Rabu, 20 Februari 2008

CERPENKU

PENGHUNI RUANG PUTIH

Akulah wanita penghuni ruang putih… Ya, setidaknya nama itulah yang kerapkali terngiang di telingaku. Ruang Putih. Ya, memang demikianlah adanya tempat kuhuni selama ini. Sesuai dengan nama yang sering kudengar itu, semua yang ada di depan mataku memang dirajai dengan simbol kesucian itu. Kursi kayu, ranjang besi ala rumah sakit, buffet, tempat handuk, handuk, waslap, tirai, bingkai jendela, bingkai cermin laksana sedang meramaikan karnaval putih mania. Tidak lupa seprai, bantal, dan guling yang juga turut berpartisipasi. Barisan itu seakan tiada henti menyanyikan rangkaian irama monoton yang hanya dapat kudengar. Di ruang itu, hanya selimut yang berhias garis abu-abu tua dan merah. Benda inilah yang menjadi penyejuk bagiku dari lagu monoton itu. Semua benda itu menjadi penghias barisan tembok yang membentuk sebuah kubus berukuran kira-kira 6 dus kulkas satu pintu ukuran besar yang dilabur dengan kapur—yang tidak pernah melepaskan warna kebangsaannya, putih.
Oh, bagaimana bisa kuuraikan dengan rinci tentang semua itu. Bagaimana dapat kuceritakan secara detil tentang semua itu. Padahal, selama ini aku dicap dengan julukan satu kata, bisu. Oh, bagaimana mereka dengan sengaja menempatkan kata itu kepada diriku. Tidak, tidak, aku tidak bisu. Mereka tidak pernah tahu jika aku memang tidak bisu. Bahkan, ada satu gelar tinggi namun kejam yang sering mereka lontarkan kepadaku, gila. Tidak, tidak, aku tidak gila! Mereka tidak tahu, aku tidak gila! Lontaran demi lontaran kata-kata yang sangat aku benci itu laksana tusukan sejumlah anak panah yang tengah berjuang menembus tulang tengkorakku. Namun, aku tidak sanggup berteriak. Dan, derita senantiasa mengalir kembali ke dalam kerongkonganku. Aku pun tersedak oleh pedih dan duka yang tiada terkira. Hanya air mataku yang tidak pernah mampu meredam dan menahan dahsyatnya tekanan sejarah dalam hidupku.
Bola mataku kerapkali tertuju ke arah sebuah jendela besar yang selalu mengundang sang surya untuk membagi kehangatan cahayanya ke dalam istana, surga, sekaligus kandang yang mengurungku dengan rapat. Benda yang dihiasi juntaian tirai katun berwarna putih itu laksana layar kaca yang senantiasa menyuguhkan tayangan tentang masa laluku dengan durasi yang tidak terbatas. Dalam benda itulah aku menonton suguhan historis tentang diriku laksana kumpulan keping mozaik berwarna kusam.
Pada episode pertama, tampak sesosok mungil seakan terdorong oleh kekuatan yang dahsyat menjauh dari sarang hangat dan gelap yang telah membungkus dan memeluknya selama beberapa bulan terakhir. Suara tangisannya yang melengking bagaikan pukulan sebilah kapak tebal yang memecah sebongkah balok keheningan di tengah malam. Bulan seolah tiada henti menyorotkan sinarnya kearah tangisan tadi. Ia turut bergembira atas kehadiran seorang makhluk baru yang kelak tiada pernah mampu meledakkan tangisnya itu.
Kehadiran diriku hanyalah menjadi kegembiraan sekejap bagi sepasang manusia yang kerapkali disebut dengan sebutan orang tua. Entah apa yang terjadi, sehingga kehangatan cinta sebuah pondok yang cukup indah itu lenyap ditelan bumi. Dan aku si penghuni pondok yang baru itu seakan menjadi tumpahan kekesalan pemilik rahim yang seharusnya menjadi inang pengasuh yang terbaik bagiku. Namun tidak demikian dengan makhluk-mahluk lain telah hadir sebelumku. Kehangatan dan curahan cinta seolah tiada luntur kepada mereka. Ah, lelehan air mataku tiada pernah mampu melunturkan keibaan seisi pondok itu. Rasa iri kerapkali hadir di dalam hatiku ketika kusaksikan sebayaku lainnya telah mampu menjadi pengisi hati ayah bundanya. Kata-kata lucu yang terlontar dari mereka seolah menjadi obat peluntur kepenatan di dalam benak kedua orang tuanya. Oh, tidak demikian dengan diriku. Kata-kata yang aku ucapkan seolah menjadi panah beracun bagi mereka. Dera dan derita senantiasa menyelimuti hidupku hingga akhirnya aku memutuskan untuk menutup mulutku dan mengunci ribuan kata yang menyeruak menekan kedua bibir dan daging liat lidahku.
Aku tak pernah merasakan masa indah sebagai setangkai mawar ranum yang tumbuh di tengah hamparan taman yang tertata indah. Aku tak pernah tumbuh diantara sekumpulan bunga mawar yang lain yang bersaing merekahkan mahkotanya untuk menjaring kumbang-kumbang jantan yang perkasa. Tidak!! Bunga itu tumbuh sendirian menyepi di antara hamparan rumput sabana luas yang tak bertepi. Tak tampak seekor kumbang yang terbang ke sana. Aku tumbuh dengan tersendat-sendat dan layu dengan cepat. Bunga itu tetap mengunci kedua bibir ranumnya dengan rapat meski ribuan kata kian keras mendesak. Oh, akankah sepi terus menemaniku. Aku hampa … aku kering … aku sedih …. Ingin rasanya kuledakkan tangis di kedua mataku. Tapi, hal itu tak bisa kulakukan. Linangan sungai bening mengalir deras—kadang perlahan—di kedua sudut mataku.
Sepi kian merayapi diriku ketika satu-persatu bunga di pondok itu pergi dipetik pejantan idaman. Namun, Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya menderita sekian lama. Aku, si bunga mawar yang kian tersudut, ditemukan sang malaikat penolong. Secara bertahap, ia curahkan kasih sayangnya kepadaku. Meskipun demikian, aku masih enggan membuka mulutku dan membiarkan kemacetan di dalam rongga mulutku terlontar lepas ke dunia bebas. Tidak!! Aku tidak ingin melakukannya. Toh, dengan sabar ia bersedia memahami diriku lewat tatapan mataku. Sedikit-demi-sedikit ia tanamkan kepercayaan dalam kalbuku hingga akhirnya ia bersedia memetik diriku dan mencabut akarku dari pondok yang selama ini mengungkungku. Ah, aku hanya dapat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya kepadaku. Akhirnya, aku dapat menikmati kehidupanku di tanah yang baru, di pondok yang baru, di dunia yang baru. Pondok itu kini menjadi istana yang paling indah kurasakan bagiku. Pangeran yang kini menggadeng kedua lenganku sangat mencintaiku.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, pertautan cinta kami akhirnya tersimpul dalam sebentuk janin di rahimku. Benih itu tumbuh menemaniku setiap saat. Kuasuh dia dengan usapan tangan, deraian air mata haru, dan tatapan mataku. Ia pun memahami diriku dengan tendangan dan tonjolan tangan dan kaki mungilnya. Ahhh, betapa Tuhan Maha Pemurah!
Namun, rupanya Tuhan berkehendak lain. Dia masih ingin menguji hamba-Nya. Istana janinku tak kuat menahan beban hingga akhirnya ia tercabut dari tubuhku. Oh, tak dapat kuungkapkan deritaku dan derita pangeranku. Berat hatiku melepas teman setiaku di kala aku sedang sendiri dan teman setia kami di kala kami sedang bersama. Sepertinya aku tidak diizinkan untuk mengasuh benih-benih kami ketika kami harus berulangkali kehilangan buah kasih kami. Namun, di balik deritaku masih ada terang dalam hidupku ketika sang pangeran tiada henti menghiburku dan membimbingku menapaki jalan hidup kami.
Goncangan mahligai kami seakan sulit dihentikan tatkala aku telah dapat berdiri tegak. Setangkai mawar hitam yang kerap menebar harumnya di depan istana kami mulai menabur durinya di celah-celah dinding istana. Kian hari kian banyak saja duri yang ia tebar di sekitar kami hingga akhirnya menancap pada sang pangeran. Duri yang ia tancapkan kepadanya mulai menyebarkan racun di dalam tubuhnya dan pikirannya. Lambat laun, pandangan kasihnya pada diriku mulai redup. Ia semakin terjerat ke dalam jala beracun yang ditebar mawar hitam itu. Jala itu kian rapat membungkus tubuh sang pangeran hingga ia tidak berkutik dan tunduk dihadapan sang mawar yang kini semakin leluasa membusungkan dadanya. Duri-duri liarnya kian gencar menancap di istana kami hingga akhirnya mawar merah yang telah tegak itu terseret dan tersingkir. Aku, sang putri yang terbuang dari istana, kini meringkuk di sudut ruang putih ini tak berdaya. Sang pangeranlah—dalam ketidaksadarannya—yang menempatkanku di sini. Aku terpuruk di tempat ini lama sekali. Aku tidak dapat membayangkan apa yang mawar hitam lakukan kepada sang pangeran. Aku tidak sanggup menayangkan dugaanku di pelupuk mataku.
Air mata tak lagi menetes sebagai penanda kesedihanku. Meskipun demikian aku tidak pernah mampu menghilangkan tayangan ulang episode demi episode dalam kehidupanku yang senantiasa berputar dalam layar kaca lebar di ruang itu. Jendela besar itu tak ubahnya sebuah televisi yang tak pernah mati.
Kesepian dan kehampaan ini kujalani apa adanya meskipun luka dalam tubuhku seakan tiada terobati. Sang pangeran tak pernah menampakkkan batang hidungnya sekian lama. Masa berganti masa, Tuhan masih menyayangi umat-Nya. Tatkala tubuh dan kalbu ini lemah lunglai dalam penantian dan asa telah hampir lenyap ditelan masa, cahaya datang ke istana putih ini tanpa kuduga sebelumnya. Sang pangeran mucul ke hadapanku dan berjalan ke arahku. Aku terhenyak menyaksikan semua itu. Raut wajah dan lengkah lemahnya menyiratkan kelelahan yang tiada terhingga atas tekanan sang mawar hitam. Duri tak lagi tertancap di tubuhnya. Entah apa yang terjadi, aku tak pernah dapat menduganya ketika tubuh pangeran yang telah lama tak lekat dalam pelukanku menghambur dan memburu ke arahku. Tangis dan jutaan maaf dan sesal terlontar dari kalbunya yang tulus. Mata air dalam di balik kedua mataku mulai memancarkan bulir-bulir yang telah lama menghilang dari permukaannya. Lelehan sungai deras pun tak dapat kutahan lagi hingga tercurah ke arah ubun-ubun sang pangeran yang wajahnya tertelungkup di atas pangkuanku.
Lama kemudian, tatkala tangis telah mereda, sang pangeran berkisah tentang segala hal yang telah ia alami. Ketika duri berbisa sang mawar hitam menancap di tubuhnya, sang pangeran tidak mampu mengingat dan mengenali dunia di sekitar istananya, termasuk, sang putrid tercintanya. Entah apa yang diperintahkan oleh sang mawar hitam, hingga ia tega menyingkirkan sang putri dan membuangnya jauh ke luar istana. Selama itu, sang mawar hitam terus menancapkan duri-duri liarnya ke tubuh sang pangeran hingga tak tersisa sedikit celah pun. Pada saat itulah, bisa duri tersebut mulai berkurang kedahsyatannya hingga lama kelamaan sang pangeran mulai bangkit dan mengingat semuanya. Kejahatan tiada pernah panjang umurnya karena senantiasa terpatahkan oleh kebaikkan. Pangeran mulai menyadari bahwa dirinya bukanlah milik si mawar hitam jahanam melainkan milik mawar merah nan budiman. Dengan susah payah ia cabut duri ganas itu satu per satu hingga duri itu, akhirnya, berbalik menancap di tubuh sang mawar hitam. Mawar itu akhirnya terkulai lemas dan mati termakan racunnya sendiri. Ia lenyap ditelan masa. Sang pangeran berupaya keras mencari mawar yang hilang hingga akhirnya mendapatkannya kembali. Mawar merah melankolis yang dulu pernah ia telantarkan kini terpuruk dalam kondisi yang mengenaskan.
Kisah itu berakhir seiring bisikan permohonan halus di bibir sang pangeran dan kepalanya terkulai. Mawar merah harus kehilangan kebahagiaan yang baru saja ia dapatkan. Pangeran pergi dengan sesungging senyum di bibirnya.
Mawar merah itu kembali diterpa sepi dan derita. Ia duduk terkulai di sudut bingkai jendela menatap layar lebar yang kembali memutar episode demi episode kehidupannya. Hingga pada suatu hari ia merasakan dirinya dapat menembus kaca tebal di ruang putih dan terbang perlahan ke langit biru. Ia sempat menoleh ke arah jendela itu dan melihat seorang wanita penghuni ruang putih berkulit kuning langsat dan berambut hitam ikal panjang bak mayang terurai tertelungkup di tepi jendela.

Bandung, 17 Februari 2006

1 komentar:

Tata Danamihardja mengatakan...

Gaya surrealis ya? Sayangnya aku rada kesulitan menangkap gagasan utamanya. Atau mungkin 'bekalku' yang kurang :-)