SURAT KEUR KA SAWARGA: TINJAUAN PSIKOLOGIS
TERHADAP SIKAP DAN KESEHARIAN ORANG SUNDA
Resti Nurfaidah
Abstract: A group of Sundanese female writers called Patrem wrote the antology of short stories, named Surat Keur Ka Sawarga (Letter for the Heaven). They were talking about the attitude and the habitual action of the Sundanese seeing such problems they found. This could be the point of view or the comment of those writers in caring some daily problems or social problem. It should be examined with such way concerning the attitude or the action of the character or the writer itself, called literature phsychology. Through this science, we could find the reasons or result of the attitude or the action towards the life of characters of stories.
Keywords: cerpen, sikap orang Sunda
1. Pendahuluan: Kumpulan Cerita Pendek Surat Keur Ka Sawarga
Surat keur ka sawarga merupakan sebuah antologi atau kumpulan cerpen yang ditulis oleh sebelas penulis cerita wanita dalam bahasa Sunda, sebagian di antaranya juga menulis karya dalam bahasa Indonesia, yaitu Aam Amilia, Ami Raksanagara, Dyah Padmini, Etty R.S., Holisoh M.E., Nanéng Daningsih, Risnawati, Sum Darsono, Tétty Hodijah, Tétty Suharti, dan Yooke Tjuparmah S. Komarudin. Antologi surat keur ka sawarga terdiri atas sebelas cerpen yang berjudul sebagai berikut, yaitu Aki Sasmita (Aam Amilia), Surat Keur Ka Sawarga (Ami Raksanagara), Dongeng Sakotrét (Dyah Padmini), Mulang (Etty R.S.), Wasiat Ti Pa Mantri (Holisoh M.E.), Handapeun Langit Hideung (Nanéng Daningsih), Hama (Risnawati), Nu Mulang Ti Panyabaan (Sum Darsono), Nu Datang Wanci Sareupna (Tétty Hodijah), Bulan Mabra Di Madinah (Tétty Suharti), dan Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin). Kesebelas cerpen tersebut dalam paparan selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tema umum yang terkandung di dalamnya, yaitu satir terhadap pandangan dan sikap hidup orang Sunda, di antaranya (1) sikap memendam perasaan, suka mengalah, dan apriori, (2) pemaaf dan penolong, dan (3) suka memelihara kenangan akan seseorang atau sesuatu hal. Pembahasa tentang kesebelas cerpen tersebut dilakukan dengan pendekatan psikologisastra.
2. SURAT KEUR KA SAWARGA: TINJAUAN PSIKOLOGIS TERHADAP SIKAP KESEHARIAN ORANG SUNDA
Paparan mengenai kumpulan cerita pendek Surat keur ka sawarga tersebut dilakukan berdasarkan pada pembagian kategori subtema tadi, (1) sikap memendam perasaan, suka mengalah, dan apriori, (2) pemaaf dan penolong, dan (3) suka memelihara kenangan akan seseorang atau sesuatu hal. Cerpen yang berkaitan dengan kategori (1), yaitu Aki Sasmita, Wasiat Ti Pa Mantri, Nu Mulang Ti Panyabaan, Handapeun Langit Hideung, dan Hama. Cerpen yang berkaitan dengan kategori (2) adalah Nu Datang Wanci Sareupna, Bulan Mabra Di Madinah, dan Nunun. Sementara itu, cerpen yang berkaitan dengan kategori (3) adalah Surat Keur Ka Sawarga, Dongéng Sakotrét, dan Mulang.
2.1 Sikap Memendam Perasaan, Suka Mengalah, Jaim, Agamis, dan Apriori
Cerpen yang berkaitan dengan kategori tersebut, yaitu Aki Sasmita (Aam Amilia), Wasiat Ti Pa Mantri (Holisoh M.E.), Nu Mulang Ti Panyabaan (Sum Darsono), Handapeun Langit Hideung (Nanéng Daningsih), dan Hama (Risnawati).
2.1.1 Aki Sasmita (Aam Amilia)
Aki Sasmita karya Aam Amilia bercerita tentang kehidupan seorang lelaki berumur yang setia dengan kehidupan di alam pedesaan kampung Heulangruyuk. Ia menolak diajak tinggal bersama oleh anak-anaknya yang telah hidup mapan di kota. Ketenangan di kampung tersebut menjadi terganggu. Akibat perkembangan pembangunan nasional, desa tempat tinggal Aki Sasmita pun harus menelan getahnya. Pihak pengelola sebuah tempat widata datang ke kampung itu untuk membeli tanah dan sawah penduduk. Penduduk di tempat itu banyak yang tergoda untuk menjual tanah dan sawahnya yang subur dengan iming-iming nilai bayaran ganti rugi yang menggiurkan, termasuk Aki Sasmita. Tanah dan sawah yang dibeli itu akan dijadikan sebagai tempat wisata esklusif. Orang kota yang mengurus pembangunan itu berjanji akan melibatkan penduduk desa tersebut sebagai tenaga kerja di tempat wisata itu.
Ternyata, janji tinggal janji karena hanya segelintir orang saja yang ditarik sebagai tenaga kerja, pelayan, di tempat itu. selebihnya karyawannya didatangkan berdasakan hasil seleksi ketat di kota. Penduduk di desa itu berharap dapat mengais untung dengan berjualan di sekitar tempat wisata. Malang tak dapat diraih, orang yang datang ke tempat itu kebanyakan orang kota yang berselera tinggi. Mereka tidak pernah tertarik dengan jajanan tradisional yang dijajakan oleh para penduduk tersebut. Hancurlah perekonomian mereka. Kehancuran tersebut ternyata berbuah panjang. Pihak tempat wisata seolah mempermainkan penduduk ketika mereka menagih sisa uang penggantian tanah. Pihak pengelola enggan menuntaskan kewajibannya dengan alasan penduduk tersebut hanya mempunyai kwitansi bersama bukan sertifikat tanah. Lain halnya dengan beberapa gelintir orang yang telah memiliki surat berharga itu sebelumnya, mereka mendapat penggantian dengan harga yang lumayan besar. Aki Sasmita mempertaruhkan nalurinya. Meskipun ia telah memiliki sertifikat tanah, ia tidak berkehendak untuk melakukan hal serupa karena menaruh empati kepada para tetangganya yang malang.
Aki Sasmita merupakan tipe orang yang tidak ingin menang sendiri sementara disekitarnya banyak korban bergeletakan akibat ketidakadilan pembangunan ekonomi pada saat rejim orde baru. Sebenarnya Aki Sasmita bisa saja memberikan sertifikat sawah kepada pengelola dan menikmati uang kompensasi yang lumayan besar. Sikap Aki Sasmita yang tegas itu tampak dalam kutipan berikut.
“Kang, urang mah sanés aya sértipikatna tanah téh?” cék pamajikanana.
Manehna unggeuk laun pisan.
“Atuh urang ka Désa, ngarah kénging panggentosan.”
Aki Sasmita gideug.
“Ulah, simpen waé dina lomari,” pokna antaré. (SKKS, 2004: 17)
“Kang, bukankah kita punya sertifikatnya?” ujar istrinya.
Aki Sasmita mengangguk perlahan.
“Kalau begitu kita pergi ke Balai Desa supaya dapat uang pengganti.”
Aki Sasmita menggeleng.
“Jangan! Simpan saja benda itu di dalam lemari,” katanya datar.
Tidak! Aki Sasmita bukan tipe lelaki egois. Ia justru meratapi nasib sebagian besar penduduk kampung itu yang semakin terpuruk, seperti yang tercantum dalam kutipan berikut.
Basa ngiceup karasaeun aya nu ngeclak tina panonna, haneut mapay pipina anu karijut. (SKKS, 2004: 18)
Saat mengedipkan matanya, Aki Sasmita merasakan buliran bening mengalir dari kelopak matanya merayapi pipinya yang sudah keriput itu.
Aki Sasmita merupakan tipe lelaki yang peduli dengan nasib sesama. Ia tidak ubahnya laksana malaikat bagi penduduk kampung itu, antara lain, menjadi tempat perlindungan. Aki Sasmita pernah ikut unjuk rasa ke kantor wakil rakyat. Namun hanya sekali itu saja ia melakukan hal itu. Selanjutnya lelaki itu menolak jika harus terjun ke lapangan untuk ikut berdemo karena ia telah dapat menduga apa yang akan diterima penduduk oleh pengelola tempat wisata itu. Kebodohan penduduk itulah yang menyebabkan rusaknya perekonomian di desa itu. Mereka cenderung buta hukum dan selalu ditempatkan pada posisi yang marginal. Pembangunan tempat wisata itu hanya berbuah manis bagi segelintir orang saja. Pembangunan tersebut tidak berimbas pada peningkatan hidup masyarakat bawah tetapi lebih melebarkan jurang antara si miskin dan si kaya. Situasi itu tampak jelas dalam kutipan berikut.
Saréréa narima duit panjer, terus naranda tangan. Aya nu dibeulikeun sawah, aya nu dipaké dadagangan. Tapi anu dararagang téh malik sué. Da nu daratang ka lapangan, jelema jegud tur garandang. Bangun teu harayangeun mareuli goréng sampeu, goréng hui, anu rayap di gigireun pager lapangan. Atuh daragang téh ukur lalajo nu maén waé. Angot sanggeus teu jauh ti dinya aya kantin, nya badag, nya alus. Nu ngalayananana ogé jarangkung, gareulis karasép, maraké gaju saragem. Atuh nu daragang sisi lapang mah léléd waé. (SKKS, 2004: 13)
Semua orang menerima uang muka, lalu menandatangi surat. Sebagian ada yang dibelikan sawah, ada pula yang dipakai modal untuk berdagang. Namun, malang bagi para pedagang karena berbalik rugi. Para pengunjung ke tempat wisata itu kebanyakan berasal dari kalangan terpandang dan kaya. Mereka tidak berminat untuk membeli makanan yang dijajakan oleh para pedagang, seperti singkong atau ubi goreng, yang berderet di sekeliling pagar lapangan itu. Pada akhirnya, para pedagang hanya menjadi penonton saja. Para pengunjung lebih memilih membeli makanan di sebuah kantin modern yang didirikan di tempat itu. Para pelayan yang bekerja di tempat itu rata-rata bertubuh tinggi, berpenampilan menarik, dan berbaju seragam. Berdirinya kantin tersebut telah menyingkirkan para pedagang kecil itu.
Sikap Aki Sasmita tersebut merupakan empati atas penderitaan yang menimpa sebagian besar penduduk kampung itu. Selain kehilangan lahan dan harta, mereka juga kehilangan pekerjaan. Uang kompensasi yang dijanjikan pihak pengelola tersebut sebagai uang muka telah lama habis. Sementara itu, sisa uang penggantian tidak kunjung diterima karena bukti kwitansi yang mereka pegang ternyata cacat hukum. Inilah potret sisi buruk pembangunan nasional yang tidak merata dan tidak berwawasan lingkungan. Pembangunan tersebut tidak melibatkan tenaga lokal. Sekalipun ada yang terpilih, mereka hanya menempati posisi yang kurang menguntungkan karena dianggap tidak punya nilai jual. Tenaga pelayan pun sebagian besar didatangkan dari kota yang lebih berdaya jual lebih tinggi.
Pembangunan tempat wisata tersebut bersifat ekslusif karena tidak melibatkan potensi lokal. Demikian pula dengan para pengunjung yang bersikap “ogah” membeli makanan tradisional dan sederhana yang dijajakan dengan seadanya oleh para penduduk lokal. Mereka cenderung memilih makanan yang dijajakan di kantin ekslusif yang disediakan oleh pihak pengelola. Selera para pengunjung yang berselera “sangat inggil” tersebut semakin membuat para penduduk sekitar terperosok kian dalam ke jurang penderitaan. Kepedulian Aki Sasmita merupakan refleksi sikap sang pengarang yang cukup peka dan jeli memandang nasib sebagian kelompok masyarakat yang termarginalkan dalam pembangunan nasional. Hanya demi kepentingan dan keuntungan segelintir kelompok masyarakat, pembangungan elit sanggup menyingkirkan kelompok masyarakat lain, yang sebenarnya lebih memerlukan.
2.1.2 Wasiat Ti Pa Mantri (Holisoh M.E.)
Cerpen Wasiat Ti Pa Mantri bercerita tentang akhir masa jabatan seorang kepala sekolah atau dalam bahasa lingkungan pendidikan Sunda lebih dikenal dengan mantri sakola. Pak mantri merasa bahwa ia tidak akan sanggup memikul beban administrasi dan birokrasi yang semakin sulit, terlebih setelah sekolah yang ia bina mendapatkan bantuan dari bank dunia. Ia merasa lelah dengan lika-liku yang harus ia hadapi dan merasa khawatir bahwa ia akan terjerat ke dalam arus budaya korupsi. Untuk itu, ia ingin menyelamatkan diri dari setan yang melingkar dalam kinerja pegawai negeri itu. ia mengundurkan diri lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Namun, penyesalan sempat terungkap ketika surat pengunduran dirinya telah ditangan. Berat rasa hati mantan pak mantri yang sangat dihormati oleh kalangan guru dan siswanya itu. Demikian pula dengan para guru dan siswa yang melepas kepergian mantan orang nomor satu di sekolah itu dengan perasaan yang sama.
Pak mantri tergolong tipe pegawai yang bersih dan berbuat sejujurnya dalam menangani masalah di sekolah yang ia bina. Ia juga menjadi pemimpin yang bijaksana dan mampu menempatkan diri di berbagai kalangan. Setelah selama ini dihadang birokrasi yang rumit, beban dirinya sebagai pak mantri semakin bertambah. Terlebih lagi setelah sekolah yang ia bina mendapatkan bantuan dari bank dunia, buah karya usahanya yang tidak sia-sia. Namun, bantuan tersebut harus dibayar mahal dengan semakin berlikunya birokrasi yang harus dilalui, termasuk hal-hal yang sepele sekalipun, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.
Komo ayeuna, sakolana meunang bantuan ti bang dunia, atuh tambah gawé, nyieun éspéjé. Seug nyieun éspéjé dana bantuan operasional ti bang dunia mah, dedegler, hiji bon téh kudu opat rangkep. Kudu kumplit, cap lunas ti toko nu dibalanjakeun. (SKKS, 2004: 41)
Terlebih lagi, sekolah tersebut mendapatkan bantuan dari bank dunia, sehingga menambah beban kerja dengan membuat arsip. Membuat arsip untuk bantuan dari bank dunia tersebut bukan pekerjaan mudah karena selembar bon pembelian harus disertai empat rangkap salinannya. Bon tersebut harus dilengkapi dengan cap dari toko tempat pembelian barang itu. (SKKS, 2004: 41)
Akibatnya, pak mantri sampai pada titik jenuh dan titik tertinggi atas beban yang harus ia tanggung. Ia merasa khawatir jika terlalu lama berkutat dengan kesulitan itu, ia akan terperosok ke dalam berbagai hal yang tidak ia kehendaki, seperti korupsi atau nepotisme. Pak mantri senantiasa menginginkan hidupnya bersih karena kedudukannya sebagai orang nomor satu di lingkungan pendidikan yang ia bina senantiasa dijadikan sebagai cermin keteladanan oleh para guru, siswa, maupun pegawai rendahan. Pak mantri memutuskan untuk keluar dari beban yang membelit kinerjanya kendatipun dengan berat hati. Ditinggalkannya sederet wasiat yang ia camkan kepada para guru agar mereka bertindak sebijaksana mungkin dalam menangani segala hal. Wasiat tersebut terungkap pada kutipan akhir dalam cerpen berikut.
“Syukur! Bapa reugreug meureun pansiun téh! Moal marojéngja. Ngan peupeujeuh sakali deui, sipat-sipat urang anu hade, omat ulah nepi ka leungit. Gotong royong, sosial, silih tulungan, silih bélaan jeung babaturan, silih tutupan kagoréngan, silih geuing, kadé ulah nepi ka leungit! Jeung peupeujeuh, ka barudak ulah hampang leungeun! Da biasa budak mah sok carékeun. Urangna kudu sabar. Keun da atikeun urang,” omongna bari ngasupkeun deui amplop kana map. (SKKS, 2004: 47)
“Syukur! Bagi Bapak pensiun itu sangat melegakan! Tidak akan menderita. Hanya saja jangan lupa, sekali lagi, dengan sifat baik yang kita miliki, jangan sampai hilang! Gotong royong, rasa sosial, saling menolong, saling membela sesama, saling menutupi aib, saling mengingatkan, jangan sampai hilang. Satu hal lagi, jangan suka memukul anak-anak! Anak-anak memang harus kita arahkan. Sementara itu, kita harus bersabar dalam menghadapi mereka. Mereka kan tanggung jawab kita,” ujarnya sambil memasukkan amplop kembali ke dalam map.
2.1.3 Nu Mulang Ti Panyabaan (Sum Darsono)
Cerpen Nu Mulang Ti Panyabaan bercerita tentang Ahmad, seorang pria yang berprofesi sebagai pedagang baju di kota. Ia baru saja tiba di rumahnya setelah menempuh perjalanan berniaga di kota selama tiga minggu. Rindu yang tidak tertahankan ingin ia curahkan kepada anak dan istrinya. Namun, ia sempat terhenyak karena pada saat yang sama istrinya sedang menyelenggarakan acara tahlilan. Ahmad telah dianggap tiada karena sebuah kesalahpahaman.
Dalam perjalanan pulang, Ahmad mendapat musibah. Dompetnya dicuri orang ketika ia telah duduk di sebuah bis umum. Meskipun kondekturnya berbaik hati untuk menghutangkan ongkos perjalanan, Kang Ahmad memilih turun dan kembali ke kota. Tidak lama ia mendengar bahwa bis yang pernah ia tumpangi itu mengalami kecelakaan yang tragis dan menimbulkan banyak korban. Salah seorang di antaranya adalah orang yang mencuri dompet Ahmad. Dompet tersebut diserahkan kepada polisi tanpa sempat dikurangi isinya. Dari orang yang mengantarkan dompet itu dikatakan bahwa pemilik dompet itu telah meninggal dunia dalam tragedi itu. Jadilah sang istri dilanda kesedihan. Acara tahlilan pun digelar untuk mengenang suaminya. Ternyata semuanya salah kaprah. Beruntung, Ahmad dengan jeli menyimpan uang di berbagai tempat di tubuhnya, hingga ia selamat sampai tujuan.
Dari cerpen tersebut tampak bahwa kerabat, tetangga, dan keluarga Ahmad bersikap mudah terpengaruh oleh sesuatu hal yang belum tentu teruji kebenarannya. Hanya karena dompetnya ditemukan dan berita sepihak dari pihak kepolisian, mereka mudah mempercayainya. Terlebih kondisi mayat si pencopet yang sulit diidentifikasi. Semakin lengkaplah sudah berita tersebut. Sementara itu sikap Ahmad yang menolak untuk menerima kebaikan kondektur yang bersedia menghutangkan ongkos bis kepadanya merupakan sikap yang menunjukkan rasa malu sekaligus jaim. Ia enggan pulang ke hadapan anak dan istrinya dengan tangan hampa. Kang Ahmad memilih turun. Namun, sebagai orang yang agamis, Kang Ahmad hanya dapat memohon kepada Illahi Robbi agar Dia memberikan yang “lebih” kepadanya. Setelah dilihatnya barang-barang miliknya kembali utuh, Ahmad merasa yakin bahwa yang mengambil dompetnya adalah tangan Tuhan. Ia merasa yakin bahwa tangan Tuhanlah yang telah menyelamatkan dirinya dari kecelakaan bis yang pernah ia tumpangi itu. Hal itu tertera dalam kutipan berikut.
“Horéng Panangan Anjeuna hakékatna mah nu nyandak lokét kuring téh, sangkan kuring leupas tina balai,” Ahmad ngusap panonna. Sorana dareuda. (SKKS, 2004: 67)
“Ternyata tangan Tuhan-lah sebenarnya yang mengambil dompet saya sehingga saya dapat terhindar dari musibah,” Ahmad mengusap matanya. Suaranya seperti menahan tangis.
2.1.4 Handapeun Langit Hideung (Nanéng Daningsih)
Cerpen Handapeun Langit Hideung bercerita tentang sikap penduduk suatu kampung yang cenderung mudah dipengaruhi oleh isu sosial. Padahal, isu tersebut belum tentu terbukti kebenarannya. Juragan Wiria sebagai orang terkaya di kampung itu, dianggap sebagai budak setan. Kekayaannya semakin bertambah dalam tempo cepat. Kecurigaan tersebut semakin bertambah dengan peristiwa kematian para penduduk, terutama yang pernah bekerja di rumah Gan Wiria. Penyakit misterius yang melanda penduduk kampung yang bertumpang tindih dengan isu mistis mendorong Nyi Anah, salah seorang penduduk kampung tidak mampu mengendalikan pikiran dan perasaannya terhadap kebaikan Gan Wiria dan istrinya.
Peristiwa yang menimpa penduduk kampung menunjukkan betapa rapuhnya kepribadian mereka. Bukannnya mencari penyebab timbulnya penyakit itu, melainkan lebih menggeluti isu mistis yang belum tentu terbukti keabsahannya. Nyi Anah, salah satu di antaranya, menganggap penyakit demam tinggi yang diderita anaknya sebagai akibat dari seringnya sang anak bermain bersama anak Gan Wiria, Jang Entu!
Karena kebenciannya kepada orang terkaya di kampung itu, Nyi Anah lebih memilih dukun yang tidak tahu asal-usulnya untuk mengobati anaknya, daripada harus menerima kebaikan Gan Wiria dan istrinya yang berniat membawa sang bocah berobat ke rumah sakit. Wal hasil, salah penanganan medis tersebut menyebabkan sang bocah menemui ajalnya dalam tempo singkat. Sepeninggal sang bocah, Nyi Anah bukannya menyadari kekeliruannya melainkan semakin menjadi-jadi. Bahkan ia menolak beras pemberian istri Gan Wiria karena menganggap barang pemberian tersebut sebagai pengganti nyawa anaknya.
“Tong diisikan béas éta mah, tong diisikan ganti anak aing mah. Tong diisikan panukeur nyawa anak aing mah. Saha anu daék nukeurkeun nyawa anak ku béas sasaid?” cenah. Kuring bati bareuheudeun. Hadéna Ceuk Idah geus balik. (SKKS, 2004: 55)
“Jangan dicuci berasnya! Jangan dicuci barang pengganti anakku itu! Jangan cuci beras pengganti nyawa anak ku itu! Siapa yang mau menukar nyawa anak dengan beras sedikit?” katanya. Saya hanya mengelus dada. Untungny, Ceuk Idah sudah kembali ke rumahnya.
Nyi Anah dilanda trauma hebat pascakematian anaknya. Sementara itu, istri Gan Wiria menaruh rasa sedih dan merasa ketakutan akan kehilangan anak sematawayangnya.
2.1.5 Hama (Risnawati)
Hama bercerita tentang seorang wanita yang mudah terpedaya dan tergiur isu sekitar. Pada awalnya, wanita setengah baya itu merasa rugi menyaksikan hasil panennya yang hampir gagal karena ulah hama tikus. Melihat tetangganya beternak ikan lele, ia memutuskan untuk memutar haluan. Lahan pesawahan yang dimilikinya diubahnya menjadi kolam ikan lele. Ternyata usaha yang ia jalani sudah membuahkan kegagalan sebelum memberikan hasil kepadanya. Ikan lele peliharaannya habis dimakan biawak yang berkeliaran pada malam hari.
Wanita yang dipanggil Ua Istri oleh si tokoh aku tersebut merupakan tipe manusia yang rapuh dan mudah berubah pendiriannya. Ketika hasil panennya tidak menggembirakan karena diserang hama tikus, ia melihat keberhasilan orang lain yang beternak ikan lele. Dengan mudah ia berpindah haluan dengan mengubah lahan sawah menjadi kolam ikan lele raksasa yang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Namun, apa daya, peternakan yang baru terhitung dua mingguan tersebut hanya membuahkan kekecewaan. Hawa biawak menyerang ikan lele peliharaannya. Tidak banyak yang dapat dilakukannya selain menelan rasa kecewa.
“Saha nu teu handeueul atuh Endin. Nu kaluar téh lain duit leutik-leutik. Urut nyieun balong gé ampir sajuta. Can meuli binih jeung parab. Ari ayeuna samara balik deui, nempo kieu mah,” soantenna alon pisan. (SKKS, 2004: 62)
Siapa yang tidak akan menyesali hal itu, Endin. Yang sudah kukeluarkan itu bukan jumlah yang sedikit. Modal untuk membuat kolam pun hampir satu juta. Belum untuk membeli benih dan pakan. Sekarang rasanya enggan pulang jika melihat kondisi seperti ini,” suaranya perlahan.
2.2 Pemaaf dan Penolong
Cerpen yang menunjukkan sikap pemaaf dan penolong adalah cerpen yang berjudul Nu Datang Wanci Sareupna (Tétty Hodijah), Bulan Mabra Di Madinah (Tétty Suharti), dan Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin).
2.2.1 Nu Datang Wanci Sareupna (Tétty Hodijah)
Cerpen Nu Datang Wanci Sareupna bercerita tentang seorang anak buah, bernama Danang, yang kedatangan mantan atasannya pada senja hari. Pak Arman, nama tamu itu, sengaja datang untuk mengunjungi mantan anak buahnya yang juga telah banyak membantu meringankan tugasnya.
Sewaktu masih berdinas, Pak Arman pernah meminta Danang untuk menyusun sebuah buku tentang Tatar Sunda. Pak Arman yang notabene non-Sunda merasa kesulitan untuk menuntaskan tugas yang dititahkan oleh pimpinannya. Ia meminta bantuan Danang yang dianggapnya mampu membuatkan tugas itu. Danang pun menyanggupinya. Sebagai kompensasi, Pak Arman memberikan uang dengan nilai yang sangat besar kepada Danang. Setelah membuat “karya besarnya” itu, Pak Arman diangkat sebagai kepala kantor selama dua tahun lamanya, menggantikan pimpinan sebelumnya, Pak Sasmita. Saat Pak Arman diberhentikan terdengar gosip yang tidak sedap, ia terjerat kasus korupsi. Danang tidak pernah mengetahui kebenaran berita itu.
Ngadéngé kasauran Pak Arman kitu téh tarang rada kerung, naha enya kapala kantor dibobodo ku pingpinan proyék, atawa pingpinan proyék nu diperes ku kapala kantor? Kapan salila ieu réa nu tinggerendeng, majar pingpinan proyék mah saukur bonéka, nu buncirna mah kapala kantor. Mana nu bener, atuh? (SKKS, 2004:76)
Mendengar pembicaraan Pak Arman seperti itu, keningku menjadi berkerut. Apa iya kepala kantor yang dibodohi oleh kepala proyek, atau kepala proyek yang diperas oleh kepala kantor? Bukankah selama ini banyak yang membicarakan bahwa kepala proyek hanyalah sebuah boneka. Justru, asal-muasalnya dari kepala kantor. Mana yang benar, nih?
Danang tergolong pegawai yang bersih. Ketika rekan-rekan seangkatannya telah menduduki jabatan penting, Danang masih ditempatnya semula. Namun, Pak Arman membesarkan hati Danang bahwa dirinya jangan sampai tergiur dengan jabatan. Jabatan merupakan beban berat bagi seorang pegawai. Danang harus bercermin kepada peristiwa yang telah dialaminya, tuduhan korupsi. Pak Arman yang sempat menjadi tersangka tetap menyangkal bahwa dirinya pemakai dana hasil korupsi. Sementara itu, Danang masih dilanda kebingungan antara percaya atau tidak kepada mantan atasannya itu.
Nasihat yang disampaikan Pak Arman kepada Danang adalah kisah usang yang banyak terjadi dalam kasus korupsi. Tertuduh malah berbalik saling menuduh satu sama lain dan selalu menginginkan dilihat sebagai pihak yang bersih. Apa yang dilakukan oleh dirinya adalah atas tekanan dan “titah” dari pihak lain yang dianggap lebih berkuasa.
2.2.2 Bulan Mabra Di Madinah (Tétty Suharti)
Cerpen ini berbicara tentang perseteruan antarbesan akibat kekisruhan yang terjadi pada perkawinan anak-anak mereka. Ibu kandung Si Jalu merasa sangat kecewa terhadap sikap besannya yang, pada awalnya, tidak merestui perkawinan anak mereka—Si Jalu dan Si Eulis! Mertua Si Jalu juga senang mengumbar janji, di antaranya akan membantu biaya pengobatan Si Eulis selama dirawat di rumah sakit. Namun, sampai ajal menjemput anak perempuannya itu, ibu Si Eulis tidak pernah memberikan bantuan sepeser pun. Kekecewaan ibu Si Eulis berawal pada perkawinan anaknya, Si Eulis, dengan Si Jalu. Baginya, Jalu bukanlah menantu yang dapat diharapkan. Kehidupan perkawinan Si Eulis yang serbakekurangan itu membuatnya sangat kecewa. Padahal, Si Eulis sendiri tidak pernah mempermasalahkan kesulitan hidup yang ia alami dengan keluarganya.
Pada suatu saat mertua Si Jalu mengabarkan bahwa ia dan suaminya akan berangkat menunaikan ibadah haji. Mendengar hal itu, ibu Si Jalu memanjatkan doa untuk besannya. Di dalam doanya itu terselip keinginan beliau untuk melupakan janji sang besan untuk membantu biasa perawatan Si Eulis dahulu serta menganggap hutang besannya yang tidak pernah dipenuhinya itu sudah lunas. Selain itu, ibu Si Jalu memanjatkan ampunan kepada Illahi Robbi untuk menghapus dosa-dosa sang besan kepadanya maupun dosa-dosa dirinya kepada sang besan.
“Ya Robbi, mun kénging abdi panuhun, mugi jangji ieu pun dulur anu teu kantos katedunan, dianggap lunas. Ulah janten halangan harungan kana niatna ibadah. Pilakadar artos nu teu sabaraha, abdi henteu kaabotan. Mugi dibangglaskeun, dibébaskeun hutangna dianggap lunas. Mun bade ngitung rugi ogé, abdi mah mung ukur rugi artos, nu tiasa disiar deui. Tapi aranjeunna, tos leungiteun nyawa nu moal tiasa digentosan deui,” kuring ngarahuh. (SKKS, 2004: 82)
“Ya, Tuhan, kalau seandainya saya boleh meminta, semoga janji saudara saya yang tidak sempat terlunasi, kuanggap selesai. Jangan jadikan hal itu sebagai halangan dalam pelaksanaan ibadahnya. Hanya karena uang yang tidak seberapa jumlahnya yang bagi saya tidak berarti apa-apa. Semoga terbebas … terbebas dari utang yang saya anggap telah lunas itu. Kalaupun mau menghitung untung-rugi, saya hanya kehilangan sejumlah uang yang mudah dicari. Sementara itu, mereka sudah kehilangan nyawa anaknya yang tidak akan tergantikan untuk selamanya,” bisikku kepada yang Mahakuasa.
Tidak disangka, jika doanya itu didengar oleh yang Mahakuasa. Selama menunaikan ibadah haji, dalam pandangan mata ibu Si Eulis senantiasa tergambar bayangan ibu Si Jalu. Padahal ia masih memiliki banyak besan lainnya, tetapi yang terbayang hanyalah besan yang satu itu. Ibu Si Eulis tidak pernah habis pikir, mengapa hal itu terjadi selama ia berada di tanah suci dan setiap ia memanjatkan doa kepada yang Mahakuasa. Pada akhirnya, ibu Si Eulis menyadari kekeliruannya selama ini. Ia merasa bahwa dosanya kepada besan yang paling banyak adalah kepada ibu Si Jalu. Bahkan, sikap ibu Si Eulis kepada Si Jalu sendiri telah berubah menjelang kepergiannya ke tanah suci dan setelah ia kembali ke tanah air. Bahkan, ia menyarankan agar Si Jalu segera mencari pendamping hidup sebagai pengganti Si Eulis, putrinya yang telah tiada.
Sikap ibu Si Jalu yang pemaaf membuka jalan hidayah bagi besannya, ibu Si Eulis, yang selama ini bersikap tidak peduli kepada keluarga besannya—termasuk kepada sang putri. Hal itu dilakukannya karena ia merasa perkawinan Si Eulis dan Si Jalu hanya mengundang kesengsaraan saja. Meskipun Si Eulis sendiri dapat menerima nasibnya, tetapi lain dengan sikap sang ibu. Sikap ibu Si Eulis menorehkan luka dan dendam di dalam hati ibu Si Jalu. Namun, rencana kepergian ibu Si Eulis ke tanah suci telah membuka pintu maaf dalam kalbu ibu Si Jalu. Bahkan, ia bersedia melupakan segala janji dan kekeliruan yang pernah dilakukan oleh sang besan kepadanya, anak dan menantunya, dan keluarganya.
2.2.3 Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin)
Cerpen yang berjudul Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin) bercerita tentang curahan hati seorang kakak yang terpuruk di balik sel sempit sebuah kamar penjara. Cerpen ini didominasi oleh tuturan sang kakak kepada sang adik di luar tembok penjara dalam bentuk sepucuk surat. Di dalam surat itu sang kakak mengutarakan penyesalannya karena tidak dapat menjaga sang adik sesuai dengan janjinya kepada kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Nunun, sang adik, yang haus akan kasih sayang terlibat pergaulan bebas hingga ia hamil di luar nikah. Meskipun sempat merasa kecewa, sang kakak berjanji untuk tetap menjaga sang adik, membuka lembaran baru, dan mendorong semangat bagi adik sematawayangnya itu.
Cerpen ini diawali dengan kesadaran sang kakak yang telah gagal mengemban amanat untuk menjadi menjaga adik perempuannya, Nunun, kepada kedua orang tuanya sebelum keduanya wafat. Sang kakak yang kini meringkuk di penjara rela menghadapi berbagai perlakuan yang tidak manusiawi di tempat itu, seperti yang tertera dalam kutipan berikut.
Tapi akang iklas, lantaran rumasa ingkar tina amanat Ambu jeung Ama anu geus tilar dunya. (SKKS, 2004: 85)
Namun, Akang rela karena merasa telah mengingkari amanah Ambu dan Ama (Bapak, Snd.) yang sudah wafat.
Kegagalan tersebut berawal dari peristiwa wafatnya kedua orang tua sang kakak, Dodon, dan Nunun ketika masih kecil. Keduanya kemudian berada di bawah asuhan Bibinya yang setia dan jujur. Ketika Nunun dan Dodon beranjak dewasa, mulailah awal tragedi itu. Nunun berkenalan dengan teman sepermainannya yang bernama Tina. Sesungguhnya sejak awal, Dodon telah mengendus perilaku Tina yang tidak lazim untuk gadis usia sebayanya, binal dan sering bergaul bebas dengan kaum Adam.
“Nun, ulah ulin jeung Tina. Ulah babarengan. Tina mah awéwé unghakeun, Tina mah henteu bisa ngajénan diri sorangan. Tina mah centil. Tina jeté. Imut Tina, imut pangirut. Tina lain awéwé pisobateun. Tina mah centil. Tina jeté. Awéwé kitu mah sok atoh lamun boga babaturan tigebrus kana jurang anu ku manéhna dipilampah.” (SKKS, 2004: 87)
“Nun, jangan terlalu dekat dengan Tina. Jangan bersahabat dengannya. Tina adalah perempuan yang suka membuat kesal. Tina bukan merupakan perempuan yang bisa menjaga diri. Tina itu centil. Tina itu menyebalkan. Senyum Tina adalah senyum wanita penjerat. Tina bukan tipe sahabat yang baik. Tina itu centil. Tina itu menyebalkan. Perempuan seperti itu akan merasa senang jika temannya ikut terjerumus ke dalam dunia yang ia kuasai.
Dodon berusaha keras melarang Nunun berkawan dengan Tina. Namun, Nunun yang haus akan kasih sayang seakan mendapatkan dunia yang indah bersama sahabatnya itu. Nunun kerapkali bersitegang dengan sang kakak tentang sahabatnya itu. Bahkan, Tina dibelanya habis-habisan.
“Kang, boga sobat Tina mah hate henteu keueung. Lamun balik burit, tangtu aya nu nganteurkeun. Jadi, Nunun benteu sieun di jalan.” (SKKS, 2004: 87)
“Kang, bersahabat dengan Tina membuat hatiku tenang. Kalau pulang malam, aku ada yang mengantarkan. Jadi, Nunun tidak pernah merasa takut di jalan.
Sejak saat itu Nunun tidak lagi bersedia berjalan berdampingan dengan sang kakak, tepatnya senantiasa menghindar dengan berbagai cara dan alasan. Nunun pun terbawa arus hidup bebas. Tubuhnya bebas dijamah tangan lelaki nakal. Dodon tersentak ketika menemukan sang adik dengan tenangnya digerayangi beberapa lelaki hidung belang. Dodon menjadi kalap dan menyerang si pengganggu itu hingga mereka tewas.
Nunun,
Akang henteu kuat cicing, basa nempo kancing baju Nunun dilaan. Erok Nunun diporosotkeun ku duaan. Peheula-heula. Padahal kacirina mah Nunun téh henteu dina kaayaan sadar. Akang henteu tahan. Jleng Akang ngajleng. Blug nindihan anu arék ngarogahala Nunun. (Sabenerna mah. Nun, Akang henteu pantes nyebut Nunun dirogahala, da sahanteuna lalaki wani ngalakukeun kitu téh lantaran Nununna daék dibabawa ‘heureuy’ ku maranéhanana). Anu duaan ngalawan. Atuh kapaksa Cimandé dikaluarkeun. Akang geus ngalanggar sumpah ka Guru. Leungeun anu dilatih pikeun ngabéla bebeneran téh, kapaksa dipaké maéhan jelema. (SKKS, 2004: 89)
Nunun,
Akang tidak dapat menahan diri, ketika melihat kancing baju Nunun dipreteli. Rok Nunun diturunkan oleh dua lelaki yang saling berebut. Padahal, kulihat Nunun ddalam keadaan tidak sadarkan diri. Akang tidak tahan lagi. Akang melompat dan menindih lelaki yang akan menggauli kamu. (Sebenarnya, Akang tidak pantas menyebut Nunun diperkosa karena tidak mungkin lelaki itu mau berbuat seperti itu jika Nunun sendiri tidak menolak dipermainkan oleh mereka). Kedua lelaki itu melakukan perlawanan dan terpaksa Akang mengeluarkan jurus Cimande. Akang sudah melanggar sumpah kepada Guru. Tangan yang semula dilatih untuk membela kebenaran, terpaksa digunakan untuk melayangkan nyawa orang lain.
Dodon pun menyerahkan dirinya kepada pihak berwajib hingga harus menerima hukuman penjara. Namun, di penjara inilah semangat hidup Dodon tumbuh kembali. Ia tidak ingin mendapatkan kegagalan yang kedua kali. Ia mengajak Nunun untuk kembali membuka lembaran baru karena ia merasa yakin bahwa pintu tobat senantiasa terbuka untuk mereka.
Nunun,
Najan urang geus jadi runtah, geus moal dilieuk deui ku dulur, moal diaku deui ku Bibi anu asa diwiwirang, masih kénéh aya waktu pikeun tobat. Sugan jeung sugan Gusti marengkeun urang panjang umur jeung bébas deui. Sugan aya kénéh jalan pikeun meresihan ngaran urang. Sugan aya waktu pikeun nglelempeng hirup urang. Urang beresihan dunya ieu ku tobat urang. Urang urus si utun anu keur dikandung ku Nunun, najan Akang henteu nyaho saha bapana.
Ulah sieun. Lawang tobat muka kénéh. (SKKS, 2004: 91—92)
Nunun,
Meskipun kini kita telah menjadi seonggok sampah yang tidak sudi dilirik oleh orang lain, yang tidak akan pernah diakui lagi oleh Bibi yang telah merasa dipermalukan, tetapi pintu tobat masih terbuka bagi kita. mudah-mudahan jalan untuk meluruskan hidup kita masih ada. Kita sucikan dunia kita dengan tobat yang sebenarnya. Kita rawat janin yang ada dalam rahim Nunun meskipun Akang tidak pernah mengenal siapa ayahnya. Jangan takut. Pintu tobat masih terbuka lebar bagi kita.
2.3 Suka Memelihara Kenangan terhadap Seseorang atau Sesuatu Hal
Cerpen yang berkaitan dengan sikap suka memelihara kenangan terhadap seseorang atau sesuatu hal adalah cerpen yang berjudul sebagai berikut, yaitu Surat Keur Ka Sawarga (Ami Raksanagara), Dongéng Sakotrét (Dyah Padmini), Mulang (Etty R.S.), dan Nunun (Yooke Tjuparmah S. Komarudin).
2.3.1 Surat Keur Ka Sawarga (Ami Raksanagara)
Cerpen yang berjudul Surat Keur Ka Sawarga (Ami Raksanagara) bercerita tentang kenangan seorang menantu perempuan kepada mertua lelakinya, Abah. Demikian dalam kenangan indah itu hingga ia menorehkannya ke dalam bentuk sebuah surat, yaitu surat yang hanya dapat ia tulis dan baca. Sayangnya surat yang terdiri dari untaian kata-kata indah itu tidak dapat ia kirimkan kepada orang yang ditujunya. Abah telah lama tiada dan sang menantu hanya dapat mengenangnya di dalam hati dan dalam sepucuk surat. Kenangan sang menantu yang sangat mendalam terhadap mertua lelakinya itu tertuang dalam kutipan berikut.
Janten abdi mah teu tiasa numpuk-numpuk banda, anu diipuk téh rasa nyaah baé. Abdi percanten, yén sing saha anu mikanyaah mahluk di bumi, bakal dipikanyaah ku Anu di Langit. Abdi percanten yén upami aya kahayang anu saé mah Pangéran téh bakal nulungan ka abdi. Abah téh kantos sasauran, titip putra Abah, badé dibeureum, badé dihideung kumaha Endén, sateuacan pupus téh. Abdi masih kénéh heureuy ka Abah téh: “Urang bodaskeun baé nya!” Abah téh imut bari neuteup ka abdi. Horéng panungtungan Abah sasauran téh. Panungtungan sumping ka Bandung ngalayadan abdi sareng putu anu kiwari mah parantos jalugjug.
Taun-taun dipapay dileumpeungan ku abdi duaan sareng pun lanceuk, henteu karaos, barudak téh parantos garaduh bekel kanggo hirupna anu mandiri. Alhamdulillah. Tangtos kauninga ku Abah ku Ema du’a abdi anu rerencepan téh kalayan rerencepan deui baé ku Allah dikabulna. Teu aya pikecapeun anu langkung saé iwal ti muji sukur ka Nu Maha Agung. Maha Welas Asih ka mahlukna. Mugi-mugi abdi sareng barudak tiasa ngeunteung ka Abah anu ngalakonan hirup di dunya téh éstu ku kecap asal cekap. Ka dituna mah kapan aya Gusti Allah.
Sakitu heula serat ti abdi. Mugi urang tiasa tepang deui dina kabagjaan, kani’matan, anu parantos dijangjikeun ku Gusti Allah yén hal éta téh bakal dipasihkeun ka mahlukna anu takwa. Mugi-mugi urang tiasa kelebet kana golongan anu éta. Amin.(SKKS, 2004: 23—24)
Oleh karena itu, saya tidak mau menumpuk banyak barang yang hanya akan menimbulkan perasaan sayang saja. Saya sangat percaya yakin bahwa barangsiapa yang berbuat baik kepada sesama akan disayang oleh Tuhan. Saya yakin jika niat baik itu akan selalu mendapat dukungan dari Tuhan. Abah pernah berkata kepada saya bahwa abah menitipkan anak Abah kepada saya, terserah apakah ia akan dibuat menjadi merah atau hitam, sebelum kembali kepada sang Khalik. Saya masih sempat bercanda kepada Abah, “Kalau begitu kita buat dia menjadi putih, ya, Abah?” Abah menatap saya sambil tersenyum. Ternyata itulah kata-kata terakhir dari Abah dan kunjungan terakhir kepada saya dan anak-anak saya yang kini telah dewasa.
Tahun demi tahun yang saya jalani bersama suami berlalu tanpa terasa hingga anak-anak kini telah dapat hidup mandiri. Tentu saja Abah dan Emak mengetahui doa-doa yang saya panjatkan diam-diam ternyata dibalas Tuhan dengan cara yang diam-diam pula. Tiada yang dapat saya lakukan selain mengucap syukur kepada yang Mahaagung dan Mahapenyayang kepada makhluknya. Semoga saya dan anak-anak saya dapat bercermin pada pola hidup yang Abah lakoni dengan moto “yang penting cukup” itu. Urusan nanti itu kan milik Allah.
Sekian surat dari saya. Semoga kita dapat berjumpa kembali dalam kebahagiaan dan kenikmatan yang telah dijanjikan Tuhan kepada makhluknya yang bertakwa. Semoga kita termasuk ke dalam golongan tersebut. Amin.
2.3.2 Dongéng Sakotrét (Dyah Padmini)
Cerpen yang berjudul Dongéng Sakotrét (Dyah Padmini) bercerita tentang kenangan seorang gadis Sunda yang sedang berada di luar negeri. Meskipun telah melanglang buana sedemikian jauh, tanah Sunda yang indah permai senantiasa bersemayam di dalam hatinya. Angannya pun melayang sedemikian jauh seakan ingin menjangkau tanah lemah cai nu hegar teh.
Napas anu kaluar tina sela-sela jajantung anu nguyung hayang buru-buru balik kalemburna, teu wasaeun meuraykeun kerak és anu narapel dina kaca jandéla kamar hotélna di kota Slany, Cékoslawakia. Panonna anu beueus ku cimata nyuay-nyuay harudum peuting anu meredong nyimbutan bumi Ĕropa Timur. Manéhna ngarahuh humandeuar bangun eungap. Unggal demi rénghapna bangun ampeg ku bangbaluh pikir sabeurat kubah Garéja St James di kota Slowakia. (SKKS, 2004: 25)
Napas yang keluar dari sela-sela jantung yang bersikeras ingin kembali ke kampung halamannya, tidak sanggup menghilangkan kerak salju yang menempel di kaca jendela kamar hotelnya di kota Slany, Cekoslowakia. Matanya yang bersimbah bulir bening itu seakan membasahi selimut malam bumi Eropa Timur. Ia menghela napas seperti dilanda sesak. Setiap hembusan napasnya seakan diiringi beban seberat kubah Gereja St. James di kota Slovakia.
Selain itu, ia juga selalu teringat lelaki pujaannya, Walangsungsang yang selalu setia menanti dirinya setiap bulan purnama tiba.
“Unggal purnama Akang sumping kadieu … ?” manéhna nanya.
“Ratusan réwu purnama Akang ngabungbang di dieu, susuganan eulis bisa mulang najan sabéngbatan …,” omongna bari ngemu imut. (SKKS, 2004: 28)
“Apakah Akang selalu datang pada saat bulan purnama …?” katanya.
“Ratusan ribu purnama Akang berdiam di sini, berharap akan ada wujud Euis walaupun hanya sekejap …,” ujarnya sambil tersenyum sipu.
Yang unik dalam cerpen ini, lelaki tersebut berasal dari bangsa lelembut yang tidak tampak di alam nyata. Lelaki itu merupakan makhluk penghuni Gunung Gedé. Lelaki itu sangat setia menantikan kedatangan wanita pujaan hatinya itu hingga ia dapat bertahan menunggunya selama ratusan ribu malam purnama! Mereka pernah bertemu, meskipun pertemuan itu harus dilakukan dengan susah payah. Hanya saja pertemuan demi pertemuan di antara kedua insane berbeda jenis itu harus terhenti ketika si eulis harus berdiam di luar negeri.
2.3.3 Mulang (Etty R.S.)
Cerpen yang berjudul Mulang (Etty R.S.) bercerita tentang seseorang yang telah dijemput ajal menjelang kepergiannya ke tempat pemakaman. Cerpen ini didominasi oleh tuturan sang penutur ketika ia menyaksikan kesedihan yang menimpa keluarganya, serta kerjasama para kerabat dan tetangganya dalam mempersiapkan proses pemakaman.
Kematian tokoh abdi (aku; bahasa Indonesia) telah membuka kenangan akan hal-hal yang pernah ia lalui sepanjang hayatnya. Sejak datang ke kota dengan selembar ijazah sampai ia dapat mereguk kehidupan yang mapan bersama keluarganya, semuanya tertera di dalam rangkaian panjang kisah hidupnya.
Tokoh abdi kembali teringat kepada ibunya yang ia panggil dengan sebutan Ema. Ketika kehidupan mapan telah diraihnya, Ema sempat mengkhawatirkan kehidupan anak lelakinya itu. Ema merasa khawatir dengan perubahan kehidupan yang dijalani oleh tokoh abdi tadi. Ema khawatir jika harta kekayaan yang kini ada dalam genggaman anaknya diperoleh dengan jalan yang tidak halal. Terlebih lagi, dengan jarangnya tokoh abdi dalam berkomunikasi dengan keluarganya. Hari-harinya hanya disibukkan dengan pekerjaannya dengan tidak memedulikan nasib orang lain. Selama ini ia hanya peduli dengan kepentingan dirinya, perusahaannya, dan egonya. Perusahaan yang ia pimpin dijalankannya dengan cara yang lazim dilakukan oleh orang yang ingin mendapatkan bagian dari kue proyek. Dengan kata lain, tokoh abdi kerap melakukan kolusi. Baginya semua menjadi penyesalan. Ketika ajal telah menjemputnya, ia baru dapat merasakan sempitnya ruang dalam kehidupan alam fana dan kejamnya saat sang maut telah menjemputnya. Penyesalan tersebut terungkap dalam kutipan berikut.
Sihoréng dunya barana téh teu salawasna kawasa. Buktina ayeuna kuring teu bisa mungpang, daék teu daék kudu ninggalkeun ieu tempat ayeuna pisan, teu meunang tempo. Asa teu werat kuring kudu paturay jeung karaharjaan, jeung maranéhna nu mikahormat ka kuring, maranéhna nu mikaceuceub, jeung maranéhna nu kungsi dibéré kagegelan, sarta maranéhna nu kungsi meunang tugenah ti kuring. (SKKS, 2004: 39)
Ternyata dunia itu tidak selalu berkuasa. Buktinya sekarang aku tidak dapat berbuat apa-apa karena mau tidak mau harus meninggalkan dunia saat ini juga. Rasanya sulit sekali berpisah dengan kesejahteraan, dengan mereka yang menaruh hormat kepadaku, mereka yang sangat menyeganiku, dan mereka yang sudah diberi sesuatu, dan mereka yang sempat merasakan kebahagiaan dariku.
Selain itu, menjelang prosesi pemakamannya, tokoh abdi baru menyadari bahwa selama ini ia hanya memedulikan kepentingan pribadinya daripada kepentingan orang lain. Selain itu ia baru dapat menyadari bahwa yang sedari tadi berbicara adalah suara batinnya sendiri.
“Gusti naha abdi mani lewang-lewang teuing? Sora saha éta nu melas-melis? Ya Allah, geuning sora hate kuring sorangan nu sasambat téh. Gusti, geuning nembé ayeuna abdi tepung deui sareng Anjeun? Geuning nembé ayeuna panon abdi beunta deui, awas deui ka maranéhna nu hirupna ngan dugi ka neda. Geuning nembé ayeuna ceuli abdi atra deui mireng nu nginghak ngemu kapeurih. Geuning nembé ayeuna irung abdi ngambeu deui héab-héabna rénghapna nu kalaparan. Geuning nembé ayeuna kulit abdi ngaraos deuii combrékna cikolombéran. Geuning nembé ayeuna diri abdi ngaraos deui jadi nu laip.” (SKKS, 2004: 39—40)
“Ya, Tuhan, mengapa aku merasa takut? Suara siapa yang memelas mendayu itu? Ya, Allah, ternyata suara itu adalah suara hatiku sendiri yang berbicara. Tuhan, ternyata sekarang saya berjumpa denganmu? Ternyata mata saya terbuka kembali dan mampu melihat kehidupan orang-orang yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ternyata telinga saya baru dapat mendengarkan tangisan orang-orang yang menahan perih kelaparan. Ternyata hidung saya baru dapat mencium aroma napas kelaparan. Ternyata baru sekarang kulit saya dapat merasakan baunya air selokan. Ternyata baru sekarang saya dapat merasakan menjadi manusia yang sengsara.”
3. Simpulan
Kumpulan cerpen yang ditulis dalam bahasa Sunda berjudul Surat Keur Ka Sawarga tersebut berisi tentang kehidupan manusia dalam kesehariannya. Tokoh dalam cerpen tersebut mewakili karakter orang Sunda dalam menjalani hidup sehari-hari dengan segala permasalahannya. Sikap orang Sunda yang tercermin di dalam kumpulan cerpen tersebut terbagi ke dalam tiga kategori berikut, yaitu (1) sikap memendam perasaan, suka mengalah, dan apriori, (2) pemaaf dan penolong, dan (3) suka memelihara kenangan akan seseorang atau sesuatu hal.
Sebelas cerpen dibagi berdasarkan kandungan tema di dalamnya yang disesuaikan dengan ketiga kategori tadi. Cerpen yang berkaitan dengan kategori (1), yaitu Aki Sasmita, Wasiat Ti Pa Mantri, Nu Mulang Ti Panyabaan, Handapeun Langit Hideung, dan Hama. Cerpen yang berkaitan dengan kategori (2) adalah Nu Datang Wanci Sareupna, Bulan Mabra Di Madinah, dan Nunun. Sementara itu, cerpen yang berkaitan dengan kategori (3) adalah Surat Keur Ka Sawarga, Dongéng Sakotrét, dan Mulang.
Sikap senang memendam keinginan atau perasaan ditunjukkan oleh tokoh Aki Sasmita dalam cerpen yang bertajuk sama. Sikap senang mengalah terdapat pada karakter Pak Mantri yang memilih untuk mundur sebelum waktunya sebagai pemimpin di lingkungan sekola yang ia bina daripada harus berkepanjang terlibat dengan lika-liku birokrasi dan administrasi yang rumit. Sikap apriori ditunjukkan oleh karakter kerabat dan tetangga tokoh Ahmad dalam cerpen Nu Mulang Ti Panyabaan, sebagian penduduk kampung terhadap keberhasilan Gan Wiria dalam cerpen Handapeun Langit Hideung, dan tokoh Ua Istri dalam cerpen Hama. Sikap apriori tersebut juga menunjukkan betapa rapuhnya pendirian mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada.
Sementara itu, sikap penolong terdapat dalam diri tokoh Danang yang senantiasa mematuhi atasannya, tetapi dengan menggunakan cara yang bersih. Dengan “kebersihannya itu” Danang tertinggal oleh rekan-rekan seangkatannya yang telah menduduki berbagai posisi strategis. Namun, hal itu justru membuat hidup Danang menjadi lebih tentram. Gaya hidup Danang juga dipuji oleh Pak Arman, mantan bosnya, yang sempat terpuruk dalam kasus korupsi. Di lain pihak sikap pemaaf terdapat pada tokoh Ibu Si Jalu ketika ia dengan iklas memaafkan kekeliruan yang diperbuat besannya terhadap keluarganya. Hal itu membuahkan terbukanya mata sang besan akan perbuatannya pada masa lalu.
Sikap senang memelihara kenangan terhadap seseorang atau sesuatu hal terdapat dalam tokoh abdi atau Endén dalam cerpen Surat Keur Ka Sawarga terhadap mertuanya--Abah, tokoh si eulis dalam Dongéng Sakotrét terhadap tanah air dan lelaki idamannya, serta tokoh kuring dalam cerpen Mulang terhadap perilakunya selama hidup di dunia fana.
Sebagai tambahan, dalam dua cerpen berikut, yaitu Dongéng Sakotrét dan Handapeun Langit Hideung, terselip ketertarikan orang Sunda terhadap dunia mistis. Dalam cerpen Dongéng Sakotrét, tokoh si eulis dikisahkan mencintai salah seorang pendekar negeri Mandalawangi bernama Walangsungsang. Sementara itu, dalam cerpen Handapeun Langit Hideung dikisahkan penduduk salah satu kampung yang lebih mempercayai isu mistis atas kekayaan dan keberhasilan Gan Wiria serta penyakit misterius yang menimpa penduduk kampung yang mengakibatkan kematian secara beruntun. Kematian tersebut selalu dikaitkan dengan kebiasaan “nyekar” atau ziarah Gan Wiria ke Gunung Koromong. Segala kebaikan Gan Wiria dan istrinya cenderung mendapatkan penolakan dari para penduduk kampung tersebut.
Secara psikologis, Surat Keur Ka Sawarga lebih merupakan refleksi kepekaan sang pengarang dalam memandang berbagai persoalan hidup manusia, terutama dalam keseharian orang Sunda. Karya sastra dan pengarang dapat dikatakan sebagai satu kesatuan (Rosa, 2007). Kepekaan pengarang tampak tertuang pada karakter yang ditampilkan dalam rangkaian cerpen yang terangkum dalam kumpulan cerpen bertajuk Surat Keur Ka Sawarga.
4. Daftar Pustaka
Patrem (Aam Amilia, et.al). 2004. Surat Keur Ka Sawarga. Bandung: PT Kilat Buku Utama.
Rosa, Helvy Tiana. 2007. Sepuluh Tahun FLP. Makalah yang disampaikan dalam kongres internasional HISKI XII di kampus UI Depok dalam rangka memperingati berdirinya 10 tahun FLP.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Tambahan:
dunya barana = kekayaan/harta
Posting Komentar