ketika ia menyaksikan kesedihan yang menimpa keluarganya, serta kerjasama para kerabat dan tetangganya dalam mempersiapkan proses pemakaman.
Kematian tokoh abdi (aku; bahasa Indonesia) telah membuka kenangan akan hal-hal yang pernah ia lalui sepanjang hayatnya. Sejak datang ke kota dengan selembar ijazah sampai ia dapat mereguk kehidupan yang mapan bersama keluarganya, semuanya tertera di dalam rangkaian panjang kisah hidupnya.
Tokoh abdi kembali teringat kepada ibunya yang ia panggil dengan sebutan Ema. Ketika kehidupan mapan telah diraihnya, Ema sempat mengkhawatirkan kehidupan anak lelakinya itu. Ema merasa khawatir dengan perubahan kehidupan yang dijalani oleh tokoh abdi tadi. Ema khawatir jika harta kekayaan yang kini ada dalam genggaman anaknya diperoleh dengan jalan yang tidak halal. Terlebih lagi, dengan jarangnya tokoh abdi dalam berkomunikasi dengan keluarganya. Hari-harinya hanya disibukkan dengan pekerjaannya dengan tidak memedulikan nasib orang lain. Selama ini ia hanya peduli dengan kepentingan dirinya, perusahaannya, dan egonya. Perusahaan yang ia pimpin dijalankannya dengan cara yang lazim dilakukan oleh orang yang ingin mendapatkan bagian dari kue proyek. Dengan kata lain, tokoh abdi kerap melakukan kolusi. Baginya semua menjadi penyesalan. Ketika ajal telah menjemputnya, ia baru dapat merasakan sempitnya ruang dalam kehidupan alam fana dan kejamnya saat sang maut telah menjemputnya. Penyesalan tersebut terungkap dalam kutipan berikut.
Sihoréng dunya barana téh teu salawasna kawasa. Buktina ayeuna kuring teu bisa mungpang, daék teu daék kudu ninggalkeun ieu tempat ayeuna pisan, teu meunang tempo. Asa teu werat kuring kudu paturay jeung karaharjaan, jeung maranéhna nu mikahormat ka kuring, maranéhna nu mikaceuceub, jeung maranéhna nu kungsi dibéré kagegelan, sarta maranéhna nu kungsi meunang tugenah ti kuring. (SKKS, 2004: 39)

Ternyata dunia itu tidak selalu berkuasa. Buktinya sekarang aku tidak dapat berbuat apa-apa karena mau tidak mau harus meninggalkan dunia saat ini juga. Rasanya sulit sekali berpisah dengan kesejahteraan, dengan mereka yang menaruh hormat kepadaku, mereka yang sangat menyeganiku, dan mereka yang sudah diberi sesuatu, dan mereka yang sempat merasakan kebahagiaan dariku.
Selain itu, menjelang prosesi pemakamannya, tokoh abdi baru menyadari bahwa selama ini ia hanya memedulikan kepentingan pribadinya daripada kepentingan orang lain. Selain itu ia baru dapat menyadari bahwa yang sedari tadi berbicara adalah suara batinnya sendiri.
“Gusti naha abdi mani lewang-lewang teuing? Sora saha éta nu melas-melis? Ya Allah, geuning sora hate kuring sorangan nu sasambat téh. Gusti, geuning nembé ayeuna abdi tepung deui sareng Anjeun? Geuning nembé ayeuna panon abdi beunta deui, awas deui ka maranéhna nu hirupna ngan dugi ka neda. Geuning nembé ayeuna ceuli abdi atra deui mireng nu nginghak ngemu kapeurih. Geuning nembé ayeuna irung abdi ngambeu deui héab-héabna rénghapna nu kalaparan. Geuning nembé ayeuna kulit abdi ngaraos deuii combrékna cikolombéran. Geuning nembé ayeuna diri abdi ngaraos deui jadi nu laip.” (SKKS, 2004: 39—40)

“Ya, Tuhan, mengapa aku merasa takut? Suara siapa yang memelas mendayu itu? Ya, Allah, ternyata suara itu adalah suara hatiku sendiri yang berbicara. Tuhan, ternyata sekarang saya berjumpa denganmu? Ternyata mata saya terbuka kembali dan mampu melihat kehidupan orang-orang yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ternyata telinga saya baru dapat mendengarkan tangisan orang-orang yang menahan perih kelaparan. Ternyata hidung saya baru dapat mencium aroma napas kelaparan. Ternyata baru sekarang kulit saya dapat merasakan baunya air selokan. Ternyata baru sekarang saya dapat merasakan menjadi manusia yang sengsara.”


3. Simpulan
Kumpulan cerpen yang ditulis dalam bahasa Sunda berjudul Surat Keur Ka Sawarga tersebut berisi tentang kehidupan manusia dalam kesehariannya. Tokoh dalam cerpen tersebut mewakili karakter orang Sunda dalam menjalani hidup sehari-hari dengan segala permasalahannya. Sikap orang Sunda yang tercermin di dalam kumpulan cerpen tersebut terbagi ke dalam tiga kategori berikut, yaitu (1) sikap memendam perasaan, suka mengalah, dan apriori, (2) pemaaf dan penolong, dan (3) suka memelihara kenangan akan seseorang atau sesuatu hal.
Sebelas cerpen dibagi berdasarkan kandungan tema di dalamnya yang disesuaikan dengan ketiga kategori tadi. Cerpen yang berkaitan dengan kategori (1), yaitu Aki Sasmita, Wasiat Ti Pa Mantri, Nu Mulang Ti Panyabaan, Handapeun Langit Hideung, dan Hama. Cerpen yang berkaitan dengan kategori (2) adalah Nu Datang Wanci Sareupna, Bulan Mabra Di Madinah, dan Nunun. Sementara itu, cerpen yang berkaitan dengan kategori (3) adalah Surat Keur Ka Sawarga, Dongéng Sakotrét, dan Mulang.
Sikap senang memendam keinginan atau perasaan ditunjukkan oleh tokoh Aki Sasmita dalam cerpen yang bertajuk sama. Sikap senang mengalah terdapat pada karakter Pak Mantri yang memilih untuk mundur sebelum waktunya sebagai pemimpin di lingkungan sekola yang ia bina daripada harus berkepanjang terlibat dengan lika-liku birokrasi dan administrasi yang rumit. Sikap apriori ditunjukkan oleh karakter kerabat dan tetangga tokoh Ahmad dalam cerpen Nu Mulang Ti Panyabaan, sebagian penduduk kampung terhadap keberhasilan Gan Wiria dalam cerpen Handapeun Langit Hideung, dan tokoh Ua Istri dalam cerpen Hama. Sikap apriori tersebut juga menunjukkan betapa rapuhnya pendirian mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada.
Sementara itu, sikap penolong terdapat dalam diri tokoh Danang yang senantiasa mematuhi atasannya, tetapi dengan menggunakan cara yang bersih. Dengan “kebersihannya itu” Danang tertinggal oleh rekan-rekan seangkatannya yang telah menduduki berbagai posisi strategis. Namun, hal itu justru membuat hidup Danang menjadi lebih tentram. Gaya hidup Danang juga dipuji oleh Pak Arman, mantan bosnya, yang sempat terpuruk dalam kasus korupsi. Di lain pihak sikap pemaaf terdapat pada tokoh Ibu Si Jalu ketika ia dengan iklas memaafkan kekeliruan yang diperbuat besannya terhadap keluarganya. Hal itu membuahkan terbukanya mata sang besan akan perbuatannya pada masa lalu.
Sikap senang memelihara kenangan terhadap seseorang atau sesuatu hal terdapat dalam tokoh abdi atau Endén dalam cerpen Surat Keur Ka Sawarga terhadap mertuanya--Abah, tokoh si eulis dalam Dongéng Sakotrét terhadap tanah air dan lelaki idamannya, serta tokoh kuring dalam cerpen Mulang terhadap perilakunya selama hidup di dunia fana.
Sebagai tambahan, dalam dua cerpen berikut, yaitu Dongéng Sakotrét dan Handapeun Langit Hideung, terselip ketertarikan orang Sunda terhadap dunia mistis. Dalam cerpen Dongéng Sakotrét, tokoh si eulis dikisahkan mencintai salah seorang pendekar negeri Mandalawangi bernama Walangsungsang. Sementara itu, dalam cerpen Handapeun Langit Hideung dikisahkan penduduk salah satu kampung yang lebih mempercayai isu mistis atas kekayaan dan keberhasilan Gan Wiria serta penyakit misterius yang menimpa penduduk kampung yang mengakibatkan kematian secara beruntun. Kematian tersebut selalu dikaitkan dengan kebiasaan “nyekar” atau ziarah Gan Wiria ke Gunung Koromong. Segala kebaikan Gan Wiria dan istrinya cenderung mendapatkan penolakan dari para penduduk kampung tersebut.
Secara psikologis, Surat Keur Ka Sawarga lebih merupakan refleksi kepekaan sang pengarang dalam memandang berbagai persoalan hidup manusia, terutama dalam keseharian orang Sunda. Karya sastra dan pengarang dapat dikatakan sebagai satu kesatuan (Rosa, 2007). Kepekaan pengarang tampak tertuang pada karakter yang ditampilkan dalam rangkaian cerpen yang terangkum dalam kumpulan cerpen bertajuk Surat Keur Ka Sawarga.

4. Daftar Pustaka
Patrem (Aam Amilia, et.al). 2004. Surat Keur Ka Sawarga. Bandung: PT Kilat Buku Utama.
Rosa, Helvy Tiana. 2007. Sepuluh Tahun FLP. Makalah yang disampaikan dalam kongres internasional HISKI XII di kampus UI Depok dalam rangka memperingati berdirinya 10 tahun FLP.